Malam itu di kampung halaman yang biasanya tenang, Dante dan beberapa anak buah Lorenzo tidur di dalam RV motorhome yang diparkir tak jauh dari rumah warisan ibunya. Suasana malam itu terasa damai, hanya suara jangkrik dan angin malam yang bertiup lembut melalui celah pepohonan di sekitar desa. Langit gelap tanpa bulan, dan di dalam RV, Dante sedang terlelap setelah hari yang penuh emosi, memikirkan bagaimana keluarganya bisa bertahan di tengah situasi yang semakin berbahaya.Namun, di tengah keheningan malam itu, Nexus tiba-tiba memberikan peringatan."Dante, bangun! Kita punya masalah besar."Dante terbangun dengan cepat, instingnya langsung bekerja. "Apa yang terjadi, Nexi?" Tanyanya setengah berbisik, dengan adrenalin yang langsung memuncak."Ada sekelompok orang bertopeng yang mengelilingi rumah ibumu. Mereka membawa bensin, dan dari gerak-gerik mereka, mereka berniat membakar rumah itu. Kita harus bertindak cepat."Dante melompat dari tempat tidurnya, langsung membangunkan anak
Di depannya, berdiri seorang pria berkacamata hitam yang terlihat cemas namun berusaha menyembunyikannya. Pria itu adalah mata-mata yang Vincent kirimkan untuk mengawasi setiap pergerakan keluarga Dante."Bagaimana dengan kabar dari desa?" Tanya Vincent dengan nada rendah namun penuh ancaman.Pria itu menundukkan kepala sejenak sebelum berbicara. "Rumah keluarga Dante sudah terbakar sesuai rencana, tapi..." dia ragu sejenak, "...mereka tidak melihat Dante disana, dan keluarga itu selamat dari kebakaran."Mata Vincent menyipit. "Apa maksudmu mereka selamat? Dan bagaimana bisa tidak melihat Dante?" Desaknya dengan nada yang lebih keras, matanya menatap tajam ke arah pria itu."Dan ketika saya menyelidiki plat nomor RV yang digunakan oleh keluarganya, itu terdaftar atas nama Alex Romano," jawab mata-mata itu dengan suara rendah, mengantisipasi kemarahan Vincent. "Dan orang-orang yang berada di dekat keluarga Dante, mereka semua mungkin orang-orangnya Alex Romano, bukan Dante."Vincent me
Saat RV terus melaju di jalanan gelap, meninggalkan desa dan rumah yang masih dilalap api, Dante dan timnya dalam keadaan waspada penuh. Mereka tahu bahwa pengejaran oleh orang-orang Vincent belum selesai. Nexus terus memberikan laporan bahwa para pengejar masih berada di belakang mereka, mendekat dengan cepat. Dante, yang duduk di kursi depan bersama Ace, tahu bahwa mereka tidak bisa melarikan diri selamanya.Namun, Lorenzo telah mempersiapkan segalanya. Tidak lama setelah Dante menerima undangan Lorenzo untuk berlindung di pulau pribadinya, Lorenzo mengirim sekelompok anak buahnya yang terlatih untuk mengeksekusi perintahnya: menghabisi pengejar dan membawa beberapa dari mereka hidup-hidup untuk diinterogasi.Ketika RV masih melaju di jalan pegunungan yang berliku, sekelompok mobil hitam, sekitar selusin mobil SUV, muncul dari arah berlawanan, melaju dengan cepat namun teratur. Anak buah Lorenzo, yang dipimpin oleh Roberto, salah satu orang kepercayaan Lorenzo, bergerak tanpa suar
Setiap gerakannya presisi, seolah-olah dia telah melakukannya ribuan kali. Luca dan Vince yang tadinya skeptis, kini berdiri di sampingnya dengan takjub, memperhatikan bagaimana Dante memimpin di dapur."Wow, kau benar-benar tahu apa yang kau lakukan, Dante," gumam Vince sambil mengangkat alis, terkesan dengan kecepatan Dante memotong dan mengolah bahan-bahan."Kau serius belajar ini kapan?" Tanya Luca sambil tertawa kecil, namun penuh kekaguman.Dante hanya tersenyum tanpa menjawab. Dalam pikirannya, Nexus terus membimbingnya, memberikan informasi yang tepat tentang teknik memanggang daging, memasak sayuran, dan mencampur rempah-rempah dengan sempurna untuk menghasilkan rasa yang seimbang."Kita akan membuat beberapa hidangan," kata Dante dengan tenang. "Mulai dari steak daging sapi panggang dengan saus jamur, sayuran tumis, dan kentang tumbuk yang lembut. Untuk pencuci mulut, kita akan buat panna cotta."Luca dan Vince saling berpandangan, terkejut mendengar menu yang akan dibuat Da
Di dalam menara, AI keamanan Lorenzo terus bekerja 24/7, memantau setiap aktivitas mencurigakan. Bahkan, sistem ini mampu mendeteksi suhu tubuh, memastikan bahwa tidak ada penyusup yang bisa bersembunyi di tengah-tengah hutan atau bangunan di pulau tersebut.Namun, selain keamanannya yang ketat, kemewahan pulau ini yang benar-benar mencuri perhatian.Pulau ini bukan hanya sekedar tempat perlindungan. Pulau Lorenzo adalah surga mewah yang dilengkapi dengan segala fasilitas yang bisa dibayangkan. Begitu Dante dan rombongannya turun dari ferry, mereka segera diantarkan ke villa utama yang berdiri megah di atas bukit. Villa tersebut dibangun dengan arsitektur modern, dinding-dinding kaca besar yang memungkinkan pemandangan laut terbuka terlihat dari setiap sudut. Kolam renang infinity terletak di depan villa, seolah-olah menyatu dengan lautan biru di bawahnya.Lantai-lantai villa terbuat dari marmer Italia yang berkilau, dan interiornya dipenuhi dengan perabotan mahal yang didatangkan la
Roberto segera melangkah maju, mengambil cambuk dari meja terdekat. Tanpa banyak bicara, dia mulai menghujani pukulan keras pada salah satu tahanan. Jeritan mulai terdengar, membuat ruangan itu dipenuhi dengan gema suara kesakitan. Dante, yang berdiri di sudut ruangan, hanya bisa menyaksikan dengan wajah tegang. Meski dia pernah melihat kekerasan, cara Roberto menangani tahanan ini terasa brutal dan dingin. Tapi dia tetap diam, tahu bahwa ini adalah bagian dari dunia yang kini dia masuki."Kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup jika tidak bicara," ancam Lorenzo, tatapannya tajam.Setelah beberapa menit, salah satu dari tahanan, seorang pria kurus dengan rambut acak-acakan akhirnya tak bisa menahan lagi. "Aku… aku hanya tukang pukul… Aku tidak tahu rencana besar Vincent!" Suaranya gemetar, matanya penuh ketakutan. Lorenzo mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu. "Apa yang kamu ketahui?"Pria itu gemetar, darah mengalir dari sudut mulutnya. "Aku hanya disuruh meng
Malam itu, Lorenzo dan timnya berangkat menuju wilayah utara di mana organisasi kecil itu berani menentang kekuasaannya. Mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggir kota, tempat yang digunakan oleh para pelaku untuk mencuri jalur distribusi Lorenzo. Lampu-lampu gudang redup, dan ada beberapa penjaga di luar, terlihat santai karena tidak menyadari bahaya yang mendekat.Lorenzo melangkah keluar dari mobilnya dengan santai, diikuti oleh timnya. Angin malam berhembus, membawa dingin yang membuat suasana semakin mencekam. Ace memberi isyarat kepada timnya untuk bersiap, sementara Lorenzo berjalan dengan anggun menuju para penjaga yang berdiri di depan pintu.Salah satu penjaga, melihat Lorenzo mendekat, mengangkat tangannya dan berteriak, "Hei! Siapa kalian? Ini wilayah kami!"Lorenzo hanya tersenyum tipis, wajahnya penuh dengan kesombongan dingin. "Wilayahmu? Kalian pikir kalian bisa mencuri dari Sabatini dan lolos begitu saja?"Sebelum penjaga itu sempat menjawab, salah satu anak buah Lo
Kursi itu tampak biasa, tetapi tali kulit yang dipasang di sandaran tangan dan kaki memberikan gambaran jelas tentang apa yang akan terjadi."Duduk," perintah Lorenzo, dan Roberto serta dua anak buah lainnya memaksa pria itu duduk. Tangan dan kakinya diikat erat, sementara pria itu mulai meronta, wajahnya penuh keringat dan panik. Lorenzo berjalan mengelilingi kursi, seperti seekor predator yang sedang mengepung mangsanya."Kau tahu aturannya," Lorenzo berbisik dengan nada lembut namun berbahaya. "Tidak ada yang mencuri dari Sabatini dan hidup untuk menceritakannya. Tapi... jika kau memberiku informasi yang cukup berguna, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk membuat kematianmu lebih cepat."Pria itu hanya menggelengkan kepala lagi, bibirnya bergetar. "Aku... aku tidak tahu apa-apa. Hanya perintah dari atas."Lorenzo memberikan isyarat pada Roberto, dan dalam hitungan detik, pukulan pertama mendarat di tulang rusuk pria itu. Jeritan keras menggema di ruangan itu. Dante tetap berdir
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny