Malam itu, Lorenzo dan timnya berangkat menuju wilayah utara di mana organisasi kecil itu berani menentang kekuasaannya. Mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggir kota, tempat yang digunakan oleh para pelaku untuk mencuri jalur distribusi Lorenzo. Lampu-lampu gudang redup, dan ada beberapa penjaga di luar, terlihat santai karena tidak menyadari bahaya yang mendekat.Lorenzo melangkah keluar dari mobilnya dengan santai, diikuti oleh timnya. Angin malam berhembus, membawa dingin yang membuat suasana semakin mencekam. Ace memberi isyarat kepada timnya untuk bersiap, sementara Lorenzo berjalan dengan anggun menuju para penjaga yang berdiri di depan pintu.Salah satu penjaga, melihat Lorenzo mendekat, mengangkat tangannya dan berteriak, "Hei! Siapa kalian? Ini wilayah kami!"Lorenzo hanya tersenyum tipis, wajahnya penuh dengan kesombongan dingin. "Wilayahmu? Kalian pikir kalian bisa mencuri dari Sabatini dan lolos begitu saja?"Sebelum penjaga itu sempat menjawab, salah satu anak buah Lo
Kursi itu tampak biasa, tetapi tali kulit yang dipasang di sandaran tangan dan kaki memberikan gambaran jelas tentang apa yang akan terjadi."Duduk," perintah Lorenzo, dan Roberto serta dua anak buah lainnya memaksa pria itu duduk. Tangan dan kakinya diikat erat, sementara pria itu mulai meronta, wajahnya penuh keringat dan panik. Lorenzo berjalan mengelilingi kursi, seperti seekor predator yang sedang mengepung mangsanya."Kau tahu aturannya," Lorenzo berbisik dengan nada lembut namun berbahaya. "Tidak ada yang mencuri dari Sabatini dan hidup untuk menceritakannya. Tapi... jika kau memberiku informasi yang cukup berguna, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk membuat kematianmu lebih cepat."Pria itu hanya menggelengkan kepala lagi, bibirnya bergetar. "Aku... aku tidak tahu apa-apa. Hanya perintah dari atas."Lorenzo memberikan isyarat pada Roberto, dan dalam hitungan detik, pukulan pertama mendarat di tulang rusuk pria itu. Jeritan keras menggema di ruangan itu. Dante tetap berdir
Sofia tertawa kecil, berbicara dengan adik perempuan Dante, sementara ayah dan ibu Dante tampak santai, menikmati hidangan makan malam yang tampak begitu normal dan penuh keakraban.Dante memperhatikan bagaimana Sofia dan keluarganya tampak sangat akrab. Adik perempuannya, yang biasanya sedikit tertutup, kini dengan bebas berbicara dan tertawa bersama Sofia. Dante akhirnya tersenyum kecil, meski pikirannya masih penuh pertanyaan. "Jadi ini kejutan yang Lorenzo maksud," pikirnya.“Nexus, apa Sofia menyadari jika alat penyadap di tubuhnya sudah tidak ada?”“Dia belum tahu,” jawab Nexus.Di balik senyum dan percakapan ringan yang berlangsung di meja, Dante teringat jika dia masih dalam proses penyembuhan. Sambil memegang dada diapun mulai terbatuk-batuk.“Dante, kau baik-baik saja?” Tanya ibunya cemas hingga mengerutkan alis.“Aku baik-baik saja, bu. Hanya sedikit masuk angin. Jadi tidak perlu cemas, setelah istirahat pasti sembuh.”Karena tidak ada kursi lain Dante duduk di sebelah Sof
Bibir Sofia melengkung dalam senyuman kecil yang menggoda. "Aku hanya ingin kita bicara dari hati ke hati," katanya dengan suara lembut. "Kita perlu bicara? Tentang apa?” Dante meraih kedua tangan Sofia yang sejak tadi menyentuh tubuhnya secara sembarangan. Dia merasa tidak nyaman dengan posisinya, namun Sofia duduk di pangkuannya dan menjepit kedua pahanya, jadi tidak ada ruang lagi baginya untuk bisa bergerak.“Bawa aku keluar dari tempat ini.”“Tidak bisa.”“Apa kau ingin aku selamanya disini dan jadi wanitamu? Jika itu maumu, aku tidak keberatan. Tapi aku ingin bertemu dengan keluargaku.”“Bukan itu maksudku.” Dante berusaha tenang dan mengontrol tubuhnya.Karena kedua tangannya di pegang Dante, dia mendorong kedua tangannya ke depan hingga dia bisa menyatukan kedua tangannya di belakang leher Dante, dan bagian depan tubuh mereka menyatu. Membuat air di dalam jacuzzi bergelombang dan tumpah.Dante menyipitkan matanya, merasa ada sesuatu yang lebih dibalik kata-kata Sofia. "Apa ya
Malam itu, Dante menyadari bahwa Sofia adalah lawan yang jauh lebih berbahaya daripada hanya sekadar pertarungan fisik. Dia mampu memanipulasi pikiran, hati, dan situasi untuk selalu memenangkan permainan. Dan meskipun Dante tahu dia harus waspada, dia tidak bisa menahan diri untuk tetap merasa tertarik pada pesona Sofia yang begitu rumit.Sofia, dengan segala kecantikan dan kelicikannya, bukan hanya agen intelijen. Dia adalah seseorang yang memahami cara kerja manusia dengan sangat dalam, dan itu membuatnya sangat berbahaya.***Keesokan paginya. Tubuh telanjang Dante tengkurap ditutupi selimut putih dari pinggang ke bawah. Dia terbangun dari tempat tidurnya, tapi ketika dia menoleh ke samping, Sofia sudah tidak ada di sana. Hanya aroma tubuhnya yang masih bisa tercium dari tempatnya berbaring. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar di kamarnya, menerangi ruangan dengan lembut. Dia mengucek matanya sebentar, merasa ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Setelah mandi dan berpakaia
"Dia sedang mencoba menghubungi organisasinya, intelijen tempat dia bekerja," jawab Nexus cepat. "Dia berniat melaporkan semua informasi yang didapat tentang Lorenzo dan organisasinya."Dante merasakan detak jantungnya meningkat. Dia tahu bahwa Sofia memang seorang agen, tetapi dia tidak menyangka Sofia akan mencoba melaporkan semua informasi sekarang, bukankah itu sama saja ingin mencelakainya juga? Setelah semua yang telah mereka lalui bersama. "Apa kau bisa menghentikannya?" Tanya Dante."Aku sudah menyabotase panggilannya," jawab Nexus. "Dia tidak berbicara dengan orang-orang intelijen sebenarnya, tapi dengan suara yang sudah diubah. Dia hanya akan berbicara denganku."Dante tersenyum tipis, merasa lega tetapi juga penasaran bagaimana situasi itu akan berkembang. "Sambungkan aku, biar aku dengar apa yang dia katakan."---Sementara itu, di kamar tidur Sofia, dia duduk di kursi dengan ponsel di tangannya. Wajahnya serius, tatapan matanya tajam seolah-olah sedang mempersiapkan sesua
Dante mengerutkan kening tidak senang, sambil menatap Sofia dengan hati-hati. "Kau tahu aku tidak suka terlibat dalam urusan pribadi seperti ini, Sofia. Apalagi dengan keluarga besar seperti Rossi. Mereka bukan orang sembarangan."Sofia menatap Dante dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku tahu ini sulit dan penuh resiko, tapi kau satu-satunya yang bisa membantuku. Aku terjebak, Dante. Kau tidak mengerti apa yang sudah kulalui. Aku membutuhkanmu."Dante tetap diam, memikirkan kata-kata Sofia. Bagian dari dirinya masih marah karena Sofia menyembunyikan pernikahannya, tetapi disisi lain, dia tahu bahwa Sofia tidak akan meminta bantuan jika dia tidak benar-benar terdesak.Sofia lebih mendekat, jaraknya hanya beberapa inci dari Dante. "Aku mempercayaimu, Kau satu-satunya yang bisa membuat ini berakhir tanpa membuat hidupku hancur."Dante menatap mata Sofia yang penuh dengan permohonan, tapi juga keputusasaan yang tersembunyi. Dia tahu bahwa Sofia tidak main-main kali ini. Tapi apakah dia bena
"Ya, itulah intinya," kata Nexus. "Dia membutuhkan kekuatan dan pengaruh yang kau miliki untuk menghancurkan keluarga Damian, tapi dia tidak tahu seberapa dalam mereka terlibat dalam jaringan Vincent. Jika kau membiarkan Sofia melanjutkan rencananya tanpa mengetahuinya, kalian berdua bisa terjebak dalam situasi yang lebih buruk."Dante berdiri dari kursinya, melangkah ke jendela dan menatap ke arah laut yang tenang. "Sofia pasti sudah lama merencanakan ini," gumamnya pelan. "Tapi sekarang aku yang memegang semua kartu."Nexus berbicara lagi, suaranya tenang. "Apa yang akan kau lakukan, Dante? Kau bisa membiarkan Sofia melanjutkan rencananya dan memanfaatkannya juga. Atau kau bisa menghadapi kenyataan dan menuntut kebenaran darinya."Dante terdiam sesaat, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia merasa kecewa karena Sofia mencoba memanipulasinya. Tapi disisi lain, dia memahami dorongan Sofia untuk menjadi superhero. Namun, fakta bahwa Sofia tidak tahu siapa sebenarnya yang dia hadapi,
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny