Sinar yang melesat menuju ke Linggapati terus menuju ke posisi Dwipati. Ketiga sinar telah bersatu pada porosnya hinga terbentuk sebuah tombak. Savitri semakin mengeratkan pelukannya, sementara Jagat rohnya melayang masuk ke alam bawah sadarnya. Dia mencari sosok pria tua berjenggot. Namun, sosok tersebut justru dalam keadaan duduk sila sambil pajamkan kedua matanya. "Ki Cadek, bisakah kau pinjamkan sumber dayamu?""Tenaga yang kamu miliki masih belu. Mampu menyerap intiku, Pangeran. Sebaiknya gunakan kujang tanpa permata kerucut biru!"Jagat hanya diam, lalu dia berbalik menuju ke titik cahaya putih yang berada di ujung. Namun, saat kakinya menginjak sebuah batu mungil suara dentuman terdengar nyata. Gegas dia berlari menuju portal perpindahan alam dalam raganya. Saat roh nya kembali pada raga, tubuh Savitri terkulai lemah tidak berdaya. Jagat mendengus kasar. Kedua matanya memejam dengan tangan mengepal hingga ruasnya memutih. "Apakah kamu masih sanggup berdiri di sisiku, Savitri
Disaat yang bersamaan tubuh Savitri menghentak ke udara dan menghadap pada ujung tombak silver dan tombak itu langsung menghujam pada jantungnya. Teriak kesakitan memilukan menyapa gendang telinga Jagat. Pemuda itu membeliak kaget sambil segera meraih tubuh tubuh wanitanya. "Maafkan aku, Jagat!""Tidak, kau harus hidup!"Jagat mengeram kasar, seketika tanganya membuka untuk memaksakan mengeluarkan kujangnya. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Jagat menggenggam gagang kujangnya kuat. Pemuda itu bergerak dengan brutal menyerang ketiga pendekar tersebut tanpa jeda. Pemuda itu tidak lagi menggunakan tangan kosong, dengan beringas kujangnya dia ayunkan ke segala arah sambil bibirnya bergerak melantunkan gending pencabut nyawa. Darah lawan perlahan mulai mengalir dan terkadang menetes pada tanah. Begitu juga keadaan Jagat. Jubahnya yang awalnya lusuh terlihat makin lusuh dengan banyaknya nida darah akibat sobeknya kulit tubuhnya di beberapa tempat. Namun, kesemua luka tidak sedalam luka
Jagat terus berjalan menuju ke padepokan. Butuh waktu dua hari dua malam agar sampai di padepokan tersebut. Namun, tidak bagi Jagat. Pemuda itu bisa menempuh dalam waktu setengah hari. Tepat lepas mahgrib langkahnya sudah sampai di depan gerbang Pandan Alas. Jagat terus melangkah masuk ke dalam padepokan. Tanpa banyak berpikir, pemuda itu langsung menuju ke hunian Begawan Sanggabumi. Jagat terus berjalan dan berhenti di depan gerbang rumah utama. Suaranya menggelegar memanggil nama sang begawan tanpa embel-embel begawan. Suara yang menggelegar penuh tenaga membuat semedi Sanggabumi seketika ambyar. Pria senja itu keluar dari biliknya dan berjalan menuju ke sosok Jagat. Kedua bola matanya membeliak kaget. Dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan putrinya, tangannya terulur menyentuh ujung jalan napas Savitri. "Apa yang terjadi?""Tanyakan pada Abimana, dia lah pangkal masalah ini."Usai berkata Jagat melangkah meninggalkan pendopo rumah tersebut. Namun, baru beberapa langkah naman
Jagat melayang dengan menggunakan ilmu seipi angin. Dengan membawa jasad Savitri, pemuda itu terbang ke utara hutan Pandan Alas. Sepanjang jalan tatapannya penuh dengan amarah dan dendam hingga menemukan mulut goa. "Kita hidup di sini dulu, Savitri. Biarkan aku merawatmu!"Jagat masuk lebih dalam, pandangannya menyapu sekitar goa yang lembab dan gelap. Terlihat lempengan batu hitam yang lumayan lebar, maka dia melangkah lebih dekat dan merebahkan tubuh kaku wanitanya. "Tidurlah sebentar di sini, aku akan siapkan perapian lebih dulu agar tubuhmu kembali hangat," ucap Jagat. Pemuda itu kembali melangkah keluar goa, dia mencari ranting yang tergeletak begitu saj di tanah sepanjang mata memandang. Setelah merasa cukup, Jagat kembali masuk goa. Tidak lupa pemuda itu juga memetik beberapa buah yang bisa dikonsumsi. Ditatanya ranting kering dan mulai membuat api. Nyala api sudah berhasil dihadirkan, maka dia juga berniat merebus air kebetulan saat mencari ranting terlihat kuali kecil.
Jagat mulai berjalan, pendengarannya menajam saat samar terdengar aliran air yang cukup deras. Lalu langkahnya mengikuti asal datangnya suara hingga membawanya pada arus sungai yang cukup deras. Pria itu menunduk pada air yang jernih meski alirannya cukup deras. Jagat terdiam untuk sesaat menatap pantulan wajahnya pada air bening yang tersorot sinar bulan kebetulan malam itu malam bulan purnama. "Ada apa dengan wajahku, tubuhku pun bereaksi lebih kala mereka menatapku tajam?"Jagat berbicara sendiri sambil mengingat peristiwa silam saat keempat pendekar pati mengeroyoknya. Telapak tangannya meraup air lalu dibasuhkan pada wajahnya agar terlihat lebih segar. Beberapa kali kegiatan itu dia lakukan lalu lambat laun tangannya meloloskan kain yang membungkus tubuh kurusnya. Jagat berniat berendam air dingin dibawah sinar bulan. "Masih tidak mengerti apa sebab mereka menyerangku, bahkan kata mereka aku lah pangeran kerajaan yang hilang. Aneh! Apalagi beberapa purnama silam mereka masih in
Setelah tahu nama dan arah yang pasti guna mencapai tujuannya, Jagat mulai melangkah menuju kedai makan yang cukup ramai. Di sana terlihat begitu penuh pengunjung hingga tidak ada bangku kosong untuk dia duduk. Beberapa bangku telah dipenuhi oleh para pendekar tangguh yang satu pun tidak dia kenal. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya mengisi perut. Jagat melangkah langsung pada penjual yang sedang melayani antrian pria bersenjata pedang tipis. Mungkin hanya Jagat yang berdiri tanpa senjata bahkan terlihat begitu lemah tanpa aura yang jelas. Jagat terhenyak kaget saat bahunya ditepuk keras oleh pria buncit sambil memegang kendi dam menyodorkan padanya dan berkata, "Antrikan aku tuak di sini, Kisanak!"Jagat termangu menatap pada pria buncit itu, samar ingatannya menampilkan wajah yang tidak asing. Namun, hingga gilirannya tiba dia masih belum bisa ingat akan sosok itu. Jagat memesan nasi dengan ayam bakar dan lalapan tidak lupa dia juga memesan tuak. "Silakan duduk di tempat An
Jagat melangkah meninggalkan kedai tetapi dia masih ingin berkeliling desa itu. Jagat berjalan menuju ke pusat jual beli. Di sana tampak seorang pemuda dengan membawa kuda jantan yang masih muda. Jagat tertarik dengan salah satu kuda milik pemuda itu. "Berapa kuda hitam ini?""50 keping emas, Tuan."Jagat mengeluarkan kepingan emas sejumlah yang dikatakan oleh pemilik kuda. Setelah terjadi ijab qobul jual beli, kuda jantan hitam itu dibawa oleh Jagat. Awalnya ada penolakan pada kuda tetapi hanya dengan satu kali usap, kuda tersebut langsung jinak. Pemilik kuda terpana, dia sungguh tidak paham. Biasanya kuda jenis petarung sangat susah ditaklukkan kecuali dengan bisikan dari dia terlebih dahulu. Namun, berbeda dengan Jagat. "Rupanya kuda ini berjodoh dengan, Tuan. Semoga dia berguna untuk penuhi tujuan Anda, Tuan."Jagat hanya mengulas senyum tipis, kemudian dia melangkah berjalan sambil menuntun kudanya. Hingga jalanan sudah mulai sepi barulah Jagat mulai menunggang kuda hitam. Se
Akibat pertemuan dua jurus yang saling bertenaga menimbulkan cekungan yang cukup dalam. Untung tubuh Jagat tidak terpental terlalu jauh. Pemuda itu hanya tergeser ke belakang beberapa langkah. Sedangkan dua pendekar jubah hitam masih kokoh berdiri di tempatnya semula. Jagat bangkit dari posisinya yang jatuh terjengkang akibat serangan pendekar jubah hitam. Tatapan tajam kedua pendekar lawannya seakan menguliti Jagat. "Rupanya hanya sekian kesaktian pemilik kujang kuno tersohor itu. Lemah!""Benar Bledek, aku juga tidak menyangka semudah ini. Kita hancurkan saja sekalian!" ujar seorang pria yang memanggil temannya Bledek. "Kita tidak boleh gegabah, Pandu. Kita nikmati saja dulu." jawab Bledek. Pandu yang berbicara dengan pimpinan begal jubah hitam pun tersenyum, pandangannya beralih pada tiga rekannya yang lain. Mereka membalas senyum Pandu penuh misteri. "Kini giliran kami!" ucap Lukito. Tanpa menunggu jawaban Pandu dan Bledek, Lukito segera berlari menuju Jagat dengan kaki terj