Jagat melangkah meninggalkan kedai tetapi dia masih ingin berkeliling desa itu. Jagat berjalan menuju ke pusat jual beli. Di sana tampak seorang pemuda dengan membawa kuda jantan yang masih muda. Jagat tertarik dengan salah satu kuda milik pemuda itu. "Berapa kuda hitam ini?""50 keping emas, Tuan."Jagat mengeluarkan kepingan emas sejumlah yang dikatakan oleh pemilik kuda. Setelah terjadi ijab qobul jual beli, kuda jantan hitam itu dibawa oleh Jagat. Awalnya ada penolakan pada kuda tetapi hanya dengan satu kali usap, kuda tersebut langsung jinak. Pemilik kuda terpana, dia sungguh tidak paham. Biasanya kuda jenis petarung sangat susah ditaklukkan kecuali dengan bisikan dari dia terlebih dahulu. Namun, berbeda dengan Jagat. "Rupanya kuda ini berjodoh dengan, Tuan. Semoga dia berguna untuk penuhi tujuan Anda, Tuan."Jagat hanya mengulas senyum tipis, kemudian dia melangkah berjalan sambil menuntun kudanya. Hingga jalanan sudah mulai sepi barulah Jagat mulai menunggang kuda hitam. Se
Akibat pertemuan dua jurus yang saling bertenaga menimbulkan cekungan yang cukup dalam. Untung tubuh Jagat tidak terpental terlalu jauh. Pemuda itu hanya tergeser ke belakang beberapa langkah. Sedangkan dua pendekar jubah hitam masih kokoh berdiri di tempatnya semula. Jagat bangkit dari posisinya yang jatuh terjengkang akibat serangan pendekar jubah hitam. Tatapan tajam kedua pendekar lawannya seakan menguliti Jagat. "Rupanya hanya sekian kesaktian pemilik kujang kuno tersohor itu. Lemah!""Benar Bledek, aku juga tidak menyangka semudah ini. Kita hancurkan saja sekalian!" ujar seorang pria yang memanggil temannya Bledek. "Kita tidak boleh gegabah, Pandu. Kita nikmati saja dulu." jawab Bledek. Pandu yang berbicara dengan pimpinan begal jubah hitam pun tersenyum, pandangannya beralih pada tiga rekannya yang lain. Mereka membalas senyum Pandu penuh misteri. "Kini giliran kami!" ucap Lukito. Tanpa menunggu jawaban Pandu dan Bledek, Lukito segera berlari menuju Jagat dengan kaki terj
Seiring kujang menghujam rusuk Bledek, serangan datang dari Lukito pada dada Jagat. Sebuah pukulan telak menyentuh dada yang terbuka seketika tubuh Jagat terpental ke belakang sejauh dua depa. Sementara luka akibat tusukan kujang pada rusuk Bledek tidak membuat pria itu jatuh. Bledek masih berdiri tegak meski darah mengucur deras. Justru kekehan ringan terdengar lirih, lalu telapak tangan kanan Bledek mengusap luka tersebut. Dengan dua kali usap darah pada luka sudah berhenti dan luka menutup. Apa yang terjadi pada Bledek membuat Jagat terpana tidak mengerti ilmu apa yang digunakan musuhnya. Pemuda itu berusaha berdiri sambil menekan dadanya yang terasa bagai terbakar. Sesak menyerang dadanya, dia terbatuk dan menyemburkan darah. "Gila, pukulan ini sangat kuat. Aku harus mengeluarkan sumber daya yang berlebih!" batin Jagat. Meski tubuhnya penuh luka, Jagat masih berusaha untuk berdiri. Bibirnya mengucap lirih memanggil Ki Cadek. Tanpa terlihat wujud pria tua berjenggot putih itu p
Seberkas sinar muncul di telapak tangan Lukito lalu bayangan telapak tangan melesat menembus kepekatan udara dan menghantam tubuh Jagat yang baru saja menyentuh tanah. Namun, tiba-tuba seberkas cahaya putih membungkus tubuh lemah pemuda itu dan membawanya pergi menjauh. Lukita melotot dan mengumpat melihat hal itu. Maka dengan kecepatan kilat tubuhnya melesat menuju bayangan putih untuk mencoba menghentikan larinya. Beberapa pukulan tapak dewa dia luncurkan guna menghentikan bayangan tersebut, tetapi dengan mudahnya pemilik bayangan melawan hingga semua serangan Lukito menembus ruang kosong. "Sial, hai jangan kabur!" teriak Lukito lantang. Akan tetapi, cakra yang menguar dari sosok tersebut membuat nyali Lukito sedikit menciut. Tawa lirih bak ringkikan kuda menyapa gendang telinga Lukito. Lamat terdengar suara yang bermuatan tenaga dalam tingkat tinggi. "Tak perlu kau umpat, Bocah Gendeng. Jika yang kau inginkan adalah kujang itu, maka cabut saja dia yang menancap di batu. Aku ing
Cukup lama Jagat tertidur akibat serangan pendekar berjubah. Pemuda itu seakan mati hingga napasnya seakan hanya sesekali membuat pria tua mengernyitkan dahi. Seluruh tubuh Jagat hampir terlihat lebam dan membiru, pria tua masih telaten memberikan ramuan berupa serbuk herbal yang beberapa hari lalu sudah di racik. Dia juga sesekali menotok beberapa titik jalan darah agar lebih mudah obat tersebut meresap. Setelah tiga hari tiga malam, ujung jari Jagat mulai ada pergerakan membuat pria tua tersenyum. Kemudian dia menyiapkan air khusus di sebuah gelas dari bambu. Perlahan kedua mata Jagat membuka, "Dimana aku?""Bangkit dan lawan semua rasa yang menyerangmu saat ini, Pangeran. Kau harus segera bangkit dan tuntut keadilan!"Jagat masih bungkam, dia seakan linglung. Jiwanya masih belum sepenuhnya tersadar di dunia nyata. Ada sebagian yang tertinggal di bawah alam bawah sadar dan itu sedang berbincang dengan Ki Cadek. "Jangan terlalu lama tidur, Pangeran. Bangun dan segera susun rencan
Secara spontan kedua kaki Jagat mundur meski jiwanya berontak. Pemuda itu mulai mengatur napas agar tidak keteteran. Perlahan sudut mata mencari sosok pria yang terluka, tetapi seketika membeliak saat yang dilihat seonggok tulang belulang. "Gila, kemana pria tadi?"Jagat menelan ludahnya kasar, pemuda itu makin tidak nyaman akan lokasi yang saat ini sedang dialaminya. Sesungguhnya saat ini yang diinginkan hanya segera keluar. Namun, seperti apa yang dikatakan oleh pria tersebut dia harus mengalahkan kobra raksasa tersebut. Otak Jagat mulai berpikir mencari jalan keluar atas masalah yang membelenggunya. Pemuda itu melihat dengan seksama gerak sang ular. Ketika kepalanya menjulur tampak geraknya cepat dan akurat hingga membuatnya harus selalu waspada. "Saat menjulur lidahnya ikut keluar, saat itu juga sesuatu menyembur dengan dahsyatnya. Mungkin saat itulah waktu yang pas aku serang!" Pemuda itu berkata sendiri sambil menghindar belitan ekor kobra. Sang Kobra melata dengan cepat dan
Sinar merah menguar dari dalam dada Jagat, kemudian membungkus tubuh pemuda tersebut. Ki Cadek terhentak merasakan energi yang membungkus tubuh majikannya hingga membuatnya terpaku di dunia bawah sadar sang majikan. Sinar yang membungkus tubuh Jagat terus melindungi dari serangan bertubi pukulan tangan tanpa raga hingga segumpal molekul menerpa ujung kepala yang tertunduk. Benturan itu membawa dampak positif pada tubuh Jagat.Pemuda tersebut seketika bernapas secara teratur kembali. Kepala yang awalnya tertunduk kini sudah kembali tegak meskipun mata masih terpejam. "Pangeran, apakah kamu bisa mendengar suaraku?" tanya Ki Cadek menyapa cuping Jagat. Pemuda itu perlahan membuka kedua matanya dan terlihat sebongkah permata merah delima. Bibirnya tersenyum, telapak tangan kanan Jagat membuka membuat permata tersebut seketika meluncur masuk dalam pusat tapak tangan. Suara Ki Cadek yang mengajaknya berbicara mulai bisa didengar. Jagat pun membalas semua tanya penunggu kujang miliknya.
Seiring tipisnya asap putih kebiruan menguap, napas Jagat terlihat mulai teratur. Setelah sekian waktu kedua matanya membuka dan menyesuaikan dengan sinar mentari yang menerobos bilik bambu. Bibirnya mengulas senyum tipis kala dilihatnya wajah tua penuh senyum. "Dewa Mabuk!" sapa lirih Jagat. Pria tua dengan perut buncit ternyata seorang pendekar dengan julukan Dewa Mabuk. Jagat pernah bertemu dengannya sebanyak dua kali tetapi saat itu dia belum tahu nama tenarnya. Terakhir kali saat di kedai kopi itulah seorang pelayan memberi tahu namanya . "Namaku Singolangit, Pangeran. Jangan samakan aku dengan pendekar kelas kakap seperti beliau." Singolangit tersenyum sambil menyodorkan gelas bambu berisi air kendi. Jagat menerima dan langsung menenggaknya hingga tuntas. Senyum tersunging di bibir tipis nan merah beserta ucapan terima kasih atas perhatiannya selama ini. "Ini sudah kewajibanku, Pangeran. Dan aku sangat lama nantikan waktu sebelum jiwaku sirna," papar Singolangit. "Maksudny