Seiring kujang menghujam rusuk Bledek, serangan datang dari Lukito pada dada Jagat. Sebuah pukulan telak menyentuh dada yang terbuka seketika tubuh Jagat terpental ke belakang sejauh dua depa. Sementara luka akibat tusukan kujang pada rusuk Bledek tidak membuat pria itu jatuh. Bledek masih berdiri tegak meski darah mengucur deras. Justru kekehan ringan terdengar lirih, lalu telapak tangan kanan Bledek mengusap luka tersebut. Dengan dua kali usap darah pada luka sudah berhenti dan luka menutup. Apa yang terjadi pada Bledek membuat Jagat terpana tidak mengerti ilmu apa yang digunakan musuhnya. Pemuda itu berusaha berdiri sambil menekan dadanya yang terasa bagai terbakar. Sesak menyerang dadanya, dia terbatuk dan menyemburkan darah. "Gila, pukulan ini sangat kuat. Aku harus mengeluarkan sumber daya yang berlebih!" batin Jagat. Meski tubuhnya penuh luka, Jagat masih berusaha untuk berdiri. Bibirnya mengucap lirih memanggil Ki Cadek. Tanpa terlihat wujud pria tua berjenggot putih itu p
Seberkas sinar muncul di telapak tangan Lukito lalu bayangan telapak tangan melesat menembus kepekatan udara dan menghantam tubuh Jagat yang baru saja menyentuh tanah. Namun, tiba-tuba seberkas cahaya putih membungkus tubuh lemah pemuda itu dan membawanya pergi menjauh. Lukita melotot dan mengumpat melihat hal itu. Maka dengan kecepatan kilat tubuhnya melesat menuju bayangan putih untuk mencoba menghentikan larinya. Beberapa pukulan tapak dewa dia luncurkan guna menghentikan bayangan tersebut, tetapi dengan mudahnya pemilik bayangan melawan hingga semua serangan Lukito menembus ruang kosong. "Sial, hai jangan kabur!" teriak Lukito lantang. Akan tetapi, cakra yang menguar dari sosok tersebut membuat nyali Lukito sedikit menciut. Tawa lirih bak ringkikan kuda menyapa gendang telinga Lukito. Lamat terdengar suara yang bermuatan tenaga dalam tingkat tinggi. "Tak perlu kau umpat, Bocah Gendeng. Jika yang kau inginkan adalah kujang itu, maka cabut saja dia yang menancap di batu. Aku ing
Cukup lama Jagat tertidur akibat serangan pendekar berjubah. Pemuda itu seakan mati hingga napasnya seakan hanya sesekali membuat pria tua mengernyitkan dahi. Seluruh tubuh Jagat hampir terlihat lebam dan membiru, pria tua masih telaten memberikan ramuan berupa serbuk herbal yang beberapa hari lalu sudah di racik. Dia juga sesekali menotok beberapa titik jalan darah agar lebih mudah obat tersebut meresap. Setelah tiga hari tiga malam, ujung jari Jagat mulai ada pergerakan membuat pria tua tersenyum. Kemudian dia menyiapkan air khusus di sebuah gelas dari bambu. Perlahan kedua mata Jagat membuka, "Dimana aku?""Bangkit dan lawan semua rasa yang menyerangmu saat ini, Pangeran. Kau harus segera bangkit dan tuntut keadilan!"Jagat masih bungkam, dia seakan linglung. Jiwanya masih belum sepenuhnya tersadar di dunia nyata. Ada sebagian yang tertinggal di bawah alam bawah sadar dan itu sedang berbincang dengan Ki Cadek. "Jangan terlalu lama tidur, Pangeran. Bangun dan segera susun rencan
Secara spontan kedua kaki Jagat mundur meski jiwanya berontak. Pemuda itu mulai mengatur napas agar tidak keteteran. Perlahan sudut mata mencari sosok pria yang terluka, tetapi seketika membeliak saat yang dilihat seonggok tulang belulang. "Gila, kemana pria tadi?"Jagat menelan ludahnya kasar, pemuda itu makin tidak nyaman akan lokasi yang saat ini sedang dialaminya. Sesungguhnya saat ini yang diinginkan hanya segera keluar. Namun, seperti apa yang dikatakan oleh pria tersebut dia harus mengalahkan kobra raksasa tersebut. Otak Jagat mulai berpikir mencari jalan keluar atas masalah yang membelenggunya. Pemuda itu melihat dengan seksama gerak sang ular. Ketika kepalanya menjulur tampak geraknya cepat dan akurat hingga membuatnya harus selalu waspada. "Saat menjulur lidahnya ikut keluar, saat itu juga sesuatu menyembur dengan dahsyatnya. Mungkin saat itulah waktu yang pas aku serang!" Pemuda itu berkata sendiri sambil menghindar belitan ekor kobra. Sang Kobra melata dengan cepat dan
Sinar merah menguar dari dalam dada Jagat, kemudian membungkus tubuh pemuda tersebut. Ki Cadek terhentak merasakan energi yang membungkus tubuh majikannya hingga membuatnya terpaku di dunia bawah sadar sang majikan. Sinar yang membungkus tubuh Jagat terus melindungi dari serangan bertubi pukulan tangan tanpa raga hingga segumpal molekul menerpa ujung kepala yang tertunduk. Benturan itu membawa dampak positif pada tubuh Jagat.Pemuda tersebut seketika bernapas secara teratur kembali. Kepala yang awalnya tertunduk kini sudah kembali tegak meskipun mata masih terpejam. "Pangeran, apakah kamu bisa mendengar suaraku?" tanya Ki Cadek menyapa cuping Jagat. Pemuda itu perlahan membuka kedua matanya dan terlihat sebongkah permata merah delima. Bibirnya tersenyum, telapak tangan kanan Jagat membuka membuat permata tersebut seketika meluncur masuk dalam pusat tapak tangan. Suara Ki Cadek yang mengajaknya berbicara mulai bisa didengar. Jagat pun membalas semua tanya penunggu kujang miliknya.
Seiring tipisnya asap putih kebiruan menguap, napas Jagat terlihat mulai teratur. Setelah sekian waktu kedua matanya membuka dan menyesuaikan dengan sinar mentari yang menerobos bilik bambu. Bibirnya mengulas senyum tipis kala dilihatnya wajah tua penuh senyum. "Dewa Mabuk!" sapa lirih Jagat. Pria tua dengan perut buncit ternyata seorang pendekar dengan julukan Dewa Mabuk. Jagat pernah bertemu dengannya sebanyak dua kali tetapi saat itu dia belum tahu nama tenarnya. Terakhir kali saat di kedai kopi itulah seorang pelayan memberi tahu namanya . "Namaku Singolangit, Pangeran. Jangan samakan aku dengan pendekar kelas kakap seperti beliau." Singolangit tersenyum sambil menyodorkan gelas bambu berisi air kendi. Jagat menerima dan langsung menenggaknya hingga tuntas. Senyum tersunging di bibir tipis nan merah beserta ucapan terima kasih atas perhatiannya selama ini. "Ini sudah kewajibanku, Pangeran. Dan aku sangat lama nantikan waktu sebelum jiwaku sirna," papar Singolangit. "Maksudny
Jagat segera menyelesaikan tugas yang diberikan Singolangit. Membakar ikan baginya bukan hal yang sulit, tetapi suara perempuan tadi masih terus terdengar. Hal ini membuat konsentrasi Jagat sering pecah. "Apa yang terjadu setelah kepergianku tadi, Jagat?" "Tidak ada, Guru. Mungkin hanya ilusi," jawab Jagat masih membolak balikkan ikan bakar. Singolangit mengambil satu ikan yang sudah matang. Matanya memindai setiap sisi pada ikan tersebut. Ada yang berbeda pada tampilan ikannya membuat dahi pria tua berkerut. Jagat melihat reaksi gurunya ikut berkerut dengan memunculkan pertanyaan dalam hati. Apa ada yang salah dengan ikan bakarnya, atau kurang matangkah daging ikan itu. Gelengan kepala diperlihatkan Jagat sambil memicingkan kedua matanya menatap Singolangit. "Bagaimana bisa seperti ini rasa ikan bakarnya, Jagat?""Memang apa rasanya, Guru?"Singolangit menatap Jagat tidak kedip, lalu pandangannya beralih pada perapian yang di atasnya masih terdapat dua ikan yang belum selesai di
Senyum Jagat mengembang, lalu pemuda itu kembali membuka sumber daya yang dimiliki. Telapak tangan kanannya membuka, perlahan muncul sinar kebiruan dan kemerahan juga sinar perak.Ternyata, tiga permata yang dia dapatkan selama sudah menampakkan diri. Lalu dengan penuh tenaga satu per satu permata tersebut dia lemparkan pada kujang. Desing permata pertama yang berbentuk kerucut pada kedua sisi. Terdengar suara berdesing saat terjadi penyatuan kedua benda tersebut. Sinar permata seketika berubah begitu menyatu dengan kujang. Sinar yang awalnya biru jernih berubah menjadi biru pekat saat masuki lubang awal dekat gagang kujang. Senyum pemuda itu mengembang lalu dilemparkan permata kedua. Kali ini permata yang bermuatan partikel perak itu melesat menembus pekatnya udara sekitar dan menancap sempurna pada kujang yang letaknya tepat satu senti di atas permata biru pekat. "Menyatulah kalian, membaur dalam kepekatan yang hakiki!" ucap Jagat lantang. Permata perak menyatu dengan kujang men