Jagat melayang dengan menggunakan ilmu seipi angin. Dengan membawa jasad Savitri, pemuda itu terbang ke utara hutan Pandan Alas. Sepanjang jalan tatapannya penuh dengan amarah dan dendam hingga menemukan mulut goa. "Kita hidup di sini dulu, Savitri. Biarkan aku merawatmu!"Jagat masuk lebih dalam, pandangannya menyapu sekitar goa yang lembab dan gelap. Terlihat lempengan batu hitam yang lumayan lebar, maka dia melangkah lebih dekat dan merebahkan tubuh kaku wanitanya. "Tidurlah sebentar di sini, aku akan siapkan perapian lebih dulu agar tubuhmu kembali hangat," ucap Jagat. Pemuda itu kembali melangkah keluar goa, dia mencari ranting yang tergeletak begitu saj di tanah sepanjang mata memandang. Setelah merasa cukup, Jagat kembali masuk goa. Tidak lupa pemuda itu juga memetik beberapa buah yang bisa dikonsumsi. Ditatanya ranting kering dan mulai membuat api. Nyala api sudah berhasil dihadirkan, maka dia juga berniat merebus air kebetulan saat mencari ranting terlihat kuali kecil.
Jagat mulai berjalan, pendengarannya menajam saat samar terdengar aliran air yang cukup deras. Lalu langkahnya mengikuti asal datangnya suara hingga membawanya pada arus sungai yang cukup deras. Pria itu menunduk pada air yang jernih meski alirannya cukup deras. Jagat terdiam untuk sesaat menatap pantulan wajahnya pada air bening yang tersorot sinar bulan kebetulan malam itu malam bulan purnama. "Ada apa dengan wajahku, tubuhku pun bereaksi lebih kala mereka menatapku tajam?"Jagat berbicara sendiri sambil mengingat peristiwa silam saat keempat pendekar pati mengeroyoknya. Telapak tangannya meraup air lalu dibasuhkan pada wajahnya agar terlihat lebih segar. Beberapa kali kegiatan itu dia lakukan lalu lambat laun tangannya meloloskan kain yang membungkus tubuh kurusnya. Jagat berniat berendam air dingin dibawah sinar bulan. "Masih tidak mengerti apa sebab mereka menyerangku, bahkan kata mereka aku lah pangeran kerajaan yang hilang. Aneh! Apalagi beberapa purnama silam mereka masih in
Setelah tahu nama dan arah yang pasti guna mencapai tujuannya, Jagat mulai melangkah menuju kedai makan yang cukup ramai. Di sana terlihat begitu penuh pengunjung hingga tidak ada bangku kosong untuk dia duduk. Beberapa bangku telah dipenuhi oleh para pendekar tangguh yang satu pun tidak dia kenal. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya mengisi perut. Jagat melangkah langsung pada penjual yang sedang melayani antrian pria bersenjata pedang tipis. Mungkin hanya Jagat yang berdiri tanpa senjata bahkan terlihat begitu lemah tanpa aura yang jelas. Jagat terhenyak kaget saat bahunya ditepuk keras oleh pria buncit sambil memegang kendi dam menyodorkan padanya dan berkata, "Antrikan aku tuak di sini, Kisanak!"Jagat termangu menatap pada pria buncit itu, samar ingatannya menampilkan wajah yang tidak asing. Namun, hingga gilirannya tiba dia masih belum bisa ingat akan sosok itu. Jagat memesan nasi dengan ayam bakar dan lalapan tidak lupa dia juga memesan tuak. "Silakan duduk di tempat An
Jagat melangkah meninggalkan kedai tetapi dia masih ingin berkeliling desa itu. Jagat berjalan menuju ke pusat jual beli. Di sana tampak seorang pemuda dengan membawa kuda jantan yang masih muda. Jagat tertarik dengan salah satu kuda milik pemuda itu. "Berapa kuda hitam ini?""50 keping emas, Tuan."Jagat mengeluarkan kepingan emas sejumlah yang dikatakan oleh pemilik kuda. Setelah terjadi ijab qobul jual beli, kuda jantan hitam itu dibawa oleh Jagat. Awalnya ada penolakan pada kuda tetapi hanya dengan satu kali usap, kuda tersebut langsung jinak. Pemilik kuda terpana, dia sungguh tidak paham. Biasanya kuda jenis petarung sangat susah ditaklukkan kecuali dengan bisikan dari dia terlebih dahulu. Namun, berbeda dengan Jagat. "Rupanya kuda ini berjodoh dengan, Tuan. Semoga dia berguna untuk penuhi tujuan Anda, Tuan."Jagat hanya mengulas senyum tipis, kemudian dia melangkah berjalan sambil menuntun kudanya. Hingga jalanan sudah mulai sepi barulah Jagat mulai menunggang kuda hitam. Se
Akibat pertemuan dua jurus yang saling bertenaga menimbulkan cekungan yang cukup dalam. Untung tubuh Jagat tidak terpental terlalu jauh. Pemuda itu hanya tergeser ke belakang beberapa langkah. Sedangkan dua pendekar jubah hitam masih kokoh berdiri di tempatnya semula. Jagat bangkit dari posisinya yang jatuh terjengkang akibat serangan pendekar jubah hitam. Tatapan tajam kedua pendekar lawannya seakan menguliti Jagat. "Rupanya hanya sekian kesaktian pemilik kujang kuno tersohor itu. Lemah!""Benar Bledek, aku juga tidak menyangka semudah ini. Kita hancurkan saja sekalian!" ujar seorang pria yang memanggil temannya Bledek. "Kita tidak boleh gegabah, Pandu. Kita nikmati saja dulu." jawab Bledek. Pandu yang berbicara dengan pimpinan begal jubah hitam pun tersenyum, pandangannya beralih pada tiga rekannya yang lain. Mereka membalas senyum Pandu penuh misteri. "Kini giliran kami!" ucap Lukito. Tanpa menunggu jawaban Pandu dan Bledek, Lukito segera berlari menuju Jagat dengan kaki terj
Seiring kujang menghujam rusuk Bledek, serangan datang dari Lukito pada dada Jagat. Sebuah pukulan telak menyentuh dada yang terbuka seketika tubuh Jagat terpental ke belakang sejauh dua depa. Sementara luka akibat tusukan kujang pada rusuk Bledek tidak membuat pria itu jatuh. Bledek masih berdiri tegak meski darah mengucur deras. Justru kekehan ringan terdengar lirih, lalu telapak tangan kanan Bledek mengusap luka tersebut. Dengan dua kali usap darah pada luka sudah berhenti dan luka menutup. Apa yang terjadi pada Bledek membuat Jagat terpana tidak mengerti ilmu apa yang digunakan musuhnya. Pemuda itu berusaha berdiri sambil menekan dadanya yang terasa bagai terbakar. Sesak menyerang dadanya, dia terbatuk dan menyemburkan darah. "Gila, pukulan ini sangat kuat. Aku harus mengeluarkan sumber daya yang berlebih!" batin Jagat. Meski tubuhnya penuh luka, Jagat masih berusaha untuk berdiri. Bibirnya mengucap lirih memanggil Ki Cadek. Tanpa terlihat wujud pria tua berjenggot putih itu p
Seberkas sinar muncul di telapak tangan Lukito lalu bayangan telapak tangan melesat menembus kepekatan udara dan menghantam tubuh Jagat yang baru saja menyentuh tanah. Namun, tiba-tuba seberkas cahaya putih membungkus tubuh lemah pemuda itu dan membawanya pergi menjauh. Lukita melotot dan mengumpat melihat hal itu. Maka dengan kecepatan kilat tubuhnya melesat menuju bayangan putih untuk mencoba menghentikan larinya. Beberapa pukulan tapak dewa dia luncurkan guna menghentikan bayangan tersebut, tetapi dengan mudahnya pemilik bayangan melawan hingga semua serangan Lukito menembus ruang kosong. "Sial, hai jangan kabur!" teriak Lukito lantang. Akan tetapi, cakra yang menguar dari sosok tersebut membuat nyali Lukito sedikit menciut. Tawa lirih bak ringkikan kuda menyapa gendang telinga Lukito. Lamat terdengar suara yang bermuatan tenaga dalam tingkat tinggi. "Tak perlu kau umpat, Bocah Gendeng. Jika yang kau inginkan adalah kujang itu, maka cabut saja dia yang menancap di batu. Aku ing
Cukup lama Jagat tertidur akibat serangan pendekar berjubah. Pemuda itu seakan mati hingga napasnya seakan hanya sesekali membuat pria tua mengernyitkan dahi. Seluruh tubuh Jagat hampir terlihat lebam dan membiru, pria tua masih telaten memberikan ramuan berupa serbuk herbal yang beberapa hari lalu sudah di racik. Dia juga sesekali menotok beberapa titik jalan darah agar lebih mudah obat tersebut meresap. Setelah tiga hari tiga malam, ujung jari Jagat mulai ada pergerakan membuat pria tua tersenyum. Kemudian dia menyiapkan air khusus di sebuah gelas dari bambu. Perlahan kedua mata Jagat membuka, "Dimana aku?""Bangkit dan lawan semua rasa yang menyerangmu saat ini, Pangeran. Kau harus segera bangkit dan tuntut keadilan!"Jagat masih bungkam, dia seakan linglung. Jiwanya masih belum sepenuhnya tersadar di dunia nyata. Ada sebagian yang tertinggal di bawah alam bawah sadar dan itu sedang berbincang dengan Ki Cadek. "Jangan terlalu lama tidur, Pangeran. Bangun dan segera susun rencan
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan