“Akhirnya, bisa pergi juga dari sana,” keluh Aerline saat dia dan Joel sudah ada di dalam mobil. “Dia benar-benar pria hidung belang. Lain kali kalau bertemu dengannya. Kamu tidak perlu ikut!” ucap Joel merasa cemburu. Dia sangat kesal, karena sepanjang meeting tadi, Robert terus menatap Aerline dengan terang-terangan dan itu benar-benar membuat Joel kesal bulan main. Aerline menatap Joel dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu kamu merasa tidak nyaman, Joel. Tapi aku bisa mengurus diriku sendiri. Robert memang tidak pantas mendapatkan perhatianmu,” ujarnya lembut. Joel menghela napas, mencoba menenangkan hatinya yang masih bergejolak. “Aku hanya tidak suka cara dia memandangmu. Seolah-olah dia bisa melanggar batasan kapan saja,” katanya, suaranya sedikit meninggi. Aerline tersenyum, berusaha mengekang emosi Joel. “Dia mungkin mengagumi, dan aku sadar karena kecantikanku bisa mengalihkan perhatian siapa saja, termasuk kamu,” goda Aerline. “Tapi aku tetap tidak suka cara dia nat
“Wah, pantai…” teriak Aerline berlari ke arah pantai dengan sangat cerita. Joel yang berjalan mengikuti wanita itu hanya bisa tersenyum lebar, melihat kebahagiaan dan keceriaan Aerline. Joel mempercepat langkahnya, ingin memastikan Aerline tidak terlalu jauh darinya. Saat Aerline tiba di tepi pantai, angin laut yang segar menyambutnya, disertai suara ombak yang berdeburan. Dia melompat-lompat kecil di pasir putih, mengeksplorasi setiap sudut dengan semangat yang tak terhingga. “Lihat, Joel! Airnya biru sekali!” teriaknya sambil menunjuk ke arah lautan yang berkilau di bawah sinar matahari.Joel, yang kini berdiri di sampingnya, mengamati dengan penuh bahagia. “Iya, indah sekali. Pantai ini memang luar biasa,” katanya sambil mengagumi keindahan alam di sekitar mereka. Aerline berlari ke arah ombak yang datang, membiarkan air menyentuh kakinya. Dia tertawa riang ketika gelombang mengejar, membuatnya melompat mundur. “Ayo, bergabung denganku!” ajaknya kepada Joel.Dia menikmati momen
“Apa katamu, Tuan Nathaniel tidak ada di kantor?” tanya Gisella terkejut mendengar jawaban Maya. “Benar, Nona Gisella. Sudah dua hari yang lalu, Tuan Nathaniel ada perjalanan bisnis keluar kota,” jawab Maya. Gisella menyisir seluruh ruangan sekretaris itu, keningnya mengerut saat menyadari sesuatu. “Pergi dengan siapa dia?” tanya Gisella. “Tuan Nathaniel pergi bersama Aerline. Salah satu sekretaris tuan Nathaniel,” jawab Maya. “Wanita itu lagi,” gerutu Gisella merasa sangat kesal. Maya memperhatikan ekspresi Gisella yang berubah menjadi cemberut. Dia tahu betapa pentingnya Tuan Nathaniel bagi Gisella, dan kepergian pria itu bersama Aerline tampaknya membuatnya semakin tidak nyaman.“Apakah ada yang bisa saya bantu, Nona Gisella?” tanya Maya dengan nada lembut, berusaha meredakan ketegangan di ruangan itu.Gisella menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Tidak, terima kasih. Saya hanya... merasa khawatir. Tuan Nathaniel biasanya tidak pergi begitu lama tanpa memberi
“Kenapa kamu cemberut?” tanya Laura yang merupakan ibunda dari Gisella. Gisella yang sedang duduk di ayunan yang ada di halaman belakang menoleh ke arah Laura sambil menghela napasnya. “Joel sama sekali tidak memberi kabar dan membalas pesanku,” keluh Gisella menatap layar ponselnya. “Bukankah Joel sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota?” tanya Laura yang duduk di kursi yang ada di samping Gisella. “Iya, tapi dia sama sekali tidak memberi kabar padaku. Bahkan, keberangkatannya ke luar kota saja, dia tidak mengirimkan pesan apa pun.” Gisella menundukkan kepalanya dengan tatapan sendu. Laura mengamati putrinya yang tampak kehilangan semangat. Dia tahu betapa pentingnya Joel bagi Gisella, dan melihat putrinya cemberut membuatnya merasa khawatir. “Sayang, kadang-kadang orang sibuk dengan pekerjaan mereka. Mungkin dia terlalu fokus sampai lupa untuk memberi kabar,” ujar Laura dengan nada menenangkan. Gisella menggelengkan kepalanya pelan, merasa kesal. “Tapi, Mom, seharusnya dia
“Aerline, hai!” Maya menyapa Aerline saat wanita itu sampai di kantor. Rekan sekretaris yang lainnya pun ikut menyapa di sana. “Hey, Lin. Nggak lupa oleh-olehnya dong,” goda Bam yang merupakan sekretaris Joel juga. “Tentu saja,” jawab Aerline tersenyum merekah di sana. Aerline tersenyum lebar, kemudian mengeluarkan beberapa bungkusan dari tasnya. "Ini untuk kalian! Jangan khawatir, aku nggak lupa sama sekali," katanya sambil membagikan oleh-oleh kepada teman-teman divisinya. Maya dan Bam mengambil bungkusan mereka dengan antusias. "Terima kasih, Lin!" seru Maya dengan wajah berbinar. Bam pun tak kalah senang. "Kamu memang paling bisa diandalkan, Lin," tambahnya sambil tersenyum lebar.Aerline merasa senang bisa berbagi dan melihat rekan-rekannya bahagia. Suasana di kantor menjadi hangat dan penuh canda tawa, membuat hari itu dimulai dengan energi positif.“Wah, lagi bagi-bagi bingkisan, nih. Kira-kira aku dapat nggak, ya?” goda Leon yang baru saja muncul di sana.Aerline dan re
“Makanlah bubur ini, aku sengaja memesan bubur untukmu,” ucap Leon. Saat ini, dia dan Aerline berada di ruangan pantry kantor. Leon sengaja membelikan bubur untuk Aerline yang terlihat lemas. “Aku gak mood makan,” keluh Aerline. “Paksain dong. Kamu masuk angin kayaknya. Udah berapa kali masuk ke kamar mandi sejak tadi?” tanya Leon. “Tiga kali. Mungkin benar masuk angin, lemas sekali rasanya,” keluh Aerline. Terlebih hatinya sakit dan dia ingin sekali menangis, tetapi dia sadar posisinya adalah sebagai yang kedua dan selingkuhan Joel. Dia harus menerima konsekuensi seperti ini. “Biar aku suapin. Buka mulutmu?” ujar Leon mengambil sendok dan menyendokkan bubur tersebut. “Buka mulutmu, Lin.” Leon sedikit memaksa, walau Aerline terus menolaknya. Aerline menggeleng pelan, merasa tidak nyaman dengan perhatian Leon yang berlebihan. “Leon, aku bisa makan sendiri,” ujarnya, berusaha terdengar tegas meski suaranya lemah. “Tidak, kamu butuh tenaga. Ini hanya bubur, tidak akan membuatmu k
“Makanannya sudah jadi, makan dulu,” ucap Joel berjalan mendekati ranjang dan duduk di sisi ranjang di mana Aerline merebahkan tubuhnya. “Aku gak mau makan,” keluh Aerline. “Perutku sakit.” Joel menatap Aerline yang sudah berkeringat dingin dan wajahnya yang pucat pasi di sana. Joel mengerutkan keningnya, merasa khawatir melihat kondisi Aerline. "Kamu pasti butuh energi, Aerly. Coba sedikit saja, ya?" ujarnya lembut, berusaha meyakinkan.Aerline menggeleng lemah, "Aku benar-benar tidak bisa, Joel. Rasanya mual." Dia menutup matanya sejenak, berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di perutnya.Joel menghela napas, lalu meraih handuk kecil di meja dan mengelap keringat di dahi Aerline. "Kalau kamu tidak mau makan, setidaknya minum air putih. Itu bisa membantu," sarannya.Aerline membuka matanya dan menatap Joel dengan tatapan lemah. "Tapi aku tidak ingin membuatmu khawatir," katanya pelan."Jangan khawatirkan aku. Yang penting sekarang adalah kamu. Aku di sini untuk merawatmu," jaw
Joel duduk di sisi ranjang Aerline dan menggenggam tangannya. "Bagaimana sekarang? Apa masih sakit?” tanya Joel menatap Aerline dengan penuh kekhawatiran. “Kenapa lama sekali? Apa yang kalian bicarakan? Apa kondisiku parah?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens. “Dokter bilang, kamu harus istirahat total dan jangan sampai kelelahan. Dokter curiga kalau kamu menderita sakit usus buntu, tindakan akan dilakukan, setelah melihat kondisi kamu tiga hari ke depan,” ucap Joel. “Ah begitu. Aku tidak pernah menyangka akan sakit usus buntu,” keluh Aerline. “Itulah. Akibat dari kamu yang suka sekali makan mie, minuman soda dan makanan siap saji. Belum lagi makan pedas,” keluh Joel sampai tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tahu aku salah, Joel. Aku akan memperbaiki pola makan dan gaya hidupku mulai sekarang. Aku tidak ingin sakit lagi," kata Aerline sambil menarik napasnya. Joel tersenyum lega mendengar komitmen Aerline. "Mulai sekarang, kamu harus lebih peduli dengan kesehatanmu. Kamu t
“Jadi, aku sebrengsek itu di matamu?” Aerline terkejut saat mendengar bisikan seseorang di belakangnya. Dia langsung membalikkan badannya dan melihat Joel berdiri di belakangnya. “Joel? Apa yang kamu lakukan di sini? Pergilah, nanti ada yang lihat. Kita lagi ada di kantor,” ujar Aerline melihat kanan dan kiri dengan khawatir. “Kenapa begitu gelisah? Memangnya kenapa kalau ketahuan?” goda Joel. “Apa kamu akan memakiku lagi?” Aerline merasa tubuhnya membeku, otaknya berputar cepat mencoba mencari alasan atau cara untuk keluar dari situasi ini. "Joel, aku nggak bermaksud... Maksudku, voice note itu... Aku... Aku mabuk waktu itu!" katanya terbata-bata, wajahnya memerah.Joel menyeringai kecil, tangannya dimasukkan ke saku celananya dengan santai. "Oh, jadi kalau mabuk, semua hal yang kamu sembunyikan keluar begitu saja, ya?" tanyanya dengan nada yang menggoda namun matanya tajam mengamati reaksi Aerline.Aerline menelan ludah, hatinya semakin kalut.
“Apa yang kamu lakukan di rumahku?” tanya Joel merasa kesal karena kehadiran Bailee di sana. Ibu tiri Joel itu berjalan masuk dengan langkah angkuh memasuki rumah Joel. “Apa seperti itu, kamu menyapa ibumu?” tanya Bailee. Joel menatap Bailee dengan sinis. “Kalau tidak ada hal penting. Keluar!” usir Joel tanpa belas kasih. “Kamu selalu saja bersikap dingin padaku, Joel. Padahal dulu kita sangat dekat,” ujarnya dengan seringai. “Keluar!” usir Joel. “Ada jadwal untuk bertemu wedding organizer dan persiapan foto pra wedding dengan Gisella. Luangkanlah waktumu,” ujar Bailee. “Aku sibuk!”“Sibuk berkencan maksudmu?” ujar Bailee tersenyum meremehkan Joel. Bailee mengayunkan kakinya dengan santai, duduk di sofa ruang tamu Joel seolah rumah itu miliknya. Wajahnya tidak menunjukkan rasa terganggu oleh sikap dingin putra tirinya.“Kamu memang keras kepala seperti ayahmu,” kata Bailee dengan nada menyindir. “Tapi ingat, Joel, pernikahanmu dengan Gisella ini bukan hanya untukmu. Ini tenta
“Baru pulang?” tanya Freyya yang ternyata sedang sibuk di dapur saat Aerline sampai di apartemen. “Ya. Apa yang sedang kamu lakukan, Frey?” tanya Aerline berjalan perlahan mendekati dapur. “Aku sedang menghancurkan dapur. Apa kamu tidak lihat kalau aku sedang memasak!” ucap Freyya dengan mendengus. Aerline terkekeh di sana. “Sensi amat, Bu… ““Pergilah mandi, aku akan siapkan makan malam untuk kita berdua,” ujar Freyya. “Oke.”Aerline tersenyum kecil mendengar jawaban Freyya yang ketus tapi hangat. Freyya selalu seperti itu, penuh kehebohan tapi diam-diam peduli. Langkah Aerline melambat sejenak saat melihat kekacauan di dapur, tepung yang tumpah, beberapa alat masak berserakan, dan aroma masakan yang entah berhasil atau gagal tercium samar-samar.“Jangan terlalu lama mandinya, nanti makan malamnya dingin!” seru Freyya dari dapur sambil mengaduk sesuatu di wajan.Aerline hanya mengangguk sambil melangkah ke kamar mandi. Setelah hari yang panjang dan emosional, suara dan kehadiran
“Saya, batalkan pembeliannya,” ujar Gisella yang bergegas pergi dari sana meninggalkan Kyle. Pelayan di sana dibuat terkejut dan hanya bisa melihat kepergian Gisella. “Nona Gisella, tunggu! Apa anda sangat handal menghindar? Bahkan tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di malam itu,” ujar Kyle masih mengejar Gisella. “Apa yang harus aku pertanggungjawabankan? Itu terjadi, karena kita sama-sama mabuk,” ujar Gisella masih terus berjalan cepat, berharap Kyle pergi. Kyle menghentikan langkahnya dan menatap punggung Gisella dengan tatapan tajam. “Kamu pikir itu alasan yang cukup? Mengabaikan semuanya hanya karena kita mabuk?”Gisella menghentikan langkahnya, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Kyle. “Lalu apa yang kamu mau dariku, Tuan Kyle? Penyesalan? Permintaan maaf? Atau... tanggung jawab seperti yang kamu katakan?” tanya Gisella dengan kesal. Kyle mendekat, nadanya berubah lebih lembut. “Aku hanya ingin kita bicara, Nona. Bukan seperti ini, terus menghindar
“Hei, Lin. Ada apa denganmu? kedua matamu sembab, apa kamu habis menangis?” tanya Agnes. “Aku baik-baik saja,” jawab Aerline di sana. “Aku hanya merasa sedih saja.” “Apa kamu ada masalah? katakanlah, jangan memendamnya sendiri,” ucap Agnes. “Bukan hal besar. Hanya merasa kecewa karena orang yang sangat kupercaya membohongiku,” ucap Aerline.Agnes menatap Aerline dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa ada sesuatu yang mengganggu temannya. Meski Aerline mencoba tersenyum, matanya yang sembab dan wajah yang tampak lelah mengkhianati perasaan yang sebenarnya."Lin, kamu tahu kan aku selalu ada buat kamu? Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan," ujar Agnes lembut, mencoba membuat Aerline merasa nyaman.Aerline menghela napas panjang, pandangannya menerawang ke arah jendela. "Bukan hal besar, Agnes. Aku hanya... kecewa," ucapnya dengan nada datar, meskipun rasa sakit di hatinya terdengar jelas dalam suaranya.Agnes mengerutkan alis. "K
Aerline membuka laptopnya, jemarinya dengan cekatan mengetikkan beberapa dokumen yang perlu disiapkan untuk meeting Joel bersama Manager. Tatapannya fokus, sesekali dia memeriksa ulang setiap detail untuk memastikan semuanya sempurna. Setelah selesai, dia menekan tombol *print* dan mendengar suara lembut printer yang mulai bekerja.Tumpukan kertas hasil cetakan segera ia ambil, lalu ia beranjak dari kursinya. Langkah Aerline terarah menuju ruang fotokopi, sebuah ruangan kecil yang terletak di sisi kosong dekat gudang kantor. Suasana di sana terasa sepi, hanya terdengar bunyi halus pendingin ruangan dan deru mesin penghancur kertas yang baru saja digunakan oleh seseorang.Aerline menyalakan mesin fotokopi dan mulai menggandakan dokumen-dokumen yang tadi diprint. Sambil menunggu, pikirannya sedikit melayang ke kejadian saat Joel bersama Gisella yang tampak serasi. Hal itu, seakan membuat Aerline sadar, kalau Joel lebih cocok dengannya dibanding dengan Aerline. “Apa kamu akan terus men
“Kamu yakin akan masuk kerja?” tanya Freyya saat Aerline sudah bersiap dengan setelan kerjanya. Dia memakai pakaian milik Freyya yang memang seukuran dengannya.“Ya, aku akan masuk kerja. Gimana pun, aku tidak bisa terus menerus menghindar. Aku harus menghadapinya,” ujar Aerline. “Baiklah, kalau memang sudah merasa lebih baik,” ujar Freyya. “Ya, seharian kemarin aku sudah menenangkan diri. Dan kurasa, aku akan bisa dan sanggup menghadapinya sekarang,” ujar Aerline. “Apa rencanamu selanjutnya? Apa kamu akan kembali tinggal bersamanya?” tanya Freyya. “Tidak. Aku sudah pernah memutuskan kalau aku hanya tinggal di sana selama tiga hari. Lalu pindah ke sini,” ucap Aerline. “Ya, lebih baik begitu. Setidaknya, menjaga jaraklah, supaya Joel bisa lebih melihatmu,” ujar Freyya membuat Aerline terdiam. “Sarapan dulu sebelum berangkat. Aku sudah membuatkan roti panggang isi,” ujar Freyya. Mereka pun berjalan menuju mini bar dan duduk berhadapan. Aerline melihat piring berisi roti panggang
Tok! tok! tok!“Ya, sebentar,” jawab Freyya berjalan membuka pintu apartemennya. Dia cukup terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Lin?” panggil Freyya.Aerline berjalan mendekati Freyya dan memeluk sahabatnya dengan perasaan sakit bukan main. Walau dia sadar, hal ini pasti terjadi, tetapi entah kenapa rasanya jauh lebih sakit dari yang dibayangkan.Freyya yang mengetahui apa yang terjadi, hanya diam dan mengelus punggung Aerline dengan lembut di sana.“Kita masuk, ya,” ucap Fretta membuat Aerline menganggukkan kepalanya.Freyya menutup pintu perlahan setelah Aerline masuk ke apartemennya. Ruangan itu hangat, namun suasana yang dibawa Aerline terasa berat, seolah setiap langkahnya meninggalkan jejak kesedihan. Freyya memandu Aerline menuju sofa di ruang tengah. “Duduklah dulu,” ujar Freyya lembut, sambil menuangkan segelas air untuk Aerline. Dia meletakkannya di meja dan duduk di sebelah sahabatnya.Aerline menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi matanya
“Mereka benar-benar pasangan yang serasi, ya,” ucap Agnes menatap ke arah Joel dan Gisella yang sedang menyapa tuan rumah di sana. Aeline beggerak menjauh dari kerumunan sambil mengambil satu gelas sampanye. Dia memilih di sudut ruangan yang cukup sepi. “Dia datang ke sini dengan tunangannya. Bahkan memakai dasi senada, padahal tadi Aerline menyarankan warna dasi lain pada Joel. Kalau dia memang akan datang bersama tunangannya, lalu kenapa harus berbohong padaku?” batin Aerline. Ini adalah balasan yang harus diterima Aerline. Cepat atau lambat, dia akan mengalami hal ini dan menyadari posisinya. Bagaimana pun, Aerline hanya wanita simpanan Joel yang tidak akan pernah terlihat sampai kapanpun juga. Aerline meneguk sampanye dalam diam, merasakan cairan itu mengalir melewati tenggorokannya seperti pengingat pahit akan kenyataan. Pandangannya tak bisa lepas dari Joel dan Gisella, yang tampak sempurna dalam balutan pakaian senada. Joel sedang berbincang dengan para tamu, sementara Gisel