“Wah, pantai…” teriak Aerline berlari ke arah pantai dengan sangat cerita. Joel yang berjalan mengikuti wanita itu hanya bisa tersenyum lebar, melihat kebahagiaan dan keceriaan Aerline. Joel mempercepat langkahnya, ingin memastikan Aerline tidak terlalu jauh darinya. Saat Aerline tiba di tepi pantai, angin laut yang segar menyambutnya, disertai suara ombak yang berdeburan. Dia melompat-lompat kecil di pasir putih, mengeksplorasi setiap sudut dengan semangat yang tak terhingga. “Lihat, Joel! Airnya biru sekali!” teriaknya sambil menunjuk ke arah lautan yang berkilau di bawah sinar matahari.Joel, yang kini berdiri di sampingnya, mengamati dengan penuh bahagia. “Iya, indah sekali. Pantai ini memang luar biasa,” katanya sambil mengagumi keindahan alam di sekitar mereka. Aerline berlari ke arah ombak yang datang, membiarkan air menyentuh kakinya. Dia tertawa riang ketika gelombang mengejar, membuatnya melompat mundur. “Ayo, bergabung denganku!” ajaknya kepada Joel.Dia menikmati momen
“Apa katamu, Tuan Nathaniel tidak ada di kantor?” tanya Gisella terkejut mendengar jawaban Maya. “Benar, Nona Gisella. Sudah dua hari yang lalu, Tuan Nathaniel ada perjalanan bisnis keluar kota,” jawab Maya. Gisella menyisir seluruh ruangan sekretaris itu, keningnya mengerut saat menyadari sesuatu. “Pergi dengan siapa dia?” tanya Gisella. “Tuan Nathaniel pergi bersama Aerline. Salah satu sekretaris tuan Nathaniel,” jawab Maya. “Wanita itu lagi,” gerutu Gisella merasa sangat kesal. Maya memperhatikan ekspresi Gisella yang berubah menjadi cemberut. Dia tahu betapa pentingnya Tuan Nathaniel bagi Gisella, dan kepergian pria itu bersama Aerline tampaknya membuatnya semakin tidak nyaman.“Apakah ada yang bisa saya bantu, Nona Gisella?” tanya Maya dengan nada lembut, berusaha meredakan ketegangan di ruangan itu.Gisella menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Tidak, terima kasih. Saya hanya... merasa khawatir. Tuan Nathaniel biasanya tidak pergi begitu lama tanpa memberi
“Kenapa kamu cemberut?” tanya Laura yang merupakan ibunda dari Gisella. Gisella yang sedang duduk di ayunan yang ada di halaman belakang menoleh ke arah Laura sambil menghela napasnya. “Joel sama sekali tidak memberi kabar dan membalas pesanku,” keluh Gisella menatap layar ponselnya. “Bukankah Joel sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota?” tanya Laura yang duduk di kursi yang ada di samping Gisella. “Iya, tapi dia sama sekali tidak memberi kabar padaku. Bahkan, keberangkatannya ke luar kota saja, dia tidak mengirimkan pesan apa pun.” Gisella menundukkan kepalanya dengan tatapan sendu. Laura mengamati putrinya yang tampak kehilangan semangat. Dia tahu betapa pentingnya Joel bagi Gisella, dan melihat putrinya cemberut membuatnya merasa khawatir. “Sayang, kadang-kadang orang sibuk dengan pekerjaan mereka. Mungkin dia terlalu fokus sampai lupa untuk memberi kabar,” ujar Laura dengan nada menenangkan. Gisella menggelengkan kepalanya pelan, merasa kesal. “Tapi, Mom, seharusnya dia
“Aerline, hai!” Maya menyapa Aerline saat wanita itu sampai di kantor. Rekan sekretaris yang lainnya pun ikut menyapa di sana. “Hey, Lin. Nggak lupa oleh-olehnya dong,” goda Bam yang merupakan sekretaris Joel juga. “Tentu saja,” jawab Aerline tersenyum merekah di sana. Aerline tersenyum lebar, kemudian mengeluarkan beberapa bungkusan dari tasnya. "Ini untuk kalian! Jangan khawatir, aku nggak lupa sama sekali," katanya sambil membagikan oleh-oleh kepada teman-teman divisinya. Maya dan Bam mengambil bungkusan mereka dengan antusias. "Terima kasih, Lin!" seru Maya dengan wajah berbinar. Bam pun tak kalah senang. "Kamu memang paling bisa diandalkan, Lin," tambahnya sambil tersenyum lebar.Aerline merasa senang bisa berbagi dan melihat rekan-rekannya bahagia. Suasana di kantor menjadi hangat dan penuh canda tawa, membuat hari itu dimulai dengan energi positif.“Wah, lagi bagi-bagi bingkisan, nih. Kira-kira aku dapat nggak, ya?” goda Leon yang baru saja muncul di sana.Aerline dan re
“Makanlah bubur ini, aku sengaja memesan bubur untukmu,” ucap Leon. Saat ini, dia dan Aerline berada di ruangan pantry kantor. Leon sengaja membelikan bubur untuk Aerline yang terlihat lemas. “Aku gak mood makan,” keluh Aerline. “Paksain dong. Kamu masuk angin kayaknya. Udah berapa kali masuk ke kamar mandi sejak tadi?” tanya Leon. “Tiga kali. Mungkin benar masuk angin, lemas sekali rasanya,” keluh Aerline. Terlebih hatinya sakit dan dia ingin sekali menangis, tetapi dia sadar posisinya adalah sebagai yang kedua dan selingkuhan Joel. Dia harus menerima konsekuensi seperti ini. “Biar aku suapin. Buka mulutmu?” ujar Leon mengambil sendok dan menyendokkan bubur tersebut. “Buka mulutmu, Lin.” Leon sedikit memaksa, walau Aerline terus menolaknya. Aerline menggeleng pelan, merasa tidak nyaman dengan perhatian Leon yang berlebihan. “Leon, aku bisa makan sendiri,” ujarnya, berusaha terdengar tegas meski suaranya lemah. “Tidak, kamu butuh tenaga. Ini hanya bubur, tidak akan membuatmu k
“Makanannya sudah jadi, makan dulu,” ucap Joel berjalan mendekati ranjang dan duduk di sisi ranjang di mana Aerline merebahkan tubuhnya. “Aku gak mau makan,” keluh Aerline. “Perutku sakit.” Joel menatap Aerline yang sudah berkeringat dingin dan wajahnya yang pucat pasi di sana. Joel mengerutkan keningnya, merasa khawatir melihat kondisi Aerline. "Kamu pasti butuh energi, Aerly. Coba sedikit saja, ya?" ujarnya lembut, berusaha meyakinkan.Aerline menggeleng lemah, "Aku benar-benar tidak bisa, Joel. Rasanya mual." Dia menutup matanya sejenak, berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di perutnya.Joel menghela napas, lalu meraih handuk kecil di meja dan mengelap keringat di dahi Aerline. "Kalau kamu tidak mau makan, setidaknya minum air putih. Itu bisa membantu," sarannya.Aerline membuka matanya dan menatap Joel dengan tatapan lemah. "Tapi aku tidak ingin membuatmu khawatir," katanya pelan."Jangan khawatirkan aku. Yang penting sekarang adalah kamu. Aku di sini untuk merawatmu," jaw
Joel duduk di sisi ranjang Aerline dan menggenggam tangannya. "Bagaimana sekarang? Apa masih sakit?” tanya Joel menatap Aerline dengan penuh kekhawatiran. “Kenapa lama sekali? Apa yang kalian bicarakan? Apa kondisiku parah?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens. “Dokter bilang, kamu harus istirahat total dan jangan sampai kelelahan. Dokter curiga kalau kamu menderita sakit usus buntu, tindakan akan dilakukan, setelah melihat kondisi kamu tiga hari ke depan,” ucap Joel. “Ah begitu. Aku tidak pernah menyangka akan sakit usus buntu,” keluh Aerline. “Itulah. Akibat dari kamu yang suka sekali makan mie, minuman soda dan makanan siap saji. Belum lagi makan pedas,” keluh Joel sampai tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tahu aku salah, Joel. Aku akan memperbaiki pola makan dan gaya hidupku mulai sekarang. Aku tidak ingin sakit lagi," kata Aerline sambil menarik napasnya. Joel tersenyum lega mendengar komitmen Aerline. "Mulai sekarang, kamu harus lebih peduli dengan kesehatanmu. Kamu t
“Um…!” Aerline terbangun dari tidurnya. Dia melihat sisi ranjangnya dan tidak melihat Joel di sana. “Joel?” panggil Aerline tetapi tidak mendengar jawaban dari Joel. Wanita itu pun bangkit dari posisinya dan menuruni ranjang. Dia sempat meringis sakit di bagian perutnya, dan rasa pusing di kepala. Tetapi, dia cukup kuat untuk bangun dan berjalan. Aerline berjalan keluar dari kamarnya, dia melihat Joel duduk di atas sofa sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Wanita itu berjalan lemas mendekati Joel. “Joel,” panggil Aerline membuat Joel menoleh ke arahnya. “Kenapa kamu bangun?” tanya Joel. “Kamu tidak ada di kamar,” jawab Aerline. Dengan manja, Aerline naik ke atas pangkuan Joel dan memeluk tubuh Joel di sana, dia merebahkan kepalanya di pundak lebar pria itu. “Masih sakit perutnya?” tanya Joel dengan nada lembut. “Sedikit, badanku terasa lemas,” gumam Aerline di sana. “Aku akan membuat bubur lagi untukmu,” ucap Joel mengusap punggung Aerline dengan lembut. “Nanti sa
“Jadi, Joelio sudah siuman?” tanya Garren saat menerima laporan langsung dari anak buahnya. “Benar, Tuan. Dan sepertinya, mereka tahu kalau kejadian kemarin itu ulah Anda,” tambahnya. “Kurang ajar! Rencana kita jadi kacau, kenapa bukan wanita itu saja yang tertembak dan mati!” keluh Garren merasa sangat kesal sekali di sana. “Dan sepertinya, Kainan Dirgantara, sedang menyiapkan sesuatu yang besar untuk melawan kita membantu Joelio,” jelasnya. Garren menatap pria di depannya dengan intens. “Apa saja yang orang suruhan kita lihat dari gerak gerik mereka?” tanya Garren. “Tidak ada laporan gerak-geriknya bagaimana. Hanya saja, dia meyakini kalau mereka sedang merencanakan sesuatu untuk melawan kita,” jelas pria itu.Garren menghela napas panjang, amarahnya semakin membara. "Mereka mulai berani menantangku, ya?" gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Terutama bocah sialan bernama Joelio itu. Seharusnya dia mati saja kemarin."Pria di depann
“Jadi, apa menurutmu, cerita putri dan pangeran itu sangat cocok untuk di dongengkan padaku?” gurau Joel membuat Aerline tersenyum. “Ya, biasanya sang pangeran akan terbangun. Dan ternyata benar bangun, kan?” ucap Aerline di sana. “Putri terbangun karena dicium pangeran. Dan The beast bangun hingga berubah jadi manusia normal karena ciuman beauty,” ujar Joel. “Aku bahkan tidak menerima ciuman apa pun. Ck... malang sekali, padahal aku berharap sekali ada adegan ciuman saat kamu menyelesaikan dongengnya.” “Maaf, Tuan. Karena ekspektasimu berbeda jauh dengan realita,” ucap Aerline di sana.Joel pura-pura memasang wajah kecewa. "Jadi, aku cuma bisa bangun tanpa ciuman penyelamat? Begitu kejamnya dunia ini..."Aerline tertawa kecil, hatinya terasa hangat melihat Joel kembali dengan candaan khasnya. "Ya, dunia memang kejam, Tuan. Lagipula, siapa yang bilang kamu butuh ciuman untuk bangun?"Joel mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Hei, bukanka
“Dad!” Gisela memasuki ruangan milik Garren dengan sorot mata penuh kekesalan. “Oh, Gisel. Ada apa?” tanya Garren di sana. Menoleh ke arah Gisela dengan santai. “Kenapa Kyle dilarang masuk ke rumah ini?” tanya Gisela dengan tatapan penuh rasa kesal. “Kyle? Siapa dia?” tanya Garren. “Dad!” Gisela sedikit merajuk di sana karena kesal. Garren tertawa kecil di sana. “Oh, pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Kenapa kamu harus bergaul dengan pria seperti itu, Gisel?” tanya Garren. “Dia pria yang baik, Dad. Dia temanku, biarkan dia masuk,” ucap Gisela. “No! tidak bisa, Gisela. Berhenti bergaul dengan pria tidak ada kejelasan itu. Kamu dan Joel memutuskan pernikahan, dan itu masih jadi perbincangan hangat di media, Darling. Kamu tidak boleh terkena skandal apa pun, Daddy ingin semua kesalahan ditimpakan pada Joelio, alasan kenapa pernikahan kalian dibatalkan,” ucap Garren. “Apa Dad mau menghancurkan r
“Oh, kamu sudah kembali, Lyman?” tanya Kaivan saat Lyman datang ke rumah sakit di mana Kaivan berada. “Ya, gimana Joel?” tanya Lyman. “Masih belum ada perubahan. Aerline masih menemaninya di ruang ICU,” jawab Kaivan. “Ada yang ingin aku katakan tentang penembakan itu. Kita bicara di ruangan Richard,” ucap Lyman. “Baiklah.” Kaivan memberi perintah pada bodyguard yang dibawanya untuk memastikan Aerline baik-baik saja. Dia masih khawatir, akan ada yang berusaha menyakiti adiknya.Kaivan menatap Lyman dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Ayo kita ke sana sekarang," katanya tanpa basa-basi. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Richard yang terletak di lantai berbeda dari ICU.Setibanya di ruangan tersebut, Richard yang mengenakan jas Dokter menunggu mereka dengan wajah penuh tanda tanya. "Apa terjadi sesuatu dengan Joel?" tanyanya segera."Bukan soal itu," ujar Lyman sambil menutup pintu rapat. "Ini soal penembakan yang hampir merenggut
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e
“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a