MENYINGSINGKAN LENGAN! BERPERANG MELAWAN MERTUA!"Setelah tahu bahwa kau sedang hamil, Mas juga berpikir untuk sesekali tidur di sini saja, Dek! Bagaimana menurtmu? Jadi tiga hari tidur di rumah Ibu, sisanya yang empat hari tidur di sini. Itu rasanya lebih adil kan?" tanya Hasan."Bagaimana menurutmu?" sambungnya.Mendengar pernyataan itu justru Dinda terkejut dan terdiam beberapa saat. Dia dilema, jalan manakah yang harus dia pilih? Ikut kembali ke rumah ibu mertuanya dengan segala konsekuensinya atau menuruti saran Hasan. Kalau dia terus di sini, maka Nanda masih mempunyai peluang untuk mendatangi rumahnya selama tiga hari. Tapi jika dia kembali ke rumah itu harus siap berhadapan dengan Bu Nafis.Dinda memandang suaminya itu. Terbesit rasa bersalah dalam pikirannya. Lelaki itu sudah memiliki keriput, padahal mereka baru menikah beberapa bulan. Mungkin beban yang dia pikul saat ini memang berat. Apalagi memiliki dua ratu yang sama- sama saling menuntut. Dinda
PAK HENDI MEMINTA KEJELASAN!"Orang kok sukanya menuduh dan menjilat ludah sendiri! Sudah begitu berani kembali lagi ke rumah ini. Dasar benalu tak tahu malu! Mandul pula," kata Bu Nafis sekolah sedang menyindir seseorang. Dinda menghentikan langkah kakinya. Namun dia beristighfar berkali-kali."Haruskah aku membalas ucapan ibu mertuaku sekarang ini?" batin Dinda dalam hati.Dinda hanya bisa menghela nafasnya panjang. Dia mencoba untuk mengumpulkan kembali kewarasannya sebelum bertindak. Ini baru beberapa jam dia menginjakkan kaki di istana penderitaan milik mertuanya. Tak mungkin jika langsung mencari masalah saat ini juga. Dia tahu suaminya sudah lelah dan tak mau memberatkan janin yang di kandungnya juga. Dinda mengelus perutnya perlahan dan memilih untuk diam sambil berlalu."Oh dia itu memang budek atau pura -pura tuli dan tak mendengar ucapanku atau mungkin juga sudah bebal?" sindir Bu Nafis lagi.Dinda pun melangkah ke dapur dan mengambil air minum. D
LARAS GADIS PEMBERANI TANPA BATAS!"Loh kemarin belum selesai to, Mas?" tanya Dinda keceplosan."Heh kau tak usah ikut- ikutan apalagi turut campur! Kau itu hanya menantu di sini, jadi tak usah ikut urusanku intern keluarga ini!" tegur bu Nafis.Dinda pun langsung terdiam. Memang salahnya menanyakan itu di hadapan Bu Nafis. "Sekarang kan keputusannya tinggal pada Ibu! Ibu mau menerima atau tidak lamaran dan pinangan Pak Hendi itu?" tanya Hasan."Emmm! Anu!" ujar Bu Nafis tergagap."Apa sih, Bu? Mbok yang jelas kalau ngomong. Hasan sungkan karena kita tak bisa terus mengulur waktu begini. Pihak warga dan Pak Hendi berkali- kali meminta penjelasan. Kalau memang Ibu mau ya mau, kalau tidak ya tidak," jelas Hasan sambil mulai menyuap nasihnya."Bukan itu, San! Ini bukan hanya masalah itu saja. Kalau Ibu akan menikah tentu saja semua harus melalui persetujuan semua anak Ibu, tak bisa memutuskan sendiri. Ibu kan juga memiliki anak, tak rasa Ibu harus berdiskusi semua dengan anak- anak Ibu.
AIB YANG DI SIMPAN SAMPAI AJAL!"Lalu ini foto siapa?" tanya Laras pada mereka."Dari mana kamu mendapatkan foto ini?" tanya Hasan melihat foto itu."Apa yang tak bisa saya lakukan?" ejek Laras.Mendengar pernyataan Laras itu Dinda pun teringat satu hal. Apa mungkin Laras pelaku peneror selama ini ya?" batin Dinda dalam hati.Hasan pun hanya bisa terdiam, dia kemudian melihat lagi semua barang bukti foto yang sudah di serahkan oleh Laras. Tampak jelas Bu Nafis sedang tertawa bahagia dalam foto itu. Tak nampak resah maupun sedih. Mereka juga beberapa kali di tempat cafe yang berbeda. Bahkan Hasan melihat dengan details tanggal yang tertera di ujungnya.Dia mengusap gusar wajahnya dan menghela nafasnya panjang. Entah tabir rahasia apa yang di simpan Abahnya selama ini. Karena memang semasa hidup Abahnya tak pernah menceritakan masalah rumah tangganya pada anak- anak. Sang Abah selalu ingi terlihat semua baik- baik saja."Bah! Apa yang harus aku lakukan
MEMINTA TOLONG DINDA SOLUSINYA!Hasan terdiam sebentar. Haruskan dia menceritakan alasan sebenarnya tentang perselingkuhan Ibunya dengan Pak Hendi. Atau haruskan dia diam? Jika dia menceritakan semua bukankah sang Abah sudah berusaha menutupinya sampai dia meninggal, lalu apakah dia akan membukanya?"San!!!" panggil Fahmi menyadarkan Hasan dari lamunannya."Oh iya," sahut Hasan tersadar dari lamunannya."Tak usah kau ceritakan kalau tak nyaman," kata Fahmi.Hasan kembali terdiam karena ucapan Fahmi itu malah membuatnya semakin bingung. Bukannya apa- apa, Fahmi tak pernah memaksa seperti orang- orang yang malah ingin tahu keburukan dan cerita tentang keluarganya. Hasan menatap dalam- dalam wajah Fahmi."Bah, maafkan Hasan, jika memang tindakan Hasan ini salah. Tapi Hasan mengambil sikap ini karena Hasan tak ingin salah jalan dan benar -benar ingin mempertimbangkan semua keputusan Hasan dengan orang yang tepat. Hasan tak ingin salah langkah yang menyebabkan Has
Sebesek Kue Rangin!"Setidaknya aku sedikit lega mendengar ucapan ini darimu, Fahmi. Aku akan mengatakan pada istriku dan aku akan menemui Laras bersamanya. Siapa tahu Dinda bisa menjelaskan dengan perlahan, dia cukup ahli untuk melobi dan melunakkan hati wanita," kata Hasan."Itu ide yang bagus. Karena jika kita yang menjelaskannya maka kita tak akan mengerti perasaan wanita. Bukankah wanita itu sulit di mengerti. Hahaha," ujar Fahmi."Benar apa katamu! Apakah ini tandanya kau sudah menaklukkan hati Ifah?" tanya Hasan."Em...""Dengan jawabanmu yang mengambang seperti itu, rasanya kau masih ragu ya?" tanya Hasan. Fahmi terlihat menghela nafasnya panjang. "Bukannya ragu, tapi ada sesuatu hal yang membuatku berpikir ulang untuk mendekati Ifah, San. Bukan karena dia tak cantik atau karena nasab dan sebagainya. Bukan karena itu, namun aku lebih memiliki masalah kepada diriku sendiri. Apakah pantas aku mendapatkannya? Bisakah aku menafkahinya? Dapatkah dia menerima keluargaku? Mengingat
SUARA TAMPARAN TANGAN PAK HENDI!"Loh, kok banyak sekali, Mas?" tanya Dinda."Taruh besek kita ke rumah Pak Hendi, Dek!" perintah Hasan."TIDAK!" teriak Bu Nafis nampak keluar dari dalam kamarnya. Dia mencegah Hasan untuk ke rumah pak Hendi."Kenapa sih, Bu?" tanya Hasan."Ibu sebenarnya ingin masalah ini cepat selesai atau tidak?" tanyanya lagi."Atau diam- diam Ibu sudah berhubungan dengan Pak Hendi lagi di belakang Hasan? Kalau memang Ibu begitu ya sudah, lanjutkan semau Ibu! Tapi ingat kalau ada apa- apa silakan Ibu selesaikan semuanya sendiri. Hasan tak ingin ikut campur lagi," ancam Hasan."Dek cepat kau ke belakang! Tata makanan itu dalam wadah yang pantas. Aku akan ke rumah Pak Hendi setelah sholat," perintah Hasan lagi.Dinda pun melangkahkan kakinya di dapur. Dia meneguk ludanya kasar. Baru semam dia di sini, peperangan itu sudah terjadi lagi. DInda mengelus perutnya perlahan, sambil berkali kali istigfar."Hasan kau akan datang ke sana untuk mengatakan apa? Kau lupa? Kita
INI BUKAN TENTANG PASANGAN TAPI SEMUA DEMI HATI ANAK PEREMPUAN!"Pak Hendi," tegur Dinda."Assalamualaikum," sambung Dinda."Mbak! Tolong kakakku," pinta Safira berlari ke arah Dinda.Dinda menelan ludahnya kasar, dia juga ragu ingin melangkah karena wajah Pak Hendi memerah. Dia sangat takut kandungannya kenapa- kenapa. Namun tak mengurungkan niat Dinda untuk tetap menolong anak Pak Hendi. Laras yang terlihat pipinya sudah memerah seperti tomat."Istighfar Pak Hendi! Istighfar!" perintah Dinda."Bapak jangan marah- marah, meskipun anak ini Bapak bunuh sekali pun tak akan bisa mengembalikan keadaan. Bukankah darah itu lebih kental dari pada air? Apalagi ini adalah anak kandung pak Hendi sendiri," jelas Dinda."Lagi pula ketika panjenengan nanti tua yang merawat itu anak, Pak Hendi! Apalagi Pak Hendi ini sudah tak memiliki istri. Wajar jika umur seperti Laras ini masih emosi, masih labil, bukankah dulu kita juga begitu, Pak?" tanya Dinda sambil terus mencoba merayu Pak Hendi.Pak Hend