PERCAKAPAN DUA LELAKI DEWASA!"Maaf jika pertanyaan saya terkesan tak tahu adat dan kurang ajar, setelah Pak Hendi mengalami kekacauan ini dengan an Bapak. Namun, saya mohon pikirkan lagi. Ini bukan tentang Pak Hendi ataupun Ibu saya, Tidak! Ini semua tentang Laras dan Safira, ke dua anak perempuan Pak Hendi," jelas Hasan."Hasan," panggil Pak Hendi."Ya?""Harus bagaimana aku bersikap? Kau lelaki dan aku lelaki. Kita sama- sama lelaki, kau tentu mengerti maksudku kan?" tanya Pak Hendi lagi.Hasan menghela nafasnya panjang. Dia memandang ke depan, bukannya tak ingin mengatakan semua ini. Jujur saja, saat suasana seperti ini dia kembali teringan tentang almarhum Abahnya. Dulu sang Abah sering kali mengajak Hasan untuk berdiskusi hal- hal seperti ini di luar rumah sambil menikmati semilir angin malam. Sekarang tak ada lagi, Abah meninggalkan Hasan tanpa pegangan yang teguh di pondasinya. Membuat Hasan kelimpungan sendiri. Sebenarnya saat ini kesempatan bagi Hasan jika dia berniat untuk
JANGAN JADI PAHLAWAN KESIANGAN MAS!"Mas," panggil Dinda."Kenapa?""Aku curiga bahwa Laras dan Safira yang selama ini meneror kita," ujar Dinda."Kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanya Hasan."Aku menemukan beberapa benda yang menurutku cukup mencurigakan berada di kamar Laras, Mas. Benda itu rasanya tak wajar ada di sana," jawab Dinda dengan mimik muka bersungguh- sungguh."Benarkah? Benda apa yang kau maksud? Barang macam apa yang kau temukan itu, Dek? Kenapa barang itu bisa membuatmu mencurigai Laras? Sampai kau juga bisa menyimpulkan bahwa laras adalah bagian dari peneror itu?" tanya Hasan beruntun."Mas, saat Dinda tadi menccoba meenangkan Laras, kamar anak itu sangat berantakan sekali. Bukan berantakan karena tak di rawat, namun sepertinya Laras baru mengamuk daan mengacaj- ngacak kamarnya itu. Lalu saat aku membersihkan pecahan kaca dan menyapu, di bagian bawah meja belajar Laras, aku tak sengaja menemukan seperti sobekan bekas mukena lama yang tak di pakai begitu, Mas," jawa
AJAKAN LARAS!"Bu! Ibu! Bu! Hasan ingin berbicara pada ibu," teriak Hasan. Bu Nafis pun membukakan pintu kamarnya. Nampak Ibunya masih menggunakan mukena putih."Apa maksud ibu mengatakan seperti itu pada Mas Zain? Apa Ibu ingin mengaduku dengan kakak kandung sendiri, Bu?" tanya Hasan.Bu Nafis pun langsung menangis sesegukan. Hasan pun langsung bingung padaal dia belum mengatakan atau menanyakan hal apapun pada Ibunya itu. Namun Bu Nafis langsung menangis sesegukan. Dia sampai tak bisa berkata- kata lagi. Hasan sampai bingung, sebagai seorang anak dia tak bisa membedakan mana saat ibunya benar- benar serius menangis karena sakit hati atau sedih dan mana jika ibunya sedang bersandiwara. Jadi lebih baik Hasan segera menyingkir, karna takut akan tersulut emosi juga menghadapi Ibunya yang penuh drama."Sudahlah, Bu! Hasan lelah, terserah Ibu saja sudah. Atur bagaimana baiknya saja," kata Hasan sambil meninggalkan Bu Nafis yang masih berdiri di ambang pintu.Hasan pun segera ke kamar da
SEBUAH PENGAKUAN!"Siapa, Din?" teriak Bu Nafis."Ada Dek Laras, Bu," sahutnya. Tanpa butuh waktu lama lagi Bu Nafis segera keluar. Dia melihat Laras berada di depan pintu."Eh Laras! Masuk, Nak! Cari siapa?" tanya Bu Nafis berusaha untuk seramah mungkin."Tidak usah! Laras hanya ada urusan dengan Mbak Dinda," jawab Laras."Mbak Dinda ada waktu? Bisa kita pergi keluar sebentar?" tanya Laras.Dinda terdiam sambil memandang wajah Laras penuh arti. Kemudian beralih ke wajah mertuanya yang nampak kaget dengan perkataan gadis itu. Dinda meneguk ludahnya kasar. Dia menghela nafas panjang, dia tak mau membuat gadis itu kecewa."Baiklah kita beli jajan di warung depan aja yuk! Mau?" tanya Dinda. Laras menganggukkan kepalan."Sebentar ya, Dek! Mbak Dinda ambil jilbab dulu, kita ke warungnya Mbok Jum di depan ya beli rujak petis dan es dawet, segar sekali kayaknya. Mbak Dinda traktir deh," ujar Dinda."Sini masuk dulu," ajak Dinda. Laras hanya mengang
USAPAN LEMBUT DINDA UNTUK LARAS!"Mbak selama ini Laras yang meneror keluarga Mas Hasan. Laras lah yang selalu membuat keluarga kalian ketakutan, Laras lah pelakunya," kata Laras dengan nada suara yang bergetar."Astagfirulloh," gumam Dinda.Meskipun sebenarnya Dinda sudah menduganya semenjak dia menyapu lantai kamar Laras dan menemukan beberapa bukti bahwa Laras peneror itu semalam, namun rasanya dia masih kaget saja saat gadis itu langsung mengatakannya langsung padanya. Dinda menghela nafasnya panjang meski jantungnya sekarang lumayan berdegub keras. Dinda mencoba berusaha menguasai keadaan dengan baik agar tak membuat Laras kagok. Dia masih ingin melanjutkan dan mendengarkan perkataan dan pengakuan Laras. Dinda pun mengelus tangan Laras perlahan."Maafkanlah Laras, Mbak. Maafkan aku," ujar Laras mulai menitikkan air matanya. Dia menghela nafasnya panjang."Laras melakukan itu semua bukan tanpa alasan, Mbak. Laras sangat sakit hati dengan semua perlakuan
TIDAK UNTUK MENIKAH!"Sekarang yang penting, jangan kau ulangi lagi semua perbuatanmu itu, karena Mbak Dinda tidak jamin kau akan aman selamanya. Tetapi, setidaknya setelah kau berhenti melakukan teror itu semoga saja Mas Hasan ataupun Bu Nafis bahkan Ifah bisa melupakan semua kejadian ini dan mereka tidak mengungkit- ngungkit tentang teror itu. Bahkan Mbak Dinda berdoa semoga mereka tidak bisa menemukan celah atau petunjuk yang membuktikan bahwa pelaku peneror itu adalah dirimu," sambungnya."Lalu aku harus bagaimana, Mbak?" tanya Laras sedikit ketakutan mendengarkan ucapan dari Dinda.Dinda pun menghela nafasnya panjang. Sepersekian detik dia terdiam karena mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi sampai menemukan jawaban yang tepat untuk Laras. Dinda menata wajah Laras mendalam, dia mencari cara untuk menghadapi anak itu. Rasanya dia juga tak ingin menakut-nakuti Laras, namun dia juga ingin sedikit memberi pelajaran pada Laras agar tak mengulanginya lagi."Mbak Dinda bi
JANGAN MEMBUAT LELAKI SAKIT HATI! BAHAYA!"Entahlah, Mas! Rasanya Ifah belum siap untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, bukan karena Ifah tak sayang namun Ifah benar- benar belum ingin menikah muda, Mas. Karena terlalu banyak hal yang ingin aku lakukan dan rasanya Ifah tak mau hal itu sia- sia, menghabiskan waktu muda dengan mengasuh Ibu Mas dan menikah terdengar ribet," kata Ifah."Siapa yang sedang bertelepon dengan Ifah ya?" tanya Dinda dalam hati."Ya sudah kalau begitu, Mas. Silahkan Mas cari yang lain saja, assalamualaikum," kata Ifah sambil segera mematikan teleponnyaTerdengar Ifah mengeluh nafas panjang sambil mengusap ujung matanya. Sepertinya adik iparnya itu sedang tidak baik- baik saja. Terlihat dari sikap dan tingkahnya dari belakang. Memang wanita itu pandai menyembunyikan perasaan, mereka mengatakan baik- baik saja di mulut padahal hatinya terluka. Saat Ifah menengok ke belakang, dia terkejut karena melihat kakak Iparnya sudah ada di belakangnya."Astagfirullah Mb
PESAN DARI LARAS!"Mbak, aku harus bagaimana yo? Mau tak tolak kok rasanya sayang, dia ganteng, sholeh, mengerti agama. Tapi kalau menikah kok ya Ifah belum siap. Ifah harus bagaimana ya, Mbak?" tanya Ifah. Dinda mengelus bahu Ifah."Ayo duduk situ dulu," ajak Dinda. Mereka pun duduk di kursi makan."Ifah, perkara menikah itu bukanlah sesuatu hal yang gampang. Coba tanyakan pada hatimu sendiri, kau itu sebenarnya ingin menikah karena apa?" tanya Dinda.Bagi banyak orang, terutama mereka yang sudah memasuki usia dewasa, menikah adalah salah satu hal yang paling diimpikan. Pernikahan dinilai akan menjadi momen yang paling membahagiakan dalam hidup, tentu jika dilakukan pada waktu dan dengan orang yang tepat. Seperti yang diketahui, menjadi sepasang suami istri bukan hanya sekedar melengkapi sunnah dalam agama Islam atau mengikuti standar kehidupan. Walau begitu, ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah. Ini sangat penting karena sebuah pernika
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."