PESAN DARI LARAS!"Mbak, aku harus bagaimana yo? Mau tak tolak kok rasanya sayang, dia ganteng, sholeh, mengerti agama. Tapi kalau menikah kok ya Ifah belum siap. Ifah harus bagaimana ya, Mbak?" tanya Ifah. Dinda mengelus bahu Ifah."Ayo duduk situ dulu," ajak Dinda. Mereka pun duduk di kursi makan."Ifah, perkara menikah itu bukanlah sesuatu hal yang gampang. Coba tanyakan pada hatimu sendiri, kau itu sebenarnya ingin menikah karena apa?" tanya Dinda.Bagi banyak orang, terutama mereka yang sudah memasuki usia dewasa, menikah adalah salah satu hal yang paling diimpikan. Pernikahan dinilai akan menjadi momen yang paling membahagiakan dalam hidup, tentu jika dilakukan pada waktu dan dengan orang yang tepat. Seperti yang diketahui, menjadi sepasang suami istri bukan hanya sekedar melengkapi sunnah dalam agama Islam atau mengikuti standar kehidupan. Walau begitu, ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah. Ini sangat penting karena sebuah pernika
KAU BANGGA DI PANGGIL NING DAN AKU BU NYAI!"Fah! Fah, kau tahu tidak ada berita hebat di tukang sayur tadi," kata Bu Nafis dengan semangat. Ifah menggelengkan kepalanya karena memang jarang sekali bersosialisasi dengan warga."Ini ada kaitannya denganmu, Fah! Ibu tak menyangka kau hebat juga ternyata diam-diam," puji Bu Nafis."Memangnya ada apa sih, Bu? Sungguh Ifah bingung dan tak paham sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ifah.Ifah tidak paham dengan tingkah Ibunya sendiri. Karena dia tak berbuat apapun tapi mengapa ibunya sekarang berkata bangga pada dirinya. Bukannya senang dan gembira ibunya berkata seperti itu, justru Ifah jadi curiga. "Makanya toh, Fah! Mbok ya kamu itu sekali- kali gaul dan bersosialisasi keluar rumah. Membaur dengan warga sekitar jangan apa- apa itu hanya HP saja. Alasanya main Instagram, endorse, kamu itu harus mulai srawung istilahnya mulai mengenal orang dalam realita. Jangan hanya lewat sosial media. Sekarang kau itu harus rajin untuk bermasyarakat, k
AJAKAN KONYOL BU NAFIS!"Di masyarakat, kerap terjadi penyematan Gus kepada seseorang yang bukan keturunan kyai dari pesantren. Hal itu terjadi karena anak laki-laki tersebut memiliki kecakapan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama yang luas dan mendalam. Sehingga, secara aura, keilmuan dan perilaku sosialnya pantas diberi gelar Gus. Maka beda habib dan gus bergantung pada garis keturunan dan penguasannya terhadap ilmu agama," jawab Dinda."Berarti Ifah tak bisa di panggil, Ning?" tanya Bu Nafis."Tidak ah, Bu! Ifah tak mau di panggil seperti itu. Wong masalah agama saja masih cetek kok akal- akalan mau di panggil Ning. Malu, Bu! Malu, sholat masih di akhir waktu, puasa masih romadhon saja, khatam hanya qur'an, apalan hanya yasin minta di panggil Ning," protes Ifah.Dinda hanya bisa terkejut, tertawa geli mendengar jawaban Ifah yang alhamdulilla nya masih waras dan cukup tahu diri. Apalagi Ifah sama sekali tak pernah terprovasi dengan semua ucapan Ibu nya sendiri. Satu sis
BU NAFIS SI SUPER NGEYEL!"Sebelum mendengar gosip itu, Mas Hasan sudah mendengarnya. Bahkan semalam Mas Hasan sudah langsung bertanya pada Fahmi dan Fahmi bilang mereka belum ada kejelasan, tapi Ibu sudah ngeyel saja mau menikahkan dengannya," keluh Hasan."Apa hukumnya menikah dengan terpaksa dalam Islam? Bolehkan pernikahan seperti itu?" tanya Dinda."Aku sudah bertanya pada Fahmi, Dek. Memang menurut dia sendiri sebagai penganut Mahzab Syafi’I apa bila seorang ayah dan kakek yang menikahkan putri atau cucu pereempuannya tanpa izin dari sang wanita hukumnya sah. Makna sahih ini bukan berarti harus dilakukan. Hendaknya meminta izin dan dijaga perasaan anak perempuannya, jangan memaksa anak perempuan untuk menikah, mintalah izin kepadanya," ucap Hasan.“Jadi sebagai orang tua jangan main paksa menikahkan anak perempuannya. Mereka punya hati dan ingin mencari kehidupan yang benar. Begitu kan, Mas? Karena seingat Dinda pun sebelum kita memutuskan untuk ta'aruf Papa ju
IBU DURHAKA!"Apakah semua yang di ucapkan Hasan itu benar? Jawablah, Bu! Mengapa kok diam saja? Mengapa kau tak pernah mengatakan ini pada kami?" tanya Zain dengan menaikkan sedikit volume suaranya."Apakah ini kelakuan Ibu setelah di tinggal oleh Abah? Hah! Menjadi liar," hardik Zain lagi.Bu Nafis memandang putranya dengan pandangan berkaca- kaca. Dia mengepalkan tangannya. Sakit hatinya ketika sang anak mengatainya dengan perkataan liar. Padahal dia tidak merasa menjadi wanita seperti itu jika ucapan itu terlalu berlebihan. Dalam kedudukan orang tua sangatlah mulia dan wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada keduanya. Ini sebagai bentuk balasan atas kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan orang tua kepada anak sejak dalam kandungan."Hay Zain! Jaga ucapanmu ya. Sampai hati kau mengatakan Ibumu sendiri dengan sebutan liar? hah? Seseorang anak yang berbakti kepada orang tua akan di beri balasan yang berlimpah di dunia maupun akhirat! Tidak diperbolehkan bagi seorang anak
IBU SENDIRI DI BULLY!"Ibu dengar kan? Tidak hanya anak yang bisa durhaka, Ibu juga dan yang mengatakan itu adalah anak kesayangan Ibu, Hasan!" sindir Mbak Alif."Hasan coba jelaskan apa ciri Ibu yang durhaka pada anaknya? Agar kami tahu dan bisa mendengar, karena Mbak Alif pun juga seorang Ibu untuk anak- anak Mbak Alif jangan sampai Mbak Alif berlaku demikian. Takut anak- anak Mbak Alif sakit hati," sambung Mbak Ali."Benar itu, San. Mas juga," sahut Zain.Hasan memandang Ibunya dengan tatapan nanar. Dia tahu posisinya sekarang bagai buah simalakama. Kalau Hasan menjelaskan seperti permintaan kakak- kakaknya dia akan menyakiti hati Ibunya, jika tak di jelaskan semua kakakny akan menganggap Hasan tetap seperti anak spesial dan selalu merasa di bandingkan. Hasan mendekati bu Nafis. Dia memeluk Ibunya."Bu, Ibu tau kan Hasan sangat sayang pada Ibu?" tanya HAsa. Bu Nafis menganggukkan kepalanya."Ibu, jangan tersinggung ya. Hasan akan menjelaskan tentang masalah Ibu durhaka, namun buka
DASAR ANAK DURHAKA!"Satu lagi, Ibu tak pernah menghargai privasi anak. Ibu sering kali menggunakan Hp Ifah tanpa izin," sambung Ifah lagi."HEH! KALIAN TEGA YA! IBU SENDIRI DI BULLY!" teriak Bu Nafis."Sabar, Bu!" kata Hasan sambil memeluk ibunya."Kita kan di sini hanya keluarga inti, kami anak- anak Ibu. Terkadang kami kan juga ingin mencurahkan semua apa unek- unek kita, Bu. Namanya komunikasi terbuka, agar tak ada dusta di antara kita," ucap Hasan. "Ide Hasan boleh juga lo, Bu. Komunikasi yang terbuka seperti ini adalah kunci dari hubungan yang sehat. Bisa jadi, selama ini Ibu tak menyadari bahwa sikap Ibu terlalu menyakiti hati kami. Alih-alih Ibu ingin memberikan anak- anaknya arahan dan keputusan terbaik justru kami sering salah paham," ucap Mas Zain setuju."Baiklah! Sekarang coba kalian bicara secara jujur mengenai perasaan kalian, supaya Ibu sadar bahwa apa yang dilakukan Ibu salah. Tapi nanti gantian yo, Ibu akan mengeluarkan segela unek- un
TANGIS MBAK ALIF DI PAGI HARI"DASAR ANAK DURHAKA SEMUA! IBUNYA DI BULLY!" hardik bu Nafis pergi meninggalkan meja makan. Membuat semua orang terbengong dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sungguh ajaib Ibunya."Sekarang bagaimana keputusan Mbak Alif dan Mas Zain terkait lamaran Pak Hendi? Apakah Hasan perlu memanggil mereka?" tanya Hasan."Ck! Kau itu tak peka dan mengerti, San. Kau tak lihat sikap Ibu tadi bagaimana? Dia masih marah dengan kita, harusnya kita membahas tentang meluluhkan hati Ibu. Bisa- bisanya kau berpikir tentang lamaran Pak Hendi," tegur Mbak Alif."Halah Mbak, sampeyan ini kok seperti tidak hafal saja watak Ibu bagaimana. Ibu pasti akan baik sendiri besok, percayalah pada Hasan. Hasan ini sudah sangat hafal sekali dengan watak Ibu," jawab Hasan."Kalau kita merayu dan membujuknya justru akan membuat Ibu makin besar kepalanya dan merasa kita sebagai anak akan langsung menurut terus. Sesekali kita berikan sikap tegas pada Ibu dengan tidak terus merayu nya