USAPAN LEMBUT DINDA UNTUK LARAS!
"Mbak selama ini Laras yang meneror keluarga Mas Hasan. Laras lah yang selalu membuat keluarga kalian ketakutan, Laras lah pelakunya," kata Laras dengan nada suara yang bergetar."Astagfirulloh," gumam Dinda. Meskipun sebenarnya Dinda sudah menduganya semenjak dia menyapu lantai kamar Laras dan menemukan beberapa bukti bahwa Laras peneror itu semalam, namun rasanya dia masih kaget saja saat gadis itu langsung mengatakannya langsung padanya. Dinda menghela nafasnya panjang meski jantungnya sekarang lumayan berdegub keras. Dinda mencoba berusaha menguasai keadaan dengan baik agar tak membuat Laras kagok. Dia masih ingin melanjutkan dan mendengarkan perkataan dan pengakuan Laras. Dinda pun mengelus tangan Laras perlahan."Maafkanlah Laras, Mbak. Maafkan aku," ujar Laras mulai menitikkan air matanya. Dia menghela nafasnya panjang."Laras melakukan itu semua bukan tanpa alasan, Mbak. Laras sangat sakit hati dengan semua perlakuanTIDAK UNTUK MENIKAH!"Sekarang yang penting, jangan kau ulangi lagi semua perbuatanmu itu, karena Mbak Dinda tidak jamin kau akan aman selamanya. Tetapi, setidaknya setelah kau berhenti melakukan teror itu semoga saja Mas Hasan ataupun Bu Nafis bahkan Ifah bisa melupakan semua kejadian ini dan mereka tidak mengungkit- ngungkit tentang teror itu. Bahkan Mbak Dinda berdoa semoga mereka tidak bisa menemukan celah atau petunjuk yang membuktikan bahwa pelaku peneror itu adalah dirimu," sambungnya."Lalu aku harus bagaimana, Mbak?" tanya Laras sedikit ketakutan mendengarkan ucapan dari Dinda.Dinda pun menghela nafasnya panjang. Sepersekian detik dia terdiam karena mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi sampai menemukan jawaban yang tepat untuk Laras. Dinda menata wajah Laras mendalam, dia mencari cara untuk menghadapi anak itu. Rasanya dia juga tak ingin menakut-nakuti Laras, namun dia juga ingin sedikit memberi pelajaran pada Laras agar tak mengulanginya lagi."Mbak Dinda bi
JANGAN MEMBUAT LELAKI SAKIT HATI! BAHAYA!"Entahlah, Mas! Rasanya Ifah belum siap untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, bukan karena Ifah tak sayang namun Ifah benar- benar belum ingin menikah muda, Mas. Karena terlalu banyak hal yang ingin aku lakukan dan rasanya Ifah tak mau hal itu sia- sia, menghabiskan waktu muda dengan mengasuh Ibu Mas dan menikah terdengar ribet," kata Ifah."Siapa yang sedang bertelepon dengan Ifah ya?" tanya Dinda dalam hati."Ya sudah kalau begitu, Mas. Silahkan Mas cari yang lain saja, assalamualaikum," kata Ifah sambil segera mematikan teleponnyaTerdengar Ifah mengeluh nafas panjang sambil mengusap ujung matanya. Sepertinya adik iparnya itu sedang tidak baik- baik saja. Terlihat dari sikap dan tingkahnya dari belakang. Memang wanita itu pandai menyembunyikan perasaan, mereka mengatakan baik- baik saja di mulut padahal hatinya terluka. Saat Ifah menengok ke belakang, dia terkejut karena melihat kakak Iparnya sudah ada di belakangnya."Astagfirullah Mb
PESAN DARI LARAS!"Mbak, aku harus bagaimana yo? Mau tak tolak kok rasanya sayang, dia ganteng, sholeh, mengerti agama. Tapi kalau menikah kok ya Ifah belum siap. Ifah harus bagaimana ya, Mbak?" tanya Ifah. Dinda mengelus bahu Ifah."Ayo duduk situ dulu," ajak Dinda. Mereka pun duduk di kursi makan."Ifah, perkara menikah itu bukanlah sesuatu hal yang gampang. Coba tanyakan pada hatimu sendiri, kau itu sebenarnya ingin menikah karena apa?" tanya Dinda.Bagi banyak orang, terutama mereka yang sudah memasuki usia dewasa, menikah adalah salah satu hal yang paling diimpikan. Pernikahan dinilai akan menjadi momen yang paling membahagiakan dalam hidup, tentu jika dilakukan pada waktu dan dengan orang yang tepat. Seperti yang diketahui, menjadi sepasang suami istri bukan hanya sekedar melengkapi sunnah dalam agama Islam atau mengikuti standar kehidupan. Walau begitu, ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah. Ini sangat penting karena sebuah pernika
KAU BANGGA DI PANGGIL NING DAN AKU BU NYAI!"Fah! Fah, kau tahu tidak ada berita hebat di tukang sayur tadi," kata Bu Nafis dengan semangat. Ifah menggelengkan kepalanya karena memang jarang sekali bersosialisasi dengan warga."Ini ada kaitannya denganmu, Fah! Ibu tak menyangka kau hebat juga ternyata diam-diam," puji Bu Nafis."Memangnya ada apa sih, Bu? Sungguh Ifah bingung dan tak paham sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ifah.Ifah tidak paham dengan tingkah Ibunya sendiri. Karena dia tak berbuat apapun tapi mengapa ibunya sekarang berkata bangga pada dirinya. Bukannya senang dan gembira ibunya berkata seperti itu, justru Ifah jadi curiga. "Makanya toh, Fah! Mbok ya kamu itu sekali- kali gaul dan bersosialisasi keluar rumah. Membaur dengan warga sekitar jangan apa- apa itu hanya HP saja. Alasanya main Instagram, endorse, kamu itu harus mulai srawung istilahnya mulai mengenal orang dalam realita. Jangan hanya lewat sosial media. Sekarang kau itu harus rajin untuk bermasyarakat, k
AJAKAN KONYOL BU NAFIS!"Di masyarakat, kerap terjadi penyematan Gus kepada seseorang yang bukan keturunan kyai dari pesantren. Hal itu terjadi karena anak laki-laki tersebut memiliki kecakapan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama yang luas dan mendalam. Sehingga, secara aura, keilmuan dan perilaku sosialnya pantas diberi gelar Gus. Maka beda habib dan gus bergantung pada garis keturunan dan penguasannya terhadap ilmu agama," jawab Dinda."Berarti Ifah tak bisa di panggil, Ning?" tanya Bu Nafis."Tidak ah, Bu! Ifah tak mau di panggil seperti itu. Wong masalah agama saja masih cetek kok akal- akalan mau di panggil Ning. Malu, Bu! Malu, sholat masih di akhir waktu, puasa masih romadhon saja, khatam hanya qur'an, apalan hanya yasin minta di panggil Ning," protes Ifah.Dinda hanya bisa terkejut, tertawa geli mendengar jawaban Ifah yang alhamdulilla nya masih waras dan cukup tahu diri. Apalagi Ifah sama sekali tak pernah terprovasi dengan semua ucapan Ibu nya sendiri. Satu sis
BU NAFIS SI SUPER NGEYEL!"Sebelum mendengar gosip itu, Mas Hasan sudah mendengarnya. Bahkan semalam Mas Hasan sudah langsung bertanya pada Fahmi dan Fahmi bilang mereka belum ada kejelasan, tapi Ibu sudah ngeyel saja mau menikahkan dengannya," keluh Hasan."Apa hukumnya menikah dengan terpaksa dalam Islam? Bolehkan pernikahan seperti itu?" tanya Dinda."Aku sudah bertanya pada Fahmi, Dek. Memang menurut dia sendiri sebagai penganut Mahzab Syafi’I apa bila seorang ayah dan kakek yang menikahkan putri atau cucu pereempuannya tanpa izin dari sang wanita hukumnya sah. Makna sahih ini bukan berarti harus dilakukan. Hendaknya meminta izin dan dijaga perasaan anak perempuannya, jangan memaksa anak perempuan untuk menikah, mintalah izin kepadanya," ucap Hasan.“Jadi sebagai orang tua jangan main paksa menikahkan anak perempuannya. Mereka punya hati dan ingin mencari kehidupan yang benar. Begitu kan, Mas? Karena seingat Dinda pun sebelum kita memutuskan untuk ta'aruf Papa ju
IBU DURHAKA!"Apakah semua yang di ucapkan Hasan itu benar? Jawablah, Bu! Mengapa kok diam saja? Mengapa kau tak pernah mengatakan ini pada kami?" tanya Zain dengan menaikkan sedikit volume suaranya."Apakah ini kelakuan Ibu setelah di tinggal oleh Abah? Hah! Menjadi liar," hardik Zain lagi.Bu Nafis memandang putranya dengan pandangan berkaca- kaca. Dia mengepalkan tangannya. Sakit hatinya ketika sang anak mengatainya dengan perkataan liar. Padahal dia tidak merasa menjadi wanita seperti itu jika ucapan itu terlalu berlebihan. Dalam kedudukan orang tua sangatlah mulia dan wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada keduanya. Ini sebagai bentuk balasan atas kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan orang tua kepada anak sejak dalam kandungan."Hay Zain! Jaga ucapanmu ya. Sampai hati kau mengatakan Ibumu sendiri dengan sebutan liar? hah? Seseorang anak yang berbakti kepada orang tua akan di beri balasan yang berlimpah di dunia maupun akhirat! Tidak diperbolehkan bagi seorang anak
IBU SENDIRI DI BULLY!"Ibu dengar kan? Tidak hanya anak yang bisa durhaka, Ibu juga dan yang mengatakan itu adalah anak kesayangan Ibu, Hasan!" sindir Mbak Alif."Hasan coba jelaskan apa ciri Ibu yang durhaka pada anaknya? Agar kami tahu dan bisa mendengar, karena Mbak Alif pun juga seorang Ibu untuk anak- anak Mbak Alif jangan sampai Mbak Alif berlaku demikian. Takut anak- anak Mbak Alif sakit hati," sambung Mbak Ali."Benar itu, San. Mas juga," sahut Zain.Hasan memandang Ibunya dengan tatapan nanar. Dia tahu posisinya sekarang bagai buah simalakama. Kalau Hasan menjelaskan seperti permintaan kakak- kakaknya dia akan menyakiti hati Ibunya, jika tak di jelaskan semua kakakny akan menganggap Hasan tetap seperti anak spesial dan selalu merasa di bandingkan. Hasan mendekati bu Nafis. Dia memeluk Ibunya."Bu, Ibu tau kan Hasan sangat sayang pada Ibu?" tanya HAsa. Bu Nafis menganggukkan kepalanya."Ibu, jangan tersinggung ya. Hasan akan menjelaskan tentang masalah Ibu durhaka, namun buka