BU NAFIS SI SUPER NGEYEL!
"Sebelum mendengar gosip itu, Mas Hasan sudah mendengarnya. Bahkan semalam Mas Hasan sudah langsung bertanya pada Fahmi dan Fahmi bilang mereka belum ada kejelasan, tapi Ibu sudah ngeyel saja mau menikahkan dengannya," keluh Hasan."Apa hukumnya menikah dengan terpaksa dalam Islam? Bolehkan pernikahan seperti itu?" tanya Dinda."Aku sudah bertanya pada Fahmi, Dek. Memang menurut dia sendiri sebagai penganut Mahzab Syafi’I apa bila seorang ayah dan kakek yang menikahkan putri atau cucu pereempuannya tanpa izin dari sang wanita hukumnya sah. Makna sahih ini bukan berarti harus dilakukan. Hendaknya meminta izin dan dijaga perasaan anak perempuannya, jangan memaksa anak perempuan untuk menikah, mintalah izin kepadanya," ucap Hasan.“Jadi sebagai orang tua jangan main paksa menikahkan anak perempuannya. Mereka punya hati dan ingin mencari kehidupan yang benar. Begitu kan, Mas? Karena seingat Dinda pun sebelum kita memutuskan untuk ta'aruf Papa juIBU DURHAKA!"Apakah semua yang di ucapkan Hasan itu benar? Jawablah, Bu! Mengapa kok diam saja? Mengapa kau tak pernah mengatakan ini pada kami?" tanya Zain dengan menaikkan sedikit volume suaranya."Apakah ini kelakuan Ibu setelah di tinggal oleh Abah? Hah! Menjadi liar," hardik Zain lagi.Bu Nafis memandang putranya dengan pandangan berkaca- kaca. Dia mengepalkan tangannya. Sakit hatinya ketika sang anak mengatainya dengan perkataan liar. Padahal dia tidak merasa menjadi wanita seperti itu jika ucapan itu terlalu berlebihan. Dalam kedudukan orang tua sangatlah mulia dan wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada keduanya. Ini sebagai bentuk balasan atas kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan orang tua kepada anak sejak dalam kandungan."Hay Zain! Jaga ucapanmu ya. Sampai hati kau mengatakan Ibumu sendiri dengan sebutan liar? hah? Seseorang anak yang berbakti kepada orang tua akan di beri balasan yang berlimpah di dunia maupun akhirat! Tidak diperbolehkan bagi seorang anak
IBU SENDIRI DI BULLY!"Ibu dengar kan? Tidak hanya anak yang bisa durhaka, Ibu juga dan yang mengatakan itu adalah anak kesayangan Ibu, Hasan!" sindir Mbak Alif."Hasan coba jelaskan apa ciri Ibu yang durhaka pada anaknya? Agar kami tahu dan bisa mendengar, karena Mbak Alif pun juga seorang Ibu untuk anak- anak Mbak Alif jangan sampai Mbak Alif berlaku demikian. Takut anak- anak Mbak Alif sakit hati," sambung Mbak Ali."Benar itu, San. Mas juga," sahut Zain.Hasan memandang Ibunya dengan tatapan nanar. Dia tahu posisinya sekarang bagai buah simalakama. Kalau Hasan menjelaskan seperti permintaan kakak- kakaknya dia akan menyakiti hati Ibunya, jika tak di jelaskan semua kakakny akan menganggap Hasan tetap seperti anak spesial dan selalu merasa di bandingkan. Hasan mendekati bu Nafis. Dia memeluk Ibunya."Bu, Ibu tau kan Hasan sangat sayang pada Ibu?" tanya HAsa. Bu Nafis menganggukkan kepalanya."Ibu, jangan tersinggung ya. Hasan akan menjelaskan tentang masalah Ibu durhaka, namun buka
DASAR ANAK DURHAKA!"Satu lagi, Ibu tak pernah menghargai privasi anak. Ibu sering kali menggunakan Hp Ifah tanpa izin," sambung Ifah lagi."HEH! KALIAN TEGA YA! IBU SENDIRI DI BULLY!" teriak Bu Nafis."Sabar, Bu!" kata Hasan sambil memeluk ibunya."Kita kan di sini hanya keluarga inti, kami anak- anak Ibu. Terkadang kami kan juga ingin mencurahkan semua apa unek- unek kita, Bu. Namanya komunikasi terbuka, agar tak ada dusta di antara kita," ucap Hasan. "Ide Hasan boleh juga lo, Bu. Komunikasi yang terbuka seperti ini adalah kunci dari hubungan yang sehat. Bisa jadi, selama ini Ibu tak menyadari bahwa sikap Ibu terlalu menyakiti hati kami. Alih-alih Ibu ingin memberikan anak- anaknya arahan dan keputusan terbaik justru kami sering salah paham," ucap Mas Zain setuju."Baiklah! Sekarang coba kalian bicara secara jujur mengenai perasaan kalian, supaya Ibu sadar bahwa apa yang dilakukan Ibu salah. Tapi nanti gantian yo, Ibu akan mengeluarkan segela unek- un
TANGIS MBAK ALIF DI PAGI HARI"DASAR ANAK DURHAKA SEMUA! IBUNYA DI BULLY!" hardik bu Nafis pergi meninggalkan meja makan. Membuat semua orang terbengong dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sungguh ajaib Ibunya."Sekarang bagaimana keputusan Mbak Alif dan Mas Zain terkait lamaran Pak Hendi? Apakah Hasan perlu memanggil mereka?" tanya Hasan."Ck! Kau itu tak peka dan mengerti, San. Kau tak lihat sikap Ibu tadi bagaimana? Dia masih marah dengan kita, harusnya kita membahas tentang meluluhkan hati Ibu. Bisa- bisanya kau berpikir tentang lamaran Pak Hendi," tegur Mbak Alif."Halah Mbak, sampeyan ini kok seperti tidak hafal saja watak Ibu bagaimana. Ibu pasti akan baik sendiri besok, percayalah pada Hasan. Hasan ini sudah sangat hafal sekali dengan watak Ibu," jawab Hasan."Kalau kita merayu dan membujuknya justru akan membuat Ibu makin besar kepalanya dan merasa kita sebagai anak akan langsung menurut terus. Sesekali kita berikan sikap tegas pada Ibu dengan tidak terus merayu nya
PERKARA UMROH TAK DI AJAKDinda pun hanya memilih diam. Rasanya menyesal sekali dia berbicara jika tanggapannya menyakitkan hati. 'Brag' pintu suara pintu mobil di banting."Astaghfirullahaladzim!" kata Dinda karena terkejut."Ibu!" teriak Mbak Alif sambil menangis dan berlari ke dapur."Ada apa? Ada apa?" tanya Bu Nafis panik."Aku tidak kuat, Bu! Aku tidak kuat!" ujar Mbak Alif lagi.Mbak Alif pun langsung merangsek masuk tanpa menjawab semua pertanyaan ibunya itu. Dia memeluk bu Nafis tanpa banyak bicara. Dia hanya terus menangis tergugu di dalam pelukan ibunya itu. Meskipun mereka sering kali bertengkar, namun saat susah seperti ini tetaplah pelukan Ibu nya yang paling menangkan.Melihat hal itu pun semua orang bertanya- tanya apa yang sebenarnya terjadi dan menimpa Mbak Alif. Dinda pun segera mencuci tangannya yang kotor karena dia tadi sedang membantu bu Nafis untuk mengupas bawang merah. Dia pun kemudian mendatangi Mbak Alif dan mengulus pundaknya."Tolong ambilkan air untuk M
DINDA KESURUPAN, ALIF MURKA!Yang pertama soal istri yang kalau mau puasa sunnah harus izin suami (Sunan Abu Dawud, no. 2461). Yang kedua soal suami yang kalau mau coitus interuptus (‘azl) harus izin istri (Sunan Ibn Majah, no. 217). Hadis pertama terkenal bahkan ditafsirkan melebar ke semua hal. Hadis kedua tidak terdengar, tidak ada yang peduli, bahkan ada ulama yang tidak mau menggunakan hadis tersebut dan menafsirkannya ke arah yang berbeda. "Haha, kau terlalu mengada- ngada dan terbawa perasaanmu, Dek!" ucap Hasan."Tidak, Mas! Aku punya landasan hukumnya. Sebentar aku akan mengambil HP ku di kamar dulu," pamit Dinda."Lah kenapa yang ngotot malah Dinda, Bu?" tanya Mbak Alif."Wes diamlah! Kali ini dia sedikit berguna," bisik Bu Nafis.Dinda langung mengambil HP nya di kamar. Dia sungguh sangat tersinggung karena sang suami memiliki pemikiran yang picik seperti itu. Nalurinya sebagai wanita tersinggung juga."Mas! Mari kita luruskan semuanya. Kita mulai dari hal kecil, menurut
KEKUATAN EMAK EMAK JANGAN DI LAWAN!"Lalu menurutmu, San! Menurutmu, Zain! Apakah pergi umroh tanpa pamit seperti itu adalah hal yang tak wajib di ketahui istri?" bentak Mbak Alif mengeras karena merasa sakit hati kedua adiknya tak membelanya saat ini."Bukan begitu, Mbak. Kita realistis saja, persoalan- persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami begitu, Mbak," ucap Hasan dengan ketakutan karena kakak perempuannya mendelik.Mas Zain tertawa terbahak- bahak melihat Hasan ketakutan karena Mbak Alif mengamuk. Hasan menabok kakak lelakinya. Melihat hal itu sebenarnya Dinda juga tertawa geli, namun mencoba di tahan karena memper
CINTAKU TERHALANG WETON JAWA"Mas, Mbak, Bu! Ada yang ingin Ifah bicarakan," ujar Ifah dengan nada suara serius."Halah gayamu kok pakai nada suara begitu, Fahhh! Ifah," ledek Hasan menyeruput kopinya terakhir kali sebelum berangkat kerja."Sumpah, Mas. Ini penting sekali berkaitan dengan masa depan Ifah," ucap Ifah."Bayar kuliah?" tebak Zain."Bukan, Mas!" sahut Ifah."Lalu Apa?" tanya Mbak Alif."Mbak, Mas, Bu! Apa yang harus di persiapkan sebelum seorang anak perempuan ketika menikah?" tanya Dinda."HARUS SEKUFU DAN SESUKU!" jawab Mbak Alif lantang."Harus bner itungan Jawa nya jangan sampai seperti nasib dua Mas mu itu," sahut Bu Nafis."apa itu, Mbak Alif? Sesuku dan sekufu? Sama- sama jawa kan?" tanya Ifah."Kalau Mbak Dinda dulu dari sisi agama nya. Sekarang Ifah penasaran bagaimana dari sudut pandang Ibu dan Mbak Alif serta Mas Hasan dan Mas Zain?" sambungnya."Halah wes ndak usah minta pendapat kedua Mas mu itu! Itungannya jebluk! Karena tak pernah mendengarkan nasehat Ibu,"