DINDA KESURUPAN, ALIF MURKA!Yang pertama soal istri yang kalau mau puasa sunnah harus izin suami (Sunan Abu Dawud, no. 2461). Yang kedua soal suami yang kalau mau coitus interuptus (‘azl) harus izin istri (Sunan Ibn Majah, no. 217). Hadis pertama terkenal bahkan ditafsirkan melebar ke semua hal. Hadis kedua tidak terdengar, tidak ada yang peduli, bahkan ada ulama yang tidak mau menggunakan hadis tersebut dan menafsirkannya ke arah yang berbeda. "Haha, kau terlalu mengada- ngada dan terbawa perasaanmu, Dek!" ucap Hasan."Tidak, Mas! Aku punya landasan hukumnya. Sebentar aku akan mengambil HP ku di kamar dulu," pamit Dinda."Lah kenapa yang ngotot malah Dinda, Bu?" tanya Mbak Alif."Wes diamlah! Kali ini dia sedikit berguna," bisik Bu Nafis.Dinda langung mengambil HP nya di kamar. Dia sungguh sangat tersinggung karena sang suami memiliki pemikiran yang picik seperti itu. Nalurinya sebagai wanita tersinggung juga."Mas! Mari kita luruskan semuanya. Kita mulai dari hal kecil, menurut
KEKUATAN EMAK EMAK JANGAN DI LAWAN!"Lalu menurutmu, San! Menurutmu, Zain! Apakah pergi umroh tanpa pamit seperti itu adalah hal yang tak wajib di ketahui istri?" bentak Mbak Alif mengeras karena merasa sakit hati kedua adiknya tak membelanya saat ini."Bukan begitu, Mbak. Kita realistis saja, persoalan- persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami begitu, Mbak," ucap Hasan dengan ketakutan karena kakak perempuannya mendelik.Mas Zain tertawa terbahak- bahak melihat Hasan ketakutan karena Mbak Alif mengamuk. Hasan menabok kakak lelakinya. Melihat hal itu sebenarnya Dinda juga tertawa geli, namun mencoba di tahan karena memper
CINTAKU TERHALANG WETON JAWA"Mas, Mbak, Bu! Ada yang ingin Ifah bicarakan," ujar Ifah dengan nada suara serius."Halah gayamu kok pakai nada suara begitu, Fahhh! Ifah," ledek Hasan menyeruput kopinya terakhir kali sebelum berangkat kerja."Sumpah, Mas. Ini penting sekali berkaitan dengan masa depan Ifah," ucap Ifah."Bayar kuliah?" tebak Zain."Bukan, Mas!" sahut Ifah."Lalu Apa?" tanya Mbak Alif."Mbak, Mas, Bu! Apa yang harus di persiapkan sebelum seorang anak perempuan ketika menikah?" tanya Dinda."HARUS SEKUFU DAN SESUKU!" jawab Mbak Alif lantang."Harus bner itungan Jawa nya jangan sampai seperti nasib dua Mas mu itu," sahut Bu Nafis."apa itu, Mbak Alif? Sesuku dan sekufu? Sama- sama jawa kan?" tanya Ifah."Kalau Mbak Dinda dulu dari sisi agama nya. Sekarang Ifah penasaran bagaimana dari sudut pandang Ibu dan Mbak Alif serta Mas Hasan dan Mas Zain?" sambungnya."Halah wes ndak usah minta pendapat kedua Mas mu itu! Itungannya jebluk! Karena tak pernah mendengarkan nasehat Ibu,"
TRADISI JAWA DAN KEJAWEN ITU BEDA!"TAK USAH MENIKAH!" jawab Bu Nafis tegas."Astagfirulloh! Jangan begitu, Bu!" tegur Hasan."Kenapa? Kau lupa tak manut dengan ku endingnya bagaimana? Macet rejekimu! Karena jebluk! Pagebluk! Nikah malah apes," ledek Bu Nafi."Apa maksudnya, Mas?" tanya Dinda yang tak paham."Kita itu masyarakat Jawa jangan sampai lupa jawa nya! Kita itu memiliki beragam tradisi warisan nenek moyang yang bertujuan untuk menjaga keselamatan, kedamaian, dan rasa syukur. Salah satu tradisi tersebut adalah menghitung weton calon pengantin saat hendak melangsungkan pernikahan. Pada perhitungan weton jodoh menggunakan neptu dhino dan neptu pasaran, yaitu neptu dhino misal Ahad lima, Senin empat, Selasa tiga, Rabu tujuh, Kamis delapan, Jumat enam, Sabtu sembilan. Lalu neptu pasaran Kliwon delapan, Legi lima, Pahing sembilan, Pon tujuh, Wage empat. Nanti makna hasil hitung weton Jawa itu untuk pernikahan," jelas Bu Nafis.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), weton adal
RUWATAN"Prettt!" sahut Bu Nafis."Bu, kalau weton nya tak cocok kan tidak boleh ya kata Ibu?" tanya Ifah."JELAS! BIAR TAK APES!" ucap Bu Nafis."Kalau weton yang jebluk itu Mas Fahmi berarti tetap tak boleh kan?" sambung Ifah."Apa? Fahmi?" tanya Bu Nafis dengan mulut menganga."Iya, Bu! Kalo misal nanti weton Ifah dan Mas Fahmi tak cocok maka kami tak akan bisa menikah kan?" sahut Ifah."Kalau begitu Ifah akan tanya wetonnya. Mbak Alif dan Mas Zain saksi ya," sambunya lagi."Pintar juga si Ifah," batin Dinda dalam hati sambil mencuci piring kotor."Ya tidak. Kalau sama Gus Fahmi teman Mas mu itu bisa lah di bicarakan baik- baik! Kan bisa di buat ruwatan," ucap Bu Nafis.Dalam pelaksaannya, tradisi ruwatan membutuhkan persyaratan khusus berupa sajen. Sajen tersebut terbuat dari makanan dan benda -benda yang di gunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi dengan makhluk tak kasat mata. Masyarakat juga kerap mempersembahkan sajen kepada arwah leluhur atau nenek moyang mereka. Peny
SEATAP DENGAN MERTUA?"Lalu kalau memang begitu bagaimana Ibu menghitung weton Mbak Alif dan Mas Adri yang di gadang- gadang cocok? Nyatanya begitu juga," sindir Mas Zain."SKAK MAT!" pekik Dinda kegirangan. 'Plak' sebuah ceting plastik melayang ke arah Dinda. "Aduh," keluh Dinda tidak tertahan dia tidak protes malah justru tertawa cekikikan. "Lho kan begitu toh, Bu? Kenapa sekarang Hasan bisa berkata begitu? Kalau memang itungan Jawa itu adalah sesuatu yang pasti dan benar tentulah semua akan berjalan sesuai dengan rencana. Cuma sebagaimana mestinya hitungan itu kalau cocok maka tak ada lagi orang melarat di dunia ini. Tak usahlah percaya begitu yang keterlaluan, Bu! Boleh percaya dengan tradisi tapi jangan sampai tradisi itu terlalu dalam merasuk ke hati Ibu, sampai membuat Ibu menduakan gusti Allah," ucap Hasan. Bu Nafis pun tak menjawab. Dia hanya mencebik dan mencap mencep saja. "Dek memangnya Si Fahmi itu benar- benar ingin meminangmu?" tanya Mbak Alif."Dia orang mana to, Bu
PAHAM KAN SEKARANG? PAHAM DONG!"Ifah tak ingin menjadi seperti Mbak Alif dan Mbak Dinda," jawab Ifah dengan polosnya."Hah? Dinda? Memang Dinda kenapa? Selama ini Ibu sebagai mertua selalu baik dengan Dinda kok!" sahut Bu Nafis."DINNNNDAAAAAAA! APA YANG KATAKAN PADA IFAH!!!!!" teriak Bu Nafis sampai membuat Mbak Alif dan Ifah serta Mas Zain menutup telinganya."Hah! Mati aku!" batin Dinda mencoba untuk mencari jalan kabur.Baru saja Dinda terpikirkan cara untuk pergi dengan lewat di belakang mertuanya, namun Bu Nafis sudah berbalik arah ke arahnya. Dia menatap Dinda dengan tatapan tajam, sedangkan Dinda hanya mampu menggaruk- garuk rambutnya yang tidak gatal itu serta tersenyum menyengir."Ada apa, Bu? Kenapa wajah Ibu memerah seperti itu, Bu? Jangan emosi, Bu! Sabar! Sabar," kata Dinda. Bu Nafis terdiam tak menyahuti semua ucapan Dinda."Aduh! Cucu Ibu nanti kaget kalau ibu berteriak -teriak begitu," ucapnya lagi."Cucu? Maksudmu?" tanya Mbak Alif yang memang tidak mengetahui bahw
INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN"Kau dengarkan? Siapa yang tak tahu diri? Masa iya sudah menumpang masih mau minta sama Ibu juga? Ibu ini lho tidak bekerja. Wong hanya jualan, itu pun juga seringnya tombok saja. Alhamdulillah cukup buat makan, lalu kau meminta ibu juga untuk membiayainya dari mana?" cerca bu Nafis."Fah! Paham kan sekarang maksud Mbak Dinda? Kau melihat dan tahu sendiri kan, Fah? Paham kan? Ngerti kan sekarang? Ngerti dong mosok gak ngerti," kata Dinda."PAHAM!""Wong edan! Ini yang kau maksud. Menantu dakjall!" bentak bu Nafis."CUKUP, BU!" bentak Zain menggebrak meja.Mereka pun segera menghentikan perdebatan itu saat Zain mulai meninggikan suarannya. Dinda segera membantu Mbak Alif menaikkan dagangan mertuanya ke mobil. Bu Nafis juga langsung masuk ke dalam kamar, bersiap senam. Zain adalah tipikal lelaki jarang marah. Ketika suaranya mulai di tinggikan itu tanda mereka terlewat batas."Din! Kau mau ikut Ibu senam?" ajak Bu Nafis."Tidak, Bu! Mobil di bawa Mas