DASAR ANAK DURHAKA!
"Satu lagi, Ibu tak pernah menghargai privasi anak. Ibu sering kali menggunakan Hp Ifah tanpa izin," sambung Ifah lagi."HEH! KALIAN TEGA YA! IBU SENDIRI DI BULLY!" teriak Bu Nafis."Sabar, Bu!" kata Hasan sambil memeluk ibunya."Kita kan di sini hanya keluarga inti, kami anak- anak Ibu. Terkadang kami kan juga ingin mencurahkan semua apa unek- unek kita, Bu. Namanya komunikasi terbuka, agar tak ada dusta di antara kita," ucap Hasan."Ide Hasan boleh juga lo, Bu. Komunikasi yang terbuka seperti ini adalah kunci dari hubungan yang sehat. Bisa jadi, selama ini Ibu tak menyadari bahwa sikap Ibu terlalu menyakiti hati kami. Alih-alih Ibu ingin memberikan anak- anaknya arahan dan keputusan terbaik justru kami sering salah paham," ucap Mas Zain setuju."Baiklah! Sekarang coba kalian bicara secara jujur mengenai perasaan kalian, supaya Ibu sadar bahwa apa yang dilakukan Ibu salah. Tapi nanti gantian yo, Ibu akan mengeluarkan segela unek- unTANGIS MBAK ALIF DI PAGI HARI"DASAR ANAK DURHAKA SEMUA! IBUNYA DI BULLY!" hardik bu Nafis pergi meninggalkan meja makan. Membuat semua orang terbengong dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sungguh ajaib Ibunya."Sekarang bagaimana keputusan Mbak Alif dan Mas Zain terkait lamaran Pak Hendi? Apakah Hasan perlu memanggil mereka?" tanya Hasan."Ck! Kau itu tak peka dan mengerti, San. Kau tak lihat sikap Ibu tadi bagaimana? Dia masih marah dengan kita, harusnya kita membahas tentang meluluhkan hati Ibu. Bisa- bisanya kau berpikir tentang lamaran Pak Hendi," tegur Mbak Alif."Halah Mbak, sampeyan ini kok seperti tidak hafal saja watak Ibu bagaimana. Ibu pasti akan baik sendiri besok, percayalah pada Hasan. Hasan ini sudah sangat hafal sekali dengan watak Ibu," jawab Hasan."Kalau kita merayu dan membujuknya justru akan membuat Ibu makin besar kepalanya dan merasa kita sebagai anak akan langsung menurut terus. Sesekali kita berikan sikap tegas pada Ibu dengan tidak terus merayu nya
PERKARA UMROH TAK DI AJAKDinda pun hanya memilih diam. Rasanya menyesal sekali dia berbicara jika tanggapannya menyakitkan hati. 'Brag' pintu suara pintu mobil di banting."Astaghfirullahaladzim!" kata Dinda karena terkejut."Ibu!" teriak Mbak Alif sambil menangis dan berlari ke dapur."Ada apa? Ada apa?" tanya Bu Nafis panik."Aku tidak kuat, Bu! Aku tidak kuat!" ujar Mbak Alif lagi.Mbak Alif pun langsung merangsek masuk tanpa menjawab semua pertanyaan ibunya itu. Dia memeluk bu Nafis tanpa banyak bicara. Dia hanya terus menangis tergugu di dalam pelukan ibunya itu. Meskipun mereka sering kali bertengkar, namun saat susah seperti ini tetaplah pelukan Ibu nya yang paling menangkan.Melihat hal itu pun semua orang bertanya- tanya apa yang sebenarnya terjadi dan menimpa Mbak Alif. Dinda pun segera mencuci tangannya yang kotor karena dia tadi sedang membantu bu Nafis untuk mengupas bawang merah. Dia pun kemudian mendatangi Mbak Alif dan mengulus pundaknya."Tolong ambilkan air untuk M
DINDA KESURUPAN, ALIF MURKA!Yang pertama soal istri yang kalau mau puasa sunnah harus izin suami (Sunan Abu Dawud, no. 2461). Yang kedua soal suami yang kalau mau coitus interuptus (‘azl) harus izin istri (Sunan Ibn Majah, no. 217). Hadis pertama terkenal bahkan ditafsirkan melebar ke semua hal. Hadis kedua tidak terdengar, tidak ada yang peduli, bahkan ada ulama yang tidak mau menggunakan hadis tersebut dan menafsirkannya ke arah yang berbeda. "Haha, kau terlalu mengada- ngada dan terbawa perasaanmu, Dek!" ucap Hasan."Tidak, Mas! Aku punya landasan hukumnya. Sebentar aku akan mengambil HP ku di kamar dulu," pamit Dinda."Lah kenapa yang ngotot malah Dinda, Bu?" tanya Mbak Alif."Wes diamlah! Kali ini dia sedikit berguna," bisik Bu Nafis.Dinda langung mengambil HP nya di kamar. Dia sungguh sangat tersinggung karena sang suami memiliki pemikiran yang picik seperti itu. Nalurinya sebagai wanita tersinggung juga."Mas! Mari kita luruskan semuanya. Kita mulai dari hal kecil, menurut
KEKUATAN EMAK EMAK JANGAN DI LAWAN!"Lalu menurutmu, San! Menurutmu, Zain! Apakah pergi umroh tanpa pamit seperti itu adalah hal yang tak wajib di ketahui istri?" bentak Mbak Alif mengeras karena merasa sakit hati kedua adiknya tak membelanya saat ini."Bukan begitu, Mbak. Kita realistis saja, persoalan- persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami begitu, Mbak," ucap Hasan dengan ketakutan karena kakak perempuannya mendelik.Mas Zain tertawa terbahak- bahak melihat Hasan ketakutan karena Mbak Alif mengamuk. Hasan menabok kakak lelakinya. Melihat hal itu sebenarnya Dinda juga tertawa geli, namun mencoba di tahan karena memper
CINTAKU TERHALANG WETON JAWA"Mas, Mbak, Bu! Ada yang ingin Ifah bicarakan," ujar Ifah dengan nada suara serius."Halah gayamu kok pakai nada suara begitu, Fahhh! Ifah," ledek Hasan menyeruput kopinya terakhir kali sebelum berangkat kerja."Sumpah, Mas. Ini penting sekali berkaitan dengan masa depan Ifah," ucap Ifah."Bayar kuliah?" tebak Zain."Bukan, Mas!" sahut Ifah."Lalu Apa?" tanya Mbak Alif."Mbak, Mas, Bu! Apa yang harus di persiapkan sebelum seorang anak perempuan ketika menikah?" tanya Dinda."HARUS SEKUFU DAN SESUKU!" jawab Mbak Alif lantang."Harus bner itungan Jawa nya jangan sampai seperti nasib dua Mas mu itu," sahut Bu Nafis."apa itu, Mbak Alif? Sesuku dan sekufu? Sama- sama jawa kan?" tanya Ifah."Kalau Mbak Dinda dulu dari sisi agama nya. Sekarang Ifah penasaran bagaimana dari sudut pandang Ibu dan Mbak Alif serta Mas Hasan dan Mas Zain?" sambungnya."Halah wes ndak usah minta pendapat kedua Mas mu itu! Itungannya jebluk! Karena tak pernah mendengarkan nasehat Ibu,"
TRADISI JAWA DAN KEJAWEN ITU BEDA!"TAK USAH MENIKAH!" jawab Bu Nafis tegas."Astagfirulloh! Jangan begitu, Bu!" tegur Hasan."Kenapa? Kau lupa tak manut dengan ku endingnya bagaimana? Macet rejekimu! Karena jebluk! Pagebluk! Nikah malah apes," ledek Bu Nafi."Apa maksudnya, Mas?" tanya Dinda yang tak paham."Kita itu masyarakat Jawa jangan sampai lupa jawa nya! Kita itu memiliki beragam tradisi warisan nenek moyang yang bertujuan untuk menjaga keselamatan, kedamaian, dan rasa syukur. Salah satu tradisi tersebut adalah menghitung weton calon pengantin saat hendak melangsungkan pernikahan. Pada perhitungan weton jodoh menggunakan neptu dhino dan neptu pasaran, yaitu neptu dhino misal Ahad lima, Senin empat, Selasa tiga, Rabu tujuh, Kamis delapan, Jumat enam, Sabtu sembilan. Lalu neptu pasaran Kliwon delapan, Legi lima, Pahing sembilan, Pon tujuh, Wage empat. Nanti makna hasil hitung weton Jawa itu untuk pernikahan," jelas Bu Nafis.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), weton adal
RUWATAN"Prettt!" sahut Bu Nafis."Bu, kalau weton nya tak cocok kan tidak boleh ya kata Ibu?" tanya Ifah."JELAS! BIAR TAK APES!" ucap Bu Nafis."Kalau weton yang jebluk itu Mas Fahmi berarti tetap tak boleh kan?" sambung Ifah."Apa? Fahmi?" tanya Bu Nafis dengan mulut menganga."Iya, Bu! Kalo misal nanti weton Ifah dan Mas Fahmi tak cocok maka kami tak akan bisa menikah kan?" sahut Ifah."Kalau begitu Ifah akan tanya wetonnya. Mbak Alif dan Mas Zain saksi ya," sambunya lagi."Pintar juga si Ifah," batin Dinda dalam hati sambil mencuci piring kotor."Ya tidak. Kalau sama Gus Fahmi teman Mas mu itu bisa lah di bicarakan baik- baik! Kan bisa di buat ruwatan," ucap Bu Nafis.Dalam pelaksaannya, tradisi ruwatan membutuhkan persyaratan khusus berupa sajen. Sajen tersebut terbuat dari makanan dan benda -benda yang di gunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi dengan makhluk tak kasat mata. Masyarakat juga kerap mempersembahkan sajen kepada arwah leluhur atau nenek moyang mereka. Peny
SEATAP DENGAN MERTUA?"Lalu kalau memang begitu bagaimana Ibu menghitung weton Mbak Alif dan Mas Adri yang di gadang- gadang cocok? Nyatanya begitu juga," sindir Mas Zain."SKAK MAT!" pekik Dinda kegirangan. 'Plak' sebuah ceting plastik melayang ke arah Dinda. "Aduh," keluh Dinda tidak tertahan dia tidak protes malah justru tertawa cekikikan. "Lho kan begitu toh, Bu? Kenapa sekarang Hasan bisa berkata begitu? Kalau memang itungan Jawa itu adalah sesuatu yang pasti dan benar tentulah semua akan berjalan sesuai dengan rencana. Cuma sebagaimana mestinya hitungan itu kalau cocok maka tak ada lagi orang melarat di dunia ini. Tak usahlah percaya begitu yang keterlaluan, Bu! Boleh percaya dengan tradisi tapi jangan sampai tradisi itu terlalu dalam merasuk ke hati Ibu, sampai membuat Ibu menduakan gusti Allah," ucap Hasan. Bu Nafis pun tak menjawab. Dia hanya mencebik dan mencap mencep saja. "Dek memangnya Si Fahmi itu benar- benar ingin meminangmu?" tanya Mbak Alif."Dia orang mana to, Bu
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."