JANGAN JADI PAHLAWAN KESIANGAN MAS!"Mas," panggil Dinda."Kenapa?""Aku curiga bahwa Laras dan Safira yang selama ini meneror kita," ujar Dinda."Kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanya Hasan."Aku menemukan beberapa benda yang menurutku cukup mencurigakan berada di kamar Laras, Mas. Benda itu rasanya tak wajar ada di sana," jawab Dinda dengan mimik muka bersungguh- sungguh."Benarkah? Benda apa yang kau maksud? Barang macam apa yang kau temukan itu, Dek? Kenapa barang itu bisa membuatmu mencurigai Laras? Sampai kau juga bisa menyimpulkan bahwa laras adalah bagian dari peneror itu?" tanya Hasan beruntun."Mas, saat Dinda tadi menccoba meenangkan Laras, kamar anak itu sangat berantakan sekali. Bukan berantakan karena tak di rawat, namun sepertinya Laras baru mengamuk daan mengacaj- ngacak kamarnya itu. Lalu saat aku membersihkan pecahan kaca dan menyapu, di bagian bawah meja belajar Laras, aku tak sengaja menemukan seperti sobekan bekas mukena lama yang tak di pakai begitu, Mas," jawa
AJAKAN LARAS!"Bu! Ibu! Bu! Hasan ingin berbicara pada ibu," teriak Hasan. Bu Nafis pun membukakan pintu kamarnya. Nampak Ibunya masih menggunakan mukena putih."Apa maksud ibu mengatakan seperti itu pada Mas Zain? Apa Ibu ingin mengaduku dengan kakak kandung sendiri, Bu?" tanya Hasan.Bu Nafis pun langsung menangis sesegukan. Hasan pun langsung bingung padaal dia belum mengatakan atau menanyakan hal apapun pada Ibunya itu. Namun Bu Nafis langsung menangis sesegukan. Dia sampai tak bisa berkata- kata lagi. Hasan sampai bingung, sebagai seorang anak dia tak bisa membedakan mana saat ibunya benar- benar serius menangis karena sakit hati atau sedih dan mana jika ibunya sedang bersandiwara. Jadi lebih baik Hasan segera menyingkir, karna takut akan tersulut emosi juga menghadapi Ibunya yang penuh drama."Sudahlah, Bu! Hasan lelah, terserah Ibu saja sudah. Atur bagaimana baiknya saja," kata Hasan sambil meninggalkan Bu Nafis yang masih berdiri di ambang pintu.Hasan pun segera ke kamar da
SEBUAH PENGAKUAN!"Siapa, Din?" teriak Bu Nafis."Ada Dek Laras, Bu," sahutnya. Tanpa butuh waktu lama lagi Bu Nafis segera keluar. Dia melihat Laras berada di depan pintu."Eh Laras! Masuk, Nak! Cari siapa?" tanya Bu Nafis berusaha untuk seramah mungkin."Tidak usah! Laras hanya ada urusan dengan Mbak Dinda," jawab Laras."Mbak Dinda ada waktu? Bisa kita pergi keluar sebentar?" tanya Laras.Dinda terdiam sambil memandang wajah Laras penuh arti. Kemudian beralih ke wajah mertuanya yang nampak kaget dengan perkataan gadis itu. Dinda meneguk ludahnya kasar. Dia menghela nafas panjang, dia tak mau membuat gadis itu kecewa."Baiklah kita beli jajan di warung depan aja yuk! Mau?" tanya Dinda. Laras menganggukkan kepalan."Sebentar ya, Dek! Mbak Dinda ambil jilbab dulu, kita ke warungnya Mbok Jum di depan ya beli rujak petis dan es dawet, segar sekali kayaknya. Mbak Dinda traktir deh," ujar Dinda."Sini masuk dulu," ajak Dinda. Laras hanya mengang
USAPAN LEMBUT DINDA UNTUK LARAS!"Mbak selama ini Laras yang meneror keluarga Mas Hasan. Laras lah yang selalu membuat keluarga kalian ketakutan, Laras lah pelakunya," kata Laras dengan nada suara yang bergetar."Astagfirulloh," gumam Dinda.Meskipun sebenarnya Dinda sudah menduganya semenjak dia menyapu lantai kamar Laras dan menemukan beberapa bukti bahwa Laras peneror itu semalam, namun rasanya dia masih kaget saja saat gadis itu langsung mengatakannya langsung padanya. Dinda menghela nafasnya panjang meski jantungnya sekarang lumayan berdegub keras. Dinda mencoba berusaha menguasai keadaan dengan baik agar tak membuat Laras kagok. Dia masih ingin melanjutkan dan mendengarkan perkataan dan pengakuan Laras. Dinda pun mengelus tangan Laras perlahan."Maafkanlah Laras, Mbak. Maafkan aku," ujar Laras mulai menitikkan air matanya. Dia menghela nafasnya panjang."Laras melakukan itu semua bukan tanpa alasan, Mbak. Laras sangat sakit hati dengan semua perlakuan
TIDAK UNTUK MENIKAH!"Sekarang yang penting, jangan kau ulangi lagi semua perbuatanmu itu, karena Mbak Dinda tidak jamin kau akan aman selamanya. Tetapi, setidaknya setelah kau berhenti melakukan teror itu semoga saja Mas Hasan ataupun Bu Nafis bahkan Ifah bisa melupakan semua kejadian ini dan mereka tidak mengungkit- ngungkit tentang teror itu. Bahkan Mbak Dinda berdoa semoga mereka tidak bisa menemukan celah atau petunjuk yang membuktikan bahwa pelaku peneror itu adalah dirimu," sambungnya."Lalu aku harus bagaimana, Mbak?" tanya Laras sedikit ketakutan mendengarkan ucapan dari Dinda.Dinda pun menghela nafasnya panjang. Sepersekian detik dia terdiam karena mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi sampai menemukan jawaban yang tepat untuk Laras. Dinda menata wajah Laras mendalam, dia mencari cara untuk menghadapi anak itu. Rasanya dia juga tak ingin menakut-nakuti Laras, namun dia juga ingin sedikit memberi pelajaran pada Laras agar tak mengulanginya lagi."Mbak Dinda bi
JANGAN MEMBUAT LELAKI SAKIT HATI! BAHAYA!"Entahlah, Mas! Rasanya Ifah belum siap untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, bukan karena Ifah tak sayang namun Ifah benar- benar belum ingin menikah muda, Mas. Karena terlalu banyak hal yang ingin aku lakukan dan rasanya Ifah tak mau hal itu sia- sia, menghabiskan waktu muda dengan mengasuh Ibu Mas dan menikah terdengar ribet," kata Ifah."Siapa yang sedang bertelepon dengan Ifah ya?" tanya Dinda dalam hati."Ya sudah kalau begitu, Mas. Silahkan Mas cari yang lain saja, assalamualaikum," kata Ifah sambil segera mematikan teleponnyaTerdengar Ifah mengeluh nafas panjang sambil mengusap ujung matanya. Sepertinya adik iparnya itu sedang tidak baik- baik saja. Terlihat dari sikap dan tingkahnya dari belakang. Memang wanita itu pandai menyembunyikan perasaan, mereka mengatakan baik- baik saja di mulut padahal hatinya terluka. Saat Ifah menengok ke belakang, dia terkejut karena melihat kakak Iparnya sudah ada di belakangnya."Astagfirullah Mb
PESAN DARI LARAS!"Mbak, aku harus bagaimana yo? Mau tak tolak kok rasanya sayang, dia ganteng, sholeh, mengerti agama. Tapi kalau menikah kok ya Ifah belum siap. Ifah harus bagaimana ya, Mbak?" tanya Ifah. Dinda mengelus bahu Ifah."Ayo duduk situ dulu," ajak Dinda. Mereka pun duduk di kursi makan."Ifah, perkara menikah itu bukanlah sesuatu hal yang gampang. Coba tanyakan pada hatimu sendiri, kau itu sebenarnya ingin menikah karena apa?" tanya Dinda.Bagi banyak orang, terutama mereka yang sudah memasuki usia dewasa, menikah adalah salah satu hal yang paling diimpikan. Pernikahan dinilai akan menjadi momen yang paling membahagiakan dalam hidup, tentu jika dilakukan pada waktu dan dengan orang yang tepat. Seperti yang diketahui, menjadi sepasang suami istri bukan hanya sekedar melengkapi sunnah dalam agama Islam atau mengikuti standar kehidupan. Walau begitu, ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah. Ini sangat penting karena sebuah pernika
KAU BANGGA DI PANGGIL NING DAN AKU BU NYAI!"Fah! Fah, kau tahu tidak ada berita hebat di tukang sayur tadi," kata Bu Nafis dengan semangat. Ifah menggelengkan kepalanya karena memang jarang sekali bersosialisasi dengan warga."Ini ada kaitannya denganmu, Fah! Ibu tak menyangka kau hebat juga ternyata diam-diam," puji Bu Nafis."Memangnya ada apa sih, Bu? Sungguh Ifah bingung dan tak paham sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ifah.Ifah tidak paham dengan tingkah Ibunya sendiri. Karena dia tak berbuat apapun tapi mengapa ibunya sekarang berkata bangga pada dirinya. Bukannya senang dan gembira ibunya berkata seperti itu, justru Ifah jadi curiga. "Makanya toh, Fah! Mbok ya kamu itu sekali- kali gaul dan bersosialisasi keluar rumah. Membaur dengan warga sekitar jangan apa- apa itu hanya HP saja. Alasanya main Instagram, endorse, kamu itu harus mulai srawung istilahnya mulai mengenal orang dalam realita. Jangan hanya lewat sosial media. Sekarang kau itu harus rajin untuk bermasyarakat, k