Vani tersenyum puas saat mengetahui apa yang terjadi pada Faryn kemarin. Andai saj ma ia berada di sana, sudah pasti ekspresi istri Hakam itu sudah ia abadikan. Sayang sekali, saat itu dia harus mencari tahu lebih jauh tentang Faryn dan Bahari."Apa sebegitu mengejutkannya untuk kamu sampai pingsan di tempat umum?" sindir Vani dengan nada mengejek.Faryn diam. Tangannya menggenggam cangkir cokelat hangat di atas meja. Malam ini Hakam tidak bisa menjemputnya karena sedang berada di luar kota. Sehingga ini kesempatan yang besar untuk mereka bertemu tanpa adanya halangan."Langsung saja ke intinya, Vani," Faryn menyesap cokelat di cangkir.Vani tersenyum lebar. Bagi Faryn senyumnya itu lebih terlihat seperti milik iblis. Sangat berbeda senyum yang bisa wanita itu tampilkan."Kamu sudah nggak sabaran, ya?"Faryn diam. Dia tidak ingin menghabiskan tenaga dengan respon ucapan tidak penting.Vani bersandar. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Dagunya terangkat angkuh."Aku tahu tujuan ka
Ibu jari dengan kuku yang dihiasi kuteks warna merah marun dan monte itu tremor. Dia terbangun dari tidur nyenynaknya lantaran suara berdenting dari ponselnya yang terus berbunyi berulang kali.Saat Vani membuka pesan notifikasi itu, mata yang tadinya masih setengah terpejam, mendadak terbuka lebar. Rasa kantuknya sudah hilang begitu menatap layar gawainya."I-ini ...," saking syoknya, Vani sampai tidak bisa mengatakan apa-apa.Tremor di ibu jarinya merambat sampai ke tubuhnya. Dia tidak tahu siapa yang menyebarkan ini. Foto-foto dewasanya tersebar diinternet. Bukan hanya satu akun saja yang memposting, akun-akun lain juga banyak sekali yang mengunggah ulang.Vani tidak tahu mana akun yang pertama mengunggah untuk dia mintai tanggung jawab. Semua begitu cepat dan banyak.Dengan masih bergetar hebat, Vani mencoba membuka satu per satu komentar yabg dikirimkan orang-orang baik kepadanya melalui pesan langsung atau pun pada foto yang diunggah oleh akun-akun tidak bertanggung jawab.'Wih,
Beberapa hari berlalu. Tidak ada satu pun hari di mana Vani bisa merasakan ketenangan. Bukan hanya pesan-pesan dari orang tidak dikenal yang terus membanjiri notifikasi di gawainya. Melainkan juga ketukan intens dari seseorang yang selalu datang setiap waktu.Vani sudah mencoba berbagai cara agar foto-foto itu dihapuskan. Tidak ada satu pun yang membuahkan hasil. Baru-baru ini saja akun utamanya malah diretas oleh oknum tidak bertanggung jawab. Alhasil semua percakapan dan pesan masuk di akun tersebut tersebar luas.Termasuk video maupun foto yang pernah ia kirimkan pada mantan pacarnya dulu sebelum bersama Bahari. Bukannya berkurang masalah yang didapatnya, malah makin bertambah.Vani ketakutan, khawatir, hilang arah. Tidak tahu harus mengadu kepada siapa.Sempat mengira dengan diretasnya akun utama sosial media miliknya akan mengakhiri teror yang dialami, nyatanya orang-orang malah menyerang akun kedua miliknya. Padahal Vani sudah berusaha menyembunyikan akun tersebut.Yang lebih me
Hakam tidak sempat mengikuti proses penguburan Vani, sahabat kakaknya. Dia sudah mengenal dekat wanita dengan tubuh aduhai itu. Bagi Hakam, Vani sudah seperti sosok kakak kedua baginya.Vani selalu bersikap baik padanya. Saat berada di luar negeri pun wanita itu yang lebih sering mengecek keadaannya karena merasa khawatir. Kematiannya yang tiba-tiba, membuat Hakam cukup terpukul.Tidak sedikit cerita yang ia bagi pada Vani. Meski sejaknmenikah dia belum bertemu lagi dengannya, Hakam tetap saja merasa kehilangan salah satu teman berceritanya.Hakam mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Kepalanya menoleh pada Faryn yang masih memejamkan mata, fokus berdoa.Tidak seperti kemarin saat menemukannya yang terlihat berantakan, hari ini Faryn terlihat lebih rapi. Walau pucat tetap saja masih terlihat samar di kulit wajahnya.Hakam tidak ingin mengganggu. Ia bangkit dan berjalan lebih dulu ke arah mobil, meninggalkan Faryn yang masih khidmat berdoa.Tidak butuh waktu lama, Faryn menyusul dirin
Tubuh Faryn terasa luar biasa lemas. Tulang-tulangnya terasa dilucuti. Kulitnya juga terasa kedinginan. Bulu kuduknya pasti berdiri saat ini. Di tambah lagi kepalanya yang seperti ditindihi batu luar biasa besar.Meski merasakan itu semua, Faryn enggan membuka mata. Bukan enggan, melainkan matanya juga terasa berat.'Ah, lebih baik tidur sebentar lagi,' pikirnya setengah sadar.Dia meringkuk lebih dalam mencari kehangatan dari sesuatu di depannya. Dinding ini ... hangat sekali.Kepalanya mendusel mencari kenyaman di sana. Hangat dan tidak keras. Rasanya nyaman sekali.'Apa sebaiknya tembok rumahku diganti seperti ini saja, ya?' batinnya.Dia masih tidak memahami apa yang terjadi padanya. Yang dia tahu hanya mencari kehangatan dan kenyamanan saja. Supaya tidurnya bisa lebih pulas lagi.Samar-samar telinganya menangkap suara mengerang pelan. Tembok ini mengerang? Sekali lagi terdengar suara yang sama setiap dia mengubah posisi.'Yah, suaranya juga nggak begitu menganggu.'Dalam pikiran
Inka Lavanya Jatayu atau yang biasa dipanggil Lava mematut dirinya sendiri depan cermin. Dia masih memiliki waktu sebentar lagi sebelum ibunya berteriak untuk menyuruhnya berangkat ke sekolah.Rok lipit berwarna merah muda sepanjang di bawah lututnya tampak pantas juga ia kenakan. Dia berputar demi bisa melihat penampilannya secara keseluruhan. Wajahnya mencoba tersenyum manis.Setelah puas, Lava melepas roknya, mengganti dengan celana pendek seragam sekolah yang biasa ia kenakan. Sengaja dia melakukan itu, supaya ketika saatnya bersiap nanti, dia tidak terburu-buru mengganti. Sekarang saatnya mencoba hadiah lain dari kakeknya.Sebuah benda asing yang masih berada di plastik pembungkusnya. Benda yang sering ia lihat dipakai di atas kepala teman-teman perempuan di kelasnya.Sebuah bando dengan hiasan tambahan yang sangat cantik yang pernah Lava lihat.Ia tidak sabar untuk mengenakannya. Meski begitu, tetap saja dengan hati-hati ia buka bungkus plastik itu. Lalu perlahan, tangannya mele
Hanya dengan mengingat nama Lavanya Inka Jatayu, sudah lebih dari cukup bagi dirinya untuk mendapatkan kembali seluruh memori yang telah ia pendam dan lupakan.Dia adalah Lava, seorang anak perempuan yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mengidap trauma terhadap pria. Dia lahir dari hubungan tidak sah kedua orang tuanya. Dia bukan Faryn.Dia Lava.Faryn, tidak Lava, entah dia harus mengenakan nama yang mana sekarang. Haruskah ia terus menjadi Faryn seperti yang selama ini orang-orang kenal? Atau Lava, seorang anak kecil yang menghilang beberapa tahun lalu?Kepalanya terasa berat. Perutnya bergejolak. Dia sudah sering merasakannya. Namun, kali ini terasa jauh lebih menyiksa. Tubuhnya terkulai di depan bekas bangunan panti tempatnya dulu berkenalan dengan seorang gadis cilik yang sekarang ia ambil namanya.Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah. Napasnya kian terasa sesak saat isaknya semakin keras. Sudah tidak ada siapa pun di sini. Pria tua yang tadi bersamanya, sudah berlalu pulang
Dia tahu Saba tentu tidak menceritakan semua yang terjadi di masa lalu Bahari yang bersinggungan dengan dirinya dan Faryn yang asli. Kalau dia memang menceritakan semuanya, pasti ada bagian di mana pria itu menutupinya dengan kebohongan.Lava tidak peduli kalau pun memang dia sudah dibohongi oleh Saba.Yang dia pedulikan saat ini adalah dia sudah mengetahui sendiri apa yang terjadi pada kehidupannya.Rasa sakit, sedih, terluka, marah, kecewa, semua bekecamuk menjadi satu. Terlebih lagi saat dia memutuskan untuk mengunjungi rumah masa kecilnya ketika masih tinggal bersama sang ibu.Selintas wajah ibunya yang cantik mampir di kepalanya. Kenangan buruk dan lebih buruk yang diciptakan oleh Mama begitu jelas di ingatannya seperti sebuah film hitam putih yang ditayangkan di dalam otaknya."Anak laki-laki nggak boleh menangis!"Suara hardikan Mama terngiang di telinganya. Bayangan sabetan penggaris kayu panjang yang mengenai punggungnya, terasa begitu nyata. Lava memeluk dirinya sendiri sepe