"Jangan bermain menyentuhku," ancamku saat wajahnya berusaha mendekat padaku. Pria itu tersenyum dan mundur selangkah, kedua tangannya bersedekap, dengan tatapan mata masih ke arahku. "Memangnya kenapa kalau aku menyentuhmu? disentuh doang," sahutnya meremehkan. "Disentuh doang, katamu. Ibarat makanan yang hendak dibeli, mana yang kamu pilih, makanan yang udah bekas tangan orang atau yang tidak tersentuh sama sekali," jawabku beradu argument. "Tentu saja yang tidak pernah disentuh orang lain.""Begitulah aku, aku adalah sesuatu yang berharga bagi orang tuaku dan diriku sendiri, maka tidak boleh disentuh sembarangan orang. Karena semuanya berawal dari sentuhan.""Baiklah, aku akan membelimu," ucapnya sambil kembali mengunci tubuhku seperti tadi. Mataku membulat sempurna, menatap tajam ke arahnya. Enak saja dia bilang akan membeliku. Melihat aku yang dengan berani menatapnya, tiba-tiba saja pria itu malah mendekatkan bibirnya padaku. Buggh! "Aku bukan barang yang bisa dibeli," pek
"Fel, ayo pulang," ajakku pada Felicia."Kita belum selesai berbicara," seru Davin, seakan tidak membiarkanku untuk pergi dari tempat itu. "Masalahku lebih rumit daripada masalahmu, dan ini terjadi semua karena dirimu," sahutku dengan kesal"Ada apa, Ana?" tanya Felicia. "Bapak sama Kakak Iparku ada di sini, mereka ingin bertemu denganku. Kamu mau pulang gak? kalau enggak, aku duluan." Aku berkata sambil berlalu dari tempat itu, tidak peduli apapun lagi. Aku harus segera menjelaskannya sebelum semakin panjang urusannya, dan semua rumit. Aku tidak menyangka jika liburanku bersama keluarga Mas Harun akan berakhir seperti ini. "Mari, Mbak, saya antar." Haris menawarkan diri.Aku menghentikan langkah dan menatap ke arah pria tersebut. Dia laki-laki yang sama yang waktu itu datang ke rumah Mas Harun membawa mobil dan mencariku. "Udah ikutin aja, Ana. Daripada kita naik taksi dan nungguin lagi malah lebih lama," usul Felicia.Aku menghela nafas dan berpikir sesaat, sepertinya perkataan
"Aku tidak mau menikah dengan pria itu, Pak," tolakku."Itu yang terbaik buatmu, Nduk. Terbaik buat kalian berdua," ucap Bapak. "Terbaik dari mana, Pak. Aku baru saja kuliah, masih lama lagi untuk wisuda dan laki-laki itu-""Laki-laki itu, dia adalah laki-laki yang baik," potong Mas Hamid."Laki-laki baik dari mana, Mas Hamid tidak pernah bertemu dengannya, baru bertemu kemarin tapi sudah mengatakan kalau dia itu pria yang baik. Dia itu hanyalah seorang content creator yang sehari-harinya memamerkan segala hal tentang kehidupannya. Bukankah kalian tidak suka aku melakukan hal itu, makanya di sini aku tak lagi melakukannya. Kemudian sekarang kalian menyuruhku menikah dengan pria itu." Panjang lebar aku bicara, hingga seperti kehabisan nafas.Bapak menghela nafas panjang."Kami tidak akan memilihkan calon laki-laki yang tidak baik untukmu, Nduk. Kamu lihat Mbak Mayang, bukankah dia juga menikah dengan laki-laki pilihan bapak. Dia hidup bahagia dan Bapak tidak salah memilih," tutur Bapa
"Mas, aku bisa bicara dengan Davin gak?" tanyaku pada Mas Haris setelah pria di seberang telpon sana menjawab salamku. "Ya ampun, Mbak. Kamu sama aku panggil Mas. Giliran sama calon suami panggil nama."Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Mas Haris. "Bisa gak, Mas?" Lagi, aku bertanya. "Bentar." Dari sini terlihat Mas Haris memberi kode pada seseorang yang ada di depannya, pasti Davin."Gak bisa, Mbak. Davinnya gak mau.""Kenapa?" Aku bertanya dengan alis bertautan. Mas Haris hanya menghendikkan bahunya saja. "Mas!" Kunaikkan nada bicaraku, kesal sekali aku dibuatnya. "Kakak dan calon Bapak mertua yang melarang kita berkomunikasi sebelum menikah resmi." Terdengar suara tanpa rupa. Suara si Davin, betapa menyebalkan sekali dia. Kenapa dia menolak berbicara denganku. Awas. "Aku akan kabur dari rumah kalau kamu tak mau berbicara denganku," seruku mengancamnya. "Haris, suruh panggil aku mas dulu baru aku mau bicara dengannya," perintah Davin pada temannya. Mas Haris
Kutatap tubuh lelaki yang memejamkan mata itu, apa dia hendak tidur dengan bertelanjang dada seperti itu. Apa tidak kedinginan, kurasa pendingin ruangan di kamar ini bekerja dengan maksimal sehingga menghasilkan suhu yang cukup dingin. Perlahan aku mendekat ke arah ranjang. "Hei, bolehkah kuganti lampu kamar dengan lampu yang lebih redup itu," tanyaku padanya. Aku yakin, Davin belum benar-benar tertidur. Kulihat ada lampu dengan hiasan di atas nakas, kupikir itu lampu tidur. "Lakukan apapun yang kamu mau, ini kamarmu juga," jawabnya tanpa membuka mata. Segera kuganti lampu kamar setelah mendapatkan ijin darinya. Aku memang terbiasa tidur dengan suasana remang-remang, sehingga tidak bisa jika tidur dengan lampu yang menyala dengan terang. Setelah mengganti lampu, aku ikut merebahkan diri di ranjang, di sisi lain yang cukup berjarak dengan pria itu. Aku memilih terlentang daripada memunggungi atau menghadap padanya. Dadaku berdebar-debar dan aku merasa tak nyaman. "Kenapa kamu pa
Aku tidak berani membuka mata meskipun pria itu sudah melepaskan tautan bibirnya, dadaku naik turun, nafasku terasa berat. "Mau lagi," bisiknya, membuatku seketika tersadar dan melepaskan cengkraman tanganku pada tangannya. "Ke-kenapa kamu lakukan itu padaku?" Aku bertanya dengan terbata. "Kamu menggemaskan kalau seperti itu," sahut Davin. "Lagipula apa aku harus bertanya saat ingin mencium istriku?"Aku mundur selangkah dan berbalik, kemana sekarang aku harus menyembunyikan diri. Aku malu setengah mati. Tanpa pikir panjang, aku segera berlalu keluar kamar, seperti pergi ke dapur adalah pilihan yang tepat. Pura-pura membuat sarapan untuk menghilangkan rasa malu. ***Kubuka semua pintu kitchen set yang ada di dapur, tak ada sedikit pun bahan makanan. Hanya ada perabotan untuk makan, bahkan untuk masak juga tidak apa. Apa manusia di sini tidak ada yang makan. Aku menghela nafas panjang."Nyari apa?" "Astaghfirullah ... bikin kaget saja," seruku tak suka. Aku benar-benar kaget saa
"Sudah lupakan saja. Lebih baik sarapan," ucap Davin sembari meminum air putih yang barusan aku tuang di gelas yang ada di depannya. Mas Haris menurut dan tidak bertanya lagi lebih jauh, aman. Aku bisa tenang. Kuharap, suamiku itu bukan tipe pria yang gampang bercerita urusan pribadi pada temannya, terutama urusan pribadi dengan pasangan. Meja makan ini berbentuk segi empat, tiap sisi hanya ada satu kursi, kami duduk masing-masing, aku duduk berhadapan dengan suamiku. "Dav, tawaran review paket honeymoon gimana? Orangnya minta kepastian." Mas Haris berkata di sela-sela suapannya. Davin menatapku. "Kenapa menatapku begitu?" Aku bertanya, pura-pura tak mengerti. Aku tahu, pria itu sedang meminta jawabanku, paket honeymoon tentu saja dengan pasangan. Tidak mungkin sendirian. "Kali ini aku harus bekerja denganmu, tidak bisa sendirian. Apalagi dengan Haris, aku pria normal," jawab Davin. "Ya udah aku terima, ya. Kalian udah sah ini, mau ngapain juga boleh. Ya kan, Mbak?" Mas Haris
Sesampainya di rumah, bukannya membantu suamiku membereskan belanjaan, aku malah mengikuti langkah Mas Haris yang pergi ke lantai atas."Mas, siapa bagian editing?" tanyaku sambil mengekor langkahnya. "Kenapa?" Mas Haris balik bertanya."Mau request beberapa bagian, minta dicut.""Nanti Davin yang bakalan memeriksa dan memberitahu mana saja yang memang kudu dipotong.""Aku saja, Mas.""Gak bisa, Mbak.""Ayolah ...." Aku mencoba membujuknya."Kalian obrolin berdua saja ya. Suamimu Davin, loh. Merengeklah padanya," ucap Mas Haris memutuskan obrolan kami.Aku berhenti mengikutinya dan menghela nafas panjang, harus dengannya. Mana mau dia memenuhi permintaanku. Dengan lesu, aku kembali ke bawah. Melihat suamiku yang pastinya membutuhkan bantuan. Di dapur, pria itu asyik membereskan belanjaan dengan kamera yang menyala. Tentu saja, semua aktifitasnya perlu diabadikan dan dijadikan cuan. "Hai, Sayang, sini bantuin," panggil Davin sembari tersenyum padaku. Aku menunjuk pada kameranya yan