Kepalaku rasanya hampir meledak saat membaca artikel yang mengatakan kalau aku berbuat mesum, citra baik yang aku bangun selama ini akan hancur begitu saja. Davin Mahendra, Konten kreator yang sukses, baik hati, tentu saja bertampang rupawan. Di era digital seperti ini, pekerjaan sebagai konten kreator cukup menjanjikan. Dari video yang diupload bisa menghasilkan cuan, endors berdatangan begitu follower banyak, dan tentu saja serasa menjadi bintang tanpa harus masuk ke stasiun televisi. Hal yang aku geluti sejak lima tahun yang lalu tidak boleh hancur begitu saja hanya karena salah paham dengan bocah ingusan itu. Nitizen negeri ini begitu mudah bergerak dan tersulut dengan berbagai macam hal yang tidak patut. Jika mereka membenci, maka bisa beramai-ramai memboikot dan bisa habis semua followerku. Awalnya aku tidak begitu memikirkan saat para followerku menyerang akun gadis itu. Ya, aku menyebutnya gadis, perempuan itu baru berusia dua puluh satu tahun. Kupikir semua akan berakhir s
Sejak kejadian orang mendatangiku dan mengajakku bersamanya siang itu, aku tidak berani keluar rumah sendirian. Aku memikirkan hal-hal yang buruk. Memikirkan aku diculik saat di jalanan, lalu dibawa menemui pria itu dan dipaksa menikah dengannya demi membenarkan klarifikasinya saat itu. Atau menodai kehormatanku saat aku menolak mengikuti skenarionya. Sepertinya aku kebanyakan nonton drama Waktuku lebih banyak kuhabiskan di rumah, aku berharap segalanya segera terlupakan dan aku akan terbebas dari lelaki bernama Davin yang mengaku-ngaku sebagai suamiku itu. Setelah klarifikasi pria itu, kolom komentar di akunku berisi permintaan maaf. Setelah itu, aku mensetting semua akun media sosialku dengan privat. Tak kubiarkan siapapun bisa melihatnya kecuali yang berteman saja. Selain itu aku juga tidak menambah jumlah teman kecuali aku mengenalnya. Aku juga tidak mengatakan apapun dan bercerita pada Mas Harun. Berharap saja di kampung tidak ada yang tahu berita viral yang ada di media sosi
"Jangan bermain menyentuhku," ancamku saat wajahnya berusaha mendekat padaku. Pria itu tersenyum dan mundur selangkah, kedua tangannya bersedekap, dengan tatapan mata masih ke arahku. "Memangnya kenapa kalau aku menyentuhmu? disentuh doang," sahutnya meremehkan. "Disentuh doang, katamu. Ibarat makanan yang hendak dibeli, mana yang kamu pilih, makanan yang udah bekas tangan orang atau yang tidak tersentuh sama sekali," jawabku beradu argument. "Tentu saja yang tidak pernah disentuh orang lain.""Begitulah aku, aku adalah sesuatu yang berharga bagi orang tuaku dan diriku sendiri, maka tidak boleh disentuh sembarangan orang. Karena semuanya berawal dari sentuhan.""Baiklah, aku akan membelimu," ucapnya sambil kembali mengunci tubuhku seperti tadi. Mataku membulat sempurna, menatap tajam ke arahnya. Enak saja dia bilang akan membeliku. Melihat aku yang dengan berani menatapnya, tiba-tiba saja pria itu malah mendekatkan bibirnya padaku. Buggh! "Aku bukan barang yang bisa dibeli," pek
"Fel, ayo pulang," ajakku pada Felicia."Kita belum selesai berbicara," seru Davin, seakan tidak membiarkanku untuk pergi dari tempat itu. "Masalahku lebih rumit daripada masalahmu, dan ini terjadi semua karena dirimu," sahutku dengan kesal"Ada apa, Ana?" tanya Felicia. "Bapak sama Kakak Iparku ada di sini, mereka ingin bertemu denganku. Kamu mau pulang gak? kalau enggak, aku duluan." Aku berkata sambil berlalu dari tempat itu, tidak peduli apapun lagi. Aku harus segera menjelaskannya sebelum semakin panjang urusannya, dan semua rumit. Aku tidak menyangka jika liburanku bersama keluarga Mas Harun akan berakhir seperti ini. "Mari, Mbak, saya antar." Haris menawarkan diri.Aku menghentikan langkah dan menatap ke arah pria tersebut. Dia laki-laki yang sama yang waktu itu datang ke rumah Mas Harun membawa mobil dan mencariku. "Udah ikutin aja, Ana. Daripada kita naik taksi dan nungguin lagi malah lebih lama," usul Felicia.Aku menghela nafas dan berpikir sesaat, sepertinya perkataan
"Aku tidak mau menikah dengan pria itu, Pak," tolakku."Itu yang terbaik buatmu, Nduk. Terbaik buat kalian berdua," ucap Bapak. "Terbaik dari mana, Pak. Aku baru saja kuliah, masih lama lagi untuk wisuda dan laki-laki itu-""Laki-laki itu, dia adalah laki-laki yang baik," potong Mas Hamid."Laki-laki baik dari mana, Mas Hamid tidak pernah bertemu dengannya, baru bertemu kemarin tapi sudah mengatakan kalau dia itu pria yang baik. Dia itu hanyalah seorang content creator yang sehari-harinya memamerkan segala hal tentang kehidupannya. Bukankah kalian tidak suka aku melakukan hal itu, makanya di sini aku tak lagi melakukannya. Kemudian sekarang kalian menyuruhku menikah dengan pria itu." Panjang lebar aku bicara, hingga seperti kehabisan nafas.Bapak menghela nafas panjang."Kami tidak akan memilihkan calon laki-laki yang tidak baik untukmu, Nduk. Kamu lihat Mbak Mayang, bukankah dia juga menikah dengan laki-laki pilihan bapak. Dia hidup bahagia dan Bapak tidak salah memilih," tutur Bapa
"Mas, aku bisa bicara dengan Davin gak?" tanyaku pada Mas Haris setelah pria di seberang telpon sana menjawab salamku. "Ya ampun, Mbak. Kamu sama aku panggil Mas. Giliran sama calon suami panggil nama."Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Mas Haris. "Bisa gak, Mas?" Lagi, aku bertanya. "Bentar." Dari sini terlihat Mas Haris memberi kode pada seseorang yang ada di depannya, pasti Davin."Gak bisa, Mbak. Davinnya gak mau.""Kenapa?" Aku bertanya dengan alis bertautan. Mas Haris hanya menghendikkan bahunya saja. "Mas!" Kunaikkan nada bicaraku, kesal sekali aku dibuatnya. "Kakak dan calon Bapak mertua yang melarang kita berkomunikasi sebelum menikah resmi." Terdengar suara tanpa rupa. Suara si Davin, betapa menyebalkan sekali dia. Kenapa dia menolak berbicara denganku. Awas. "Aku akan kabur dari rumah kalau kamu tak mau berbicara denganku," seruku mengancamnya. "Haris, suruh panggil aku mas dulu baru aku mau bicara dengannya," perintah Davin pada temannya. Mas Haris
Kutatap tubuh lelaki yang memejamkan mata itu, apa dia hendak tidur dengan bertelanjang dada seperti itu. Apa tidak kedinginan, kurasa pendingin ruangan di kamar ini bekerja dengan maksimal sehingga menghasilkan suhu yang cukup dingin. Perlahan aku mendekat ke arah ranjang. "Hei, bolehkah kuganti lampu kamar dengan lampu yang lebih redup itu," tanyaku padanya. Aku yakin, Davin belum benar-benar tertidur. Kulihat ada lampu dengan hiasan di atas nakas, kupikir itu lampu tidur. "Lakukan apapun yang kamu mau, ini kamarmu juga," jawabnya tanpa membuka mata. Segera kuganti lampu kamar setelah mendapatkan ijin darinya. Aku memang terbiasa tidur dengan suasana remang-remang, sehingga tidak bisa jika tidur dengan lampu yang menyala dengan terang. Setelah mengganti lampu, aku ikut merebahkan diri di ranjang, di sisi lain yang cukup berjarak dengan pria itu. Aku memilih terlentang daripada memunggungi atau menghadap padanya. Dadaku berdebar-debar dan aku merasa tak nyaman. "Kenapa kamu pa
Aku tidak berani membuka mata meskipun pria itu sudah melepaskan tautan bibirnya, dadaku naik turun, nafasku terasa berat. "Mau lagi," bisiknya, membuatku seketika tersadar dan melepaskan cengkraman tanganku pada tangannya. "Ke-kenapa kamu lakukan itu padaku?" Aku bertanya dengan terbata. "Kamu menggemaskan kalau seperti itu," sahut Davin. "Lagipula apa aku harus bertanya saat ingin mencium istriku?"Aku mundur selangkah dan berbalik, kemana sekarang aku harus menyembunyikan diri. Aku malu setengah mati. Tanpa pikir panjang, aku segera berlalu keluar kamar, seperti pergi ke dapur adalah pilihan yang tepat. Pura-pura membuat sarapan untuk menghilangkan rasa malu. ***Kubuka semua pintu kitchen set yang ada di dapur, tak ada sedikit pun bahan makanan. Hanya ada perabotan untuk makan, bahkan untuk masak juga tidak apa. Apa manusia di sini tidak ada yang makan. Aku menghela nafas panjang."Nyari apa?" "Astaghfirullah ... bikin kaget saja," seruku tak suka. Aku benar-benar kaget saa