"Jawab, Ana." Lagi Mas Ilyas meminta jawaban dariku."Sampai kapan kamu akan membenci Papa? Jika seperti ini, kamu sama saja seperti Arka yang membencimu dari dulu hingga sekarang," ucapku sambil mengengam tangannya. Pria itu menghela nafas panjang. "Sampai kapanpun, anak tetaplah anak meskipun kita tak suka menjadi anaknya. Ada darah orang tua yang mengalir di tubuh kita. Berdamailah dengan semua yang terjadi, ya."Mas Ilyas masih tak menanggapi perkataanku. Kali ini aku yang menghela nafas berat. "Ya sudah kalau gak mau kita jual lagi, kita kembalikan uangnya pada Papa." Aku menyerah pada akhirnya. "Kamu menginginkan rumah itu?" tanya Mas Ilyas.Aku mengangguk, tidak hanya ingin rumahnya tapi juga ingin menghargai keinginan Papa. Aku berjanji akan membuat mereka akur dan dekat sebagai ayah dan anak meskipun jarak memisahkan mereka. "Ya sudah, ayo pindah ke sana," ucapnya. "Benarkah?" Aku bertanya dengan mata berbinar-binar."He'em."***Akhirnya menjelang siang, kami pergi ke
[Mas, aku minta maaf. Hubungan kita tidak bisa berlanjut. Hanya sampai di sini saja]Pesan dari kontak bernama gadisku, masuk ke aplikasi pesan singkat yang biasa aku gunakan dengannya untuk bertukar pesan dengannya.Namanya Dara, dia wanita tercantik di desa ini. Kembang desa yang banyak dipuja oleh jejaka, namun memilih untuk menjalin cinta denganku, pria biasa dan sederhana. Aku begitu bahagia saat dia menerima ungkapan perasaanku. Diantar para kumbang yang datang padanya, dia labuhkan hatinya padaku. "Tapi aku masih ingin melanjutkan pendidikanku dulu, Mas. Jika kamu serius denganku, kamu harus menunggu," ucapnya malam itu saat kuutarakan niat baikku untuk meminangnya. Aku tak ingin berlama-lama berpacaran, jika sudah saling cinta lebih baik langsung menikah saja. Toh aku juga memiliki usaha, bukan seorang pengangguran. "Berapa lama?" Aku bertanya. "Kurang lebih empat tahun hingga wisuda.""Lama juga ya," gumamku. "Mas, kalau aku pintar dan berilmu, aku bisa membantu memajuka
Oh, jadi pria ini calon suaminya Dara. Siapa dia, sejak kapan mereka berkenalan. Dibanding dengannya yang ke sini membawa mobil, memiliki ponsel yang bagus, dan penampilan yang klimis tentu saja aku tidak ada apa-apanya. Dan akupun juga yakin, dia bukan hanya lulusan SMA seperti aku. "Sejak kapan kamu kenal dia, Ra?" Aku bertanya pada Dara tanpa mempedulikan pria bernama Daffa itu. Diam, gadis itu lagi-lagi tak menjawab pertanyaanku. "Kamu mau menyelesaikan urusan di antara kita kan, maka jawab semua pertanyaanku, Dara," ucapku tertahan. Aku benar-benar mulai emosi memikirkan apa yang terjadi. Apa mereka sudah berkenalan sejak lama, hal yang mustahil jika baru saja berkenalan lalu tiba-tiba memutuskan untuk melanjutkan ke pernikahan. "Kami berkenalan sejak dua tahun lalu, di kampus. Aku kakak tingkatnya," sahut Daffa. "Aku sudah lulus satu tahun yang lalu dan memiliki pekerjaan, lalu setelah Dara lulus tahun ini, kami akan menikah," sambung Daffa kembali menjelaskan. Jadi selama
"Kamu tidak sanggup kan mengembalikannya," ejekku. "Kamu dan Dara sama saja, sama-sama hanya bisa menikmati hasil jerih payah orang lain. Kalian memang serasi.""Kamu sudah tahu apa alasanku memutuskan hubungan denganmu, kan, Mas. Sekarang pulanglah, jangan membuat keributan di sini." Dara mengusirku. "Datanglah ke sini saat aku menikah, undangan akan sampai padamu," sambung Dara lagi. "Baiklah, terimakasih sudah menghianatiku. Aku anggap, apa yang aku lakukan padamu adalah sedekah untuk orang yang tak punya, termasuk tak punya rasa malu. Biar Yang Maha Kuasa yang akan memberikan balasannya padaku."Aku segera berlalu dari rumah itu, rumah yang menjadi tempat lahirnya seorang yang aku pikirkan adalah bidadari surga. Namun nyatanya ....***"Darimana, Le. Kok mukanya ditekuk gitu pulang ke rumah," tanya Ibu yang sedang duduk menonton acara televisi kesukaannya. Kami hanya tinggal berdua saja, Bapak sudah meninggal sejak aku lulus SMA. Lalu setelah itu, akulah yang meneruskan usahany
Aku mulai fokus dengan diriku sendiri. Seperti yang diinginkan oleh Ibu, aku mulai berusaha memajukan usahaku. Bagian belakang bangunan perlahan dilebarkan, suatu saat nanti biar menjadi toko dimana pembelinya bisa mengambil apa yang dibutuhkan sendiri seperti impian Bapak. Mobil bak terbuka sudah terparkir di depan rumah, second tak masalah yang penting kondisi masih bagus. Dalam hitungan hari, aku sudah mahir mengendarainya. Aku cukup mengenal keadaan kota, karena dulu pernah sekolah di sana selama tiga tahun saat menempuh pendidikan SMK. Mencari tempat yang dikatakan oleh Ibu, bukalah hal yang sulit. Aku fokus dengan usaha ini, tak lagi memikirkan Dara yang entah bagaimana kabarnya. Aku tak peduli, meskipun jarak rumah kami tidaklah terlalu jauh. Hanya beda RT saja. "Udah dapat undangan belum, Tam," tanya Mbak Dona yang hendak berbelanja. "Undangan apa, Mbak?""Undangan dari Dara. Kamu gak dengar dia mau nikah, ternyata kalian dah putus ya, Dara nikahnya sama orang lain." "Be
KUBUAT KAU MENYESAL 5Kehebohan yang dibuat Santoso diacara pernikahan Dara cukup menjadi topik obrolan emak-emak di tukang sayur beberapa waktu lamanya. Ibu sendiri sering kali mendengar dan bercerita padaku, tapi aku cukup tahu saja tak berniat sama sekali untuk menggapai. Buat apa, semua sudah terjadi. Aku harus melupakan dan merelakan semuanya.Setelah tak lagi membiayai kuliah Dara, semua pendapat usahaku, kuputar lagi untuk melengkapi isi di dalamnya dan juga menambah jumlahnya. Aku juga berniat untuk menerima pesan antar. Motor warisan Bapak, masih sangat bagus untuk dijadikan alat transportasi antar barang. Sejak segalanya menjadi mudah, orang juga mulai malas sekedar keluar rumah untuk berbelanja. Apalagi dengan jarak cukup jauh. Pelanggan cukup mengirim pesan padaku dan aku akan mengantarnya. Jika hal itu berjalan lancar, aku bisa mempekerjakan satu orang untuk membantuku melakukannya. Ibu tidak bisa full time di toko ini, hanya kadang saja datang untuk mengantikanku seben
KUBUAT KAU MENYESAL 6Kuhirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk tidak tersulut emosi dengan perbuatan Dara barusan. Sudah mengebrak meja, sekarang berteriak lantang di depanku. Dia ini siapa, berbuat seenaknya saja. Aku terus diam selama ini hanya karena tak mau membuat keributan. Malu jika jadi omongan orang. "Apa maksudmu, Dara?" tanyaku begitu aku sudah menguasai diri. "Gak usah pura-pura nggak tahu, lihat ini!" Dara berseru sambil memperlihatkan layar smartphone miliknya padaku. Benda itu dia letakkan di meja, di depanku. Sebuah video menayangkan resepsi pernikahan. Kedua mempelai yang begitu aku kenal duduk di pelaminan meskipun wajah mereka diblur. Di dalam gambar bergerak itu, ada tulisan 'Mau uangnya tak mau orangnya. Wanita ini sudah dibiayai pacarnya hingga lulus pegunungan tinggi, tapi malah selingkuh dan menikah dengan orang lain'.Jelas terlihat olehku, video tersebut ditonton oleh ribuan orang, banyak yang share bahkan komentar. "Puas kamu mempermalukan aku dan membua
"Buk, apa aku harus sekolah lagi, kuliah gitu untuk bisa dipandang oleh orang-orang? Dianggap sukses?" tanyaku pada ibu.Sejak putus dengan Dara, kini aku lebih banyak berdiskusi dengan ibu sambil menemaninya menonton sinetron kesukaannya. "Kamu mau kuliah agar dihormati orang-orang?" Ibu balik bertanya. "Entahlah, aku merasa tidak jadi apa-apa kalau hanya seperti ini." Aku berkata sambil menghela nafas. Sepertinya aku mulai termakan oleh omongan orang, tentang Dara yang memilih Daffa karena pria itu memiliki pekerjaan di kantoran. "Kalau mau sekolah tinggi untuk menuntut ilmu, ibu sangat setuju. Tapi kalau hanya untuk membungkam mulut orang, itu tak perlu kamu lakukan, Nak. Orang hanya akan terus mengatakan apa yang mereka ingin katakan. Lakukan apapun untuk diri sendiri, bukan karena omongan orang. "Jika kamu merasa butuh untuk sekolah lagi, ibu dukung-dukung saja. Kamu bisa bayarin kuliah orang lain, pasti juga bisa bayarin kuliah sendiri, jika mau.""Aku ditolak Dara karena d