KUBUAT KAU MENYESAL 5Kehebohan yang dibuat Santoso diacara pernikahan Dara cukup menjadi topik obrolan emak-emak di tukang sayur beberapa waktu lamanya. Ibu sendiri sering kali mendengar dan bercerita padaku, tapi aku cukup tahu saja tak berniat sama sekali untuk menggapai. Buat apa, semua sudah terjadi. Aku harus melupakan dan merelakan semuanya.Setelah tak lagi membiayai kuliah Dara, semua pendapat usahaku, kuputar lagi untuk melengkapi isi di dalamnya dan juga menambah jumlahnya. Aku juga berniat untuk menerima pesan antar. Motor warisan Bapak, masih sangat bagus untuk dijadikan alat transportasi antar barang. Sejak segalanya menjadi mudah, orang juga mulai malas sekedar keluar rumah untuk berbelanja. Apalagi dengan jarak cukup jauh. Pelanggan cukup mengirim pesan padaku dan aku akan mengantarnya. Jika hal itu berjalan lancar, aku bisa mempekerjakan satu orang untuk membantuku melakukannya. Ibu tidak bisa full time di toko ini, hanya kadang saja datang untuk mengantikanku seben
KUBUAT KAU MENYESAL 6Kuhirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk tidak tersulut emosi dengan perbuatan Dara barusan. Sudah mengebrak meja, sekarang berteriak lantang di depanku. Dia ini siapa, berbuat seenaknya saja. Aku terus diam selama ini hanya karena tak mau membuat keributan. Malu jika jadi omongan orang. "Apa maksudmu, Dara?" tanyaku begitu aku sudah menguasai diri. "Gak usah pura-pura nggak tahu, lihat ini!" Dara berseru sambil memperlihatkan layar smartphone miliknya padaku. Benda itu dia letakkan di meja, di depanku. Sebuah video menayangkan resepsi pernikahan. Kedua mempelai yang begitu aku kenal duduk di pelaminan meskipun wajah mereka diblur. Di dalam gambar bergerak itu, ada tulisan 'Mau uangnya tak mau orangnya. Wanita ini sudah dibiayai pacarnya hingga lulus pegunungan tinggi, tapi malah selingkuh dan menikah dengan orang lain'.Jelas terlihat olehku, video tersebut ditonton oleh ribuan orang, banyak yang share bahkan komentar. "Puas kamu mempermalukan aku dan membua
"Buk, apa aku harus sekolah lagi, kuliah gitu untuk bisa dipandang oleh orang-orang? Dianggap sukses?" tanyaku pada ibu.Sejak putus dengan Dara, kini aku lebih banyak berdiskusi dengan ibu sambil menemaninya menonton sinetron kesukaannya. "Kamu mau kuliah agar dihormati orang-orang?" Ibu balik bertanya. "Entahlah, aku merasa tidak jadi apa-apa kalau hanya seperti ini." Aku berkata sambil menghela nafas. Sepertinya aku mulai termakan oleh omongan orang, tentang Dara yang memilih Daffa karena pria itu memiliki pekerjaan di kantoran. "Kalau mau sekolah tinggi untuk menuntut ilmu, ibu sangat setuju. Tapi kalau hanya untuk membungkam mulut orang, itu tak perlu kamu lakukan, Nak. Orang hanya akan terus mengatakan apa yang mereka ingin katakan. Lakukan apapun untuk diri sendiri, bukan karena omongan orang. "Jika kamu merasa butuh untuk sekolah lagi, ibu dukung-dukung saja. Kamu bisa bayarin kuliah orang lain, pasti juga bisa bayarin kuliah sendiri, jika mau.""Aku ditolak Dara karena d
"Maaf, Mbak saya tidak bisa. Saya bukan artis atau apapun itu yang perlu melakukan klarifikasi dan semacamnya. Ini sebenarnya hanyalah masalah pribadi, cuma karena ada yang membuatnya menjadi konten jadilah viral seperti ini."Santoso menatapku dengan padangan memohon, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Aku tahu maksudnya, dia memintaku menerima ajakan itu. "Ayolah, Mas. Kamu perlu klarifikasi juga untuk membersihkan nama baik," bujuk wanita di seberang telepon sana."Biar orang lain saja yang menilai, Mbak. Maaf yaa saya matikan panggilan teleponnya. Saya sedang bekerja," ucapku sesopan mungkin. Panggilan telepon segera kuputuskan, wajah pria di depanku tampak tertekuk, dia kecewa dengan penolakanku barusan."Kenapa sih gak mau, kapan lagi bisa jalan-jalan ke Jakarta," seru Santoso tak suka. "Nanti kalau aku dah jadi pengusaha," jawabku sekenanya. "Kapan?" sentaknya. Kenapa jadi dia yang marah-marah padaku, seperti seorang manager yang marah pada artisnya karena sang art
Dengan tergesa-gesa aku berlari menaiki tangga, menuju ke lantai tiga gedung fakultas Bisnis dan Ekonomi. Hari ini mata kuliah Ekonomi Mikro dan aku terlambat datang di hari pertamaku. Gedung dengan tinggi empat lantai ini hanya ada tangga saja, tak ada tangga berjalan apalagi lift. Sampai di lantai tiga, setengah berlari aku mencari kelas MB1107A. Bruggh! Tubuhku bertubrukan dengan seorang wanita karena aku berjalan sambil melihat angka yang tertera di setiap pintu ruangan. "Maaf, Bu," ucapku sambil tersenyum, aku lalu membantu memungut buku-bukunya yang terlempar. Aku yakin dia seorang dosen, mungkin dosen muda, atau mungkin mahasiswa terlambat kuliah seperti diriku tapi tidak tahu angkatan berapa. Mahasiswa yang seangkatan denganku adalah anak-anak muda yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Mereka masih begitu muda dan remaja, jauh berbeda denganku. Berada di antara mereka, aku seperti orang yang salah masuk tempat. Harusnya aku ambil kelas karyawan, bukan kelas reguler d
Mobil kurem mendadak saking kagetnya."Maaf, Bu, becanda.""Buk lagi, Buk terus. Kamu pikir bercandamu lucu!"Kenapa wanita ini semarah ini, bukannya perkataanku sebelumnya adalah sebuah pujian. Menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi. Jauh berbeda denganku yang kuliah di usia tua. Aku saja tak marah dia mengatakan aku mahasiswa tua. "Maaf, Aulia. Jika bercandaku menyakitimu. Tapi menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi, aku sedang memujimu," terangku. Berharap dengan menjelaskannya, dia mengerti dan tak marah lagi. Wanita itu menghela nafas panjang. "Iya memang sebuah prestasi, tapi membuatku sulit mendapatkan jodoh, tidak ada pria sebaya yang percaya diri saat di dekatku. Yang percaya diri mereka yang sudah berusia matang dan mapan, dan mereka lelaki orang." Aulia berbicara tanpa henti, seakan menumpahkan perasaan yang selama ini dipendam. "Oh, kamu belom menikah?" Kali ini aku akan berbicara kamu dan aku saja, daripada salah lagi memanggilnya Ibu. "Apa aku
Sepanjang aku mengisi acara, Dara terus menatapku. Membuatku tak nyaman saja. Untung sekarang aku sudah terbiasa bicara di depan orang. Saat kuliah, sering kali memang diharuskan untuk presentasi. Selesai acara, aku langsung bertemu dengan Santoso, pria itu begitu excited dengan hasil livenya. Banyak saweran, katanya. Asem emang tuh orang, dikira aku ini biduan. Mana duitnya diambil dia sendiri. "Aku boleh ikut kamu ke kampus, gak?" tanya Santoso."Mau ngapain? Bikin konten tentang kegiatanku sebagai mahasiswa. Enggak ada! Aku bukan ladang duitmu!" Aku menolak permintaan temanku itu. Dia teman yang paling nyebelin tapi juga paling ngertiin. Makanya aku tak pernah benar-benar bisa marah padanya. "Keren Mas Tama, dah mirip pengusaha muda. Calon pengusaha yaa," sapa Pak lurah sambil menepuk bahuku. Memutuskan perdebatkanku dengan Santoso. Apa ini lurah yang sama, yang masih ada ikatan keluarga dengan Daffa. Aku kurang tahu karena memang tak begitu memperhatikan siapa-siapa saja oran
Detik-detik menunggu jawaban dari Bu Anggun seperti menonton drama yang penuh dengan adegan menegangkan, di mana ditambahi efek slow motion yang membuat waktu terasa makin lama dan bikin gregetan.Wanita yang duduk di seberang meja itu terdengar berdehem sebelum pada akhirnya membuka suara. "Sebelumnya terima kasih karena Mas Tama berniat untuk lebih kenal dengan saya. Namun demikian, saya harus minta maaf karena sebenarnya saya sudah bertunangan. Calon suami saya merupakan tetangga saya. Kami akan segera menikah setelah saya selesai mengabdikan diri di sini, mungkin sekitar beberapa bulan lagi," ungkapannya panjang lebar. Aku menarik nafas lega, sepertinya baru kali ini ada orang yang ditolak tapi begitu merasa lega dan bahagia. "Oh sudah punya calon suami," gumam Santoso."Maaf ya, Mas Tama," ucap Bu Anggun saat aku tak meresponnya. "Nggak apa-apa, Bu," jawabanku sambil tersenyum. Tidak tahu saja jika ada kelegaan dalam hatiku. Tanpa banyak bicara lagi, aku berpamitan pada wani
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV AuliaSuasana dan tempat berbeda begitu terasa saat kami bangun tidur pagi ini. Sudah dua hari aku dan Mas Tama tinggal di rumah orang tuaku. Aku mengajak Mas Tama menginap di rumah orang tuaku, dengan alasan aku kangen pada mereka. Sejak menikah, kami hanya ke sini tanpa pernah menginap. Ibu mertuaku juga mengijinkannya, dan mengatakan agar aku dan Mas Tama tidak perlu khawatir padanya. Ibu masih kuat dan bisa melakukan apapun sendirian, bukan seorang manula yang tidak biasa apa-apa, begitu kata beliau saat kami akan meminta orang untuk menemaninya. Lagi pula banyak tetangga dekat, jadi tak perlu khawatir. Untuk beberapa saat ini, aku ingin menjauhkan Dara dari Mas Tama. Suamiku juga tidak pernah datang ke Berdikari Mart setelah kejadian Dara diceraikan suaminya. Urusan di sana, lebih banyak diserahkan pada Aldo. Aku dengar, perceraian Dara juga belum resmi. Baru secara agama yang diucapkan saat ada di Berdikari Mart. "Lia, itu ada Alvi yang mau ketemu kamu," ucap Ibu padaku y
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t