Mobil kurem mendadak saking kagetnya."Maaf, Bu, becanda.""Buk lagi, Buk terus. Kamu pikir bercandamu lucu!"Kenapa wanita ini semarah ini, bukannya perkataanku sebelumnya adalah sebuah pujian. Menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi. Jauh berbeda denganku yang kuliah di usia tua. Aku saja tak marah dia mengatakan aku mahasiswa tua. "Maaf, Aulia. Jika bercandaku menyakitimu. Tapi menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi, aku sedang memujimu," terangku. Berharap dengan menjelaskannya, dia mengerti dan tak marah lagi. Wanita itu menghela nafas panjang. "Iya memang sebuah prestasi, tapi membuatku sulit mendapatkan jodoh, tidak ada pria sebaya yang percaya diri saat di dekatku. Yang percaya diri mereka yang sudah berusia matang dan mapan, dan mereka lelaki orang." Aulia berbicara tanpa henti, seakan menumpahkan perasaan yang selama ini dipendam. "Oh, kamu belom menikah?" Kali ini aku akan berbicara kamu dan aku saja, daripada salah lagi memanggilnya Ibu. "Apa aku
Sepanjang aku mengisi acara, Dara terus menatapku. Membuatku tak nyaman saja. Untung sekarang aku sudah terbiasa bicara di depan orang. Saat kuliah, sering kali memang diharuskan untuk presentasi. Selesai acara, aku langsung bertemu dengan Santoso, pria itu begitu excited dengan hasil livenya. Banyak saweran, katanya. Asem emang tuh orang, dikira aku ini biduan. Mana duitnya diambil dia sendiri. "Aku boleh ikut kamu ke kampus, gak?" tanya Santoso."Mau ngapain? Bikin konten tentang kegiatanku sebagai mahasiswa. Enggak ada! Aku bukan ladang duitmu!" Aku menolak permintaan temanku itu. Dia teman yang paling nyebelin tapi juga paling ngertiin. Makanya aku tak pernah benar-benar bisa marah padanya. "Keren Mas Tama, dah mirip pengusaha muda. Calon pengusaha yaa," sapa Pak lurah sambil menepuk bahuku. Memutuskan perdebatkanku dengan Santoso. Apa ini lurah yang sama, yang masih ada ikatan keluarga dengan Daffa. Aku kurang tahu karena memang tak begitu memperhatikan siapa-siapa saja oran
Detik-detik menunggu jawaban dari Bu Anggun seperti menonton drama yang penuh dengan adegan menegangkan, di mana ditambahi efek slow motion yang membuat waktu terasa makin lama dan bikin gregetan.Wanita yang duduk di seberang meja itu terdengar berdehem sebelum pada akhirnya membuka suara. "Sebelumnya terima kasih karena Mas Tama berniat untuk lebih kenal dengan saya. Namun demikian, saya harus minta maaf karena sebenarnya saya sudah bertunangan. Calon suami saya merupakan tetangga saya. Kami akan segera menikah setelah saya selesai mengabdikan diri di sini, mungkin sekitar beberapa bulan lagi," ungkapannya panjang lebar. Aku menarik nafas lega, sepertinya baru kali ini ada orang yang ditolak tapi begitu merasa lega dan bahagia. "Oh sudah punya calon suami," gumam Santoso."Maaf ya, Mas Tama," ucap Bu Anggun saat aku tak meresponnya. "Nggak apa-apa, Bu," jawabanku sambil tersenyum. Tidak tahu saja jika ada kelegaan dalam hatiku. Tanpa banyak bicara lagi, aku berpamitan pada wani
"Selamat datang," sapa Aulia sembari berdiri. "Ini teman saya, Tama," ucap Santoso memperkenalkanku. "Saya sudah mengenalnya," sahut Aulia. "Kenal di konten saya, kan. Maksudnya saya kenalkan secara langsung," terang Santoso. "Tidak, saya sudah sering bertemu dengannya," ujar Aulia. "Dimana?" Santoso bertanya dengan penasaran. "Dia dosenku." Aku menyela obrolan mereka. Santoso menatapku tak percaya. "Bener, San," ucapku memastikan."Bisa aku bicara dengan dia saja," pinta Aulia pasa Santoso. Pria itu langsung menatap padaku, aku hanya membalasnya dengan menghentikan bahu. "Aku ke sini cuma jadi tukang ojek?" Santoso bertanya sambil menatapku dan Aulia berganti. "Siapa suruh mau," sahut sahutku sekenanya. Santoso membuang nafas kasar, lalu berlalu meninggalkan kami. Berpindah tempat ke meja lain. Aku lantas duduk setelah kepergian temanku itu. "Aku di sini sebagai wanita," ucap Aulia membuka suara. "Memangnya selama ini dia, pria?" Aku bertanya dalam hati"Kamu tentu suda
"Wah, bener. Masih muda dan cantik. Dosen, Le?" Ada binar bahagia di wajahnya yang tidak lagi muda. Aku menganggukkan kepala. "Ibu setuju?""Yo mesti setuju lah. Istrimu seorang dosen, biar bisa membungkam mulut orang-orang yang suka membicarakan kamu di belakang Ibu. Dulu kamu ditolak Dara mereka bilang pantas saja karena kamu tak punya apa-apa gak kerja kantoran seperti suaminya si Dara, padahal siapa yang membuat Dara bisa kuliah. "Saat kamu sudah mulai sukses, masih ada aja yang ngomongin, percuma sukses kalau gak laku. Gak punya istri, siapa yang akan mewarisi harta bendanya. Mangkel, kesal, hati Ibu ini, Le. Cuma Ibu tahan saja, cukup berdoa," turut Ibu panjang lebar. Aku menarik nafas dalam-dalam, Ibu punya anak satu tapi sering kali membuatnya jadi bahan pembicaraan orang yang tidak suka dengan kami. "Kapan kita ke rumahnya, langsung dilamar saja. Jangan kelamaan." "Buk, sabar tho. Lamaran harus dibicarakan dua belah pihak, mana mungkin ujug-ujug kita datang ke rumahnya t
POV DaraKabar pernikahannya akhirnya sampai juga di telingaku. Setelah bertahun-tahun hubungannya kandas denganku dan dia tak juga menikah, aku pikir dis tidak bisa move on dariku. Sempat terpikirkan olehku, untuk mengakhiri hubunganku dengan mas Daffa dan kembali pada Mas Tama. Mas Tama adalah pria yang baik, dia anak satu-satunya dari seorang janda yang bisa dibilang memiliki ekonomi yang cukup mapan. Mereka memiliki usaha, beberapa petak sawah dan juga kebun luas di belakang rumah mereka. Ibunya juga sangat baik.Sebagai anak tunggal, aku pikir jika bisa menikah dengannya maka tidak akan ada drama pertengkaran antara ipar, dan juga ibunya yang baik itu tidak akan membuat drama dengan menantunya. Hal itulah yang membuatku memilih dia saat begitu banyak pria yang menginginkanku kala itu. Saking baiknya Mas Tama, dia mau membiayai kuliahku meskipun kami belum menikah. Awal-awal kuliah aku sudah berjanji pada diriku sendiri jika kelak sudah wisuda, akan kuabdikan diriku pada pria it
Suasana di depan ruangan Aulia tampak cukup lengang, hanya ada aku dan tiga orang mahasiswa yang sedang menunggu giliran. Kami sedang mengantri untuk bimbingan. Seperti yang dikatakan oleh Aldo waktu itu, mendoakanku agar Aulia yang menjadi dosen pembimbingku saat skripsi, maka omongan itu benar-benar menjadi kenyataan sekarang.Pada saat menerima pengumuman dosen pembimbing, nama Aulia yang terpampang menjadi dosen pembimbingku. Ah, bisa-bisanya ini terjadi. Harusnya aku jauh-jauh hari mengumumkan hubunganku dengan dia, jadi tidak mendapatkan namanya sebagai dosen. "Bagaimana malam pertamanya," Bisik bagus. Masih penasaran saja dia dengan malam pertamaku. Padahal malam itu tidak terjadi apa-apa karena Aulia dalam keadaan berhalangan. Hal yang tiba-tiba saja terjadi, menurut perkataan Aulia. "Mau tau aja, makanya sana cepetan menikah," sahutku sekenanya. "Bentar lagi tunggu wisuda," jawab bagus."Pak Adhitama, silakan masuk ditunggu sama istrinya," seloroh Silmi, mahasiswi yang ba
"Bagiamana dengan wanita itu?" tanya Aulia. Kupikir dia akan membahas ciuman tadi di kampus ternyata yang dia malah membahas Dara, mantanku."Kenapa memangnya dengan dia?" Aku balik bertanya. "Kenapa kamu bilang, Mas. Dia bakalan merusak kebahagiaan kita. Aku tak mau ada dia di antara kita. Bahkan bayangan dia pun aku tak ingin melihatnya."Apa Aulia begitu takut dengan keberadaan mantanku, hingga sangat tak suka dengan Dara bahkan bayangannya. Apa wajar wanita pintar seperti dia berpikir seperti itu. Ah, perasaan dan kecerdasan adalah yang berbeda, mungkin. "Dia tidak akan berada diantara kita, Dek. Kau tahu, aku sudah tidak ada rasa padanya sama sekali. Hanya ada kamu di hatiku, rasaku hanya untukmu." Wanita itu membuang muka, terlihat pipinya yang merona. Jauh berbeda dengan tadi di kampus yang galaknya luar biasa. Sepertinya aku akan mengajukan pergantian dosen pembimbing. Ini nampak tidak nyaman, lagi pula khawatir ada anggapan aku di istimewakan. "Ibu minta sesuatu sebelum