POV DaraKutekan rasa malu dengan mendatangi toko Mas Tama sampai dua kali. Bahkan aku harus menjual air mata pada ibunya. Kuabaikan semuanya demi kelangsungan hidupku, daripada aku tak memiliki uang sama sekali, bahkan untuk sekedar membeli sabun cuci muka aku tak memilikinya. Setelah kulayangkan tanganku di wajah Mas Daffa, pria itu tak lagi memberiku uang sama sekali. Lalu saat ku adukan pada Ibu, wanita itu malah semakin marah padaku dan tak mau juga memberikan uang padaku. Aku sudah sangat tua untuk meminta uang pada orang tua, begitu yang dia katakan. Ibu adalah wanita yang sangat perhitungan dengan uang, dia tak rela jika mengeluarkan banyak uang untuk kami, anak-anaknya. Bahkan seringkali Ibu mengungkit-ungkit apa yang sudah diberikan kepada kami, biaya sekolah, makan dan lain sebagainya. Wanita itu lebih senang jika uangnya digunakan untuk membeli sesuatu yang berharga seperti tanah, dan hewan ternak, atau untuk merenovasi rumah.Bahkan pernah suatu ketika ibu memintaku unt
Hari ini adalah hari wisudaku, dua orang bidadariku akan menemaniku menghadirinya. Salah satunya baru saja kukenal, Aulia istriku, dan yang satu lagi bidadari yang sudah membersamaiku sejak aku masih dalam perutnya, Ibu. Wajah keduanya tampak bahagia dan berseri-seri hal itu juga membuatku ikut berbunga-bunga. Gedung megah di kota kami menjadi tempat diadakan acara wisudaku diantara mahasiswa angkatan, akulah yang paling tua namun di situlah yang membuatku istimewa, menurutku sendiri. Aku lulus dengan IPK yang memuaskan dan dengan prestasi yang membanggakan. Langsung menerapkan ilmu yang aku dapat di lapangan. Tidak salah tujuanku untuk kuliah, membangun relasi dan mencari ilmu untuk memajukan usahaku, bukan untuk gaya-gayaan apalagi membalas dendam pada wanita yang sudah mengkhianatiku. "Ibu bangga padamu," ucap Ibu saat kami foto bersama di foto booth. Tempat dimana kami mengabaikan momen istimewa ini. Ini moment ke dua aku merasa sangat tampan, saat aku duduk di kursi akad dan
"Barang kadaluwarsa dikemanakan? Kok bisa segini banyak sih setiap bulannya. Harusnya kalau langsung dikembalikan jauh-jauh hari atau dibuat diskon kan gak bikin kita rugi. Ini kan makanan konsumsi yang langsung habis sekali makan, masih bisa dimakan jika tanggal kadaluwarsa masih lama. Taruhlah kurang sebulan dua bulan, masih akan ada yang mau membeli. "Buat brosur dan bagikan pada pelanggan yang datang ke toko, atau bikin produk bazar di dekat kasir. Biasanya kita lakukan itu, kan. Apa kamu lupa dengan semuanya?" Aku berbicara panjang lebar sambil membolak-balik setumpuk kertas yang diklip. Berisi nama-nama produk yang kadaluarsa, dengan nilai fantastis selama beberapa bulan ini dikumpulkan."Kamu tahu, kan, aku sibuk skripsi. Gak ngurusi semua ini, hanya percaya saja pada temanmu itu," jawab Aldo beralasan. Dari kami bertiga, dia memang yang harusnya paling bertanggungjawab dengan segalanya di toko itu. Aku menghela nafas panjang, lagi-lagi Aldo menyebut Dara sebagai kenalanku.
Aku masih belum berniat untuk turun setelah para karyawan turun. Memilih untuk di sini sebentar lagi."Aldo, kamu kenal semua karyawan di sini, maksudku tempat tinggalnya." Aku bertanya padanya sebelum memutuskan turun dan pulang. "Enggak, kenapa?""Pengen tahu saja, siapa tahu bisa jadi petunjuk kenapa barang-barang di gudang bisa berkurang. Kamu tahu kan maksudku.""Kamu mencurigai para karyawan membawa pulang?""Bisa saja, siapa yang tidak tergiur melihat barang bertumpuk-tumpuk seperti itu, ditambah lagi kamu abai selama beberapa bulan ini. Mereka pikir semua akan baik-baik saja. Lalu tentang produk yang sudah lewat masa berlaku, bagaimana itu juga akal-akalan saja, tidak mungkin orang tidak memeriksanya sama sekali. Ini adalah hal dasar yang harus dikuasai oleh pekerja yang berhubungan dengan barang yang memiliki masa berlaku. Lalu ....""Siapa yang kamu curigai," potong Aldo."Siapapun bisa jadi tersangka," jawabkan sembari menghela nafas panjang. Mau tak mau otakku mencurigai
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be