"Maaf, Mbak saya tidak bisa. Saya bukan artis atau apapun itu yang perlu melakukan klarifikasi dan semacamnya. Ini sebenarnya hanyalah masalah pribadi, cuma karena ada yang membuatnya menjadi konten jadilah viral seperti ini."Santoso menatapku dengan padangan memohon, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Aku tahu maksudnya, dia memintaku menerima ajakan itu. "Ayolah, Mas. Kamu perlu klarifikasi juga untuk membersihkan nama baik," bujuk wanita di seberang telepon sana."Biar orang lain saja yang menilai, Mbak. Maaf yaa saya matikan panggilan teleponnya. Saya sedang bekerja," ucapku sesopan mungkin. Panggilan telepon segera kuputuskan, wajah pria di depanku tampak tertekuk, dia kecewa dengan penolakanku barusan."Kenapa sih gak mau, kapan lagi bisa jalan-jalan ke Jakarta," seru Santoso tak suka. "Nanti kalau aku dah jadi pengusaha," jawabku sekenanya. "Kapan?" sentaknya. Kenapa jadi dia yang marah-marah padaku, seperti seorang manager yang marah pada artisnya karena sang art
Dengan tergesa-gesa aku berlari menaiki tangga, menuju ke lantai tiga gedung fakultas Bisnis dan Ekonomi. Hari ini mata kuliah Ekonomi Mikro dan aku terlambat datang di hari pertamaku. Gedung dengan tinggi empat lantai ini hanya ada tangga saja, tak ada tangga berjalan apalagi lift. Sampai di lantai tiga, setengah berlari aku mencari kelas MB1107A. Bruggh! Tubuhku bertubrukan dengan seorang wanita karena aku berjalan sambil melihat angka yang tertera di setiap pintu ruangan. "Maaf, Bu," ucapku sambil tersenyum, aku lalu membantu memungut buku-bukunya yang terlempar. Aku yakin dia seorang dosen, mungkin dosen muda, atau mungkin mahasiswa terlambat kuliah seperti diriku tapi tidak tahu angkatan berapa. Mahasiswa yang seangkatan denganku adalah anak-anak muda yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Mereka masih begitu muda dan remaja, jauh berbeda denganku. Berada di antara mereka, aku seperti orang yang salah masuk tempat. Harusnya aku ambil kelas karyawan, bukan kelas reguler d
Mobil kurem mendadak saking kagetnya."Maaf, Bu, becanda.""Buk lagi, Buk terus. Kamu pikir bercandamu lucu!"Kenapa wanita ini semarah ini, bukannya perkataanku sebelumnya adalah sebuah pujian. Menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi. Jauh berbeda denganku yang kuliah di usia tua. Aku saja tak marah dia mengatakan aku mahasiswa tua. "Maaf, Aulia. Jika bercandaku menyakitimu. Tapi menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi, aku sedang memujimu," terangku. Berharap dengan menjelaskannya, dia mengerti dan tak marah lagi. Wanita itu menghela nafas panjang. "Iya memang sebuah prestasi, tapi membuatku sulit mendapatkan jodoh, tidak ada pria sebaya yang percaya diri saat di dekatku. Yang percaya diri mereka yang sudah berusia matang dan mapan, dan mereka lelaki orang." Aulia berbicara tanpa henti, seakan menumpahkan perasaan yang selama ini dipendam. "Oh, kamu belom menikah?" Kali ini aku akan berbicara kamu dan aku saja, daripada salah lagi memanggilnya Ibu. "Apa aku
Sepanjang aku mengisi acara, Dara terus menatapku. Membuatku tak nyaman saja. Untung sekarang aku sudah terbiasa bicara di depan orang. Saat kuliah, sering kali memang diharuskan untuk presentasi. Selesai acara, aku langsung bertemu dengan Santoso, pria itu begitu excited dengan hasil livenya. Banyak saweran, katanya. Asem emang tuh orang, dikira aku ini biduan. Mana duitnya diambil dia sendiri. "Aku boleh ikut kamu ke kampus, gak?" tanya Santoso."Mau ngapain? Bikin konten tentang kegiatanku sebagai mahasiswa. Enggak ada! Aku bukan ladang duitmu!" Aku menolak permintaan temanku itu. Dia teman yang paling nyebelin tapi juga paling ngertiin. Makanya aku tak pernah benar-benar bisa marah padanya. "Keren Mas Tama, dah mirip pengusaha muda. Calon pengusaha yaa," sapa Pak lurah sambil menepuk bahuku. Memutuskan perdebatkanku dengan Santoso. Apa ini lurah yang sama, yang masih ada ikatan keluarga dengan Daffa. Aku kurang tahu karena memang tak begitu memperhatikan siapa-siapa saja oran
Detik-detik menunggu jawaban dari Bu Anggun seperti menonton drama yang penuh dengan adegan menegangkan, di mana ditambahi efek slow motion yang membuat waktu terasa makin lama dan bikin gregetan.Wanita yang duduk di seberang meja itu terdengar berdehem sebelum pada akhirnya membuka suara. "Sebelumnya terima kasih karena Mas Tama berniat untuk lebih kenal dengan saya. Namun demikian, saya harus minta maaf karena sebenarnya saya sudah bertunangan. Calon suami saya merupakan tetangga saya. Kami akan segera menikah setelah saya selesai mengabdikan diri di sini, mungkin sekitar beberapa bulan lagi," ungkapannya panjang lebar. Aku menarik nafas lega, sepertinya baru kali ini ada orang yang ditolak tapi begitu merasa lega dan bahagia. "Oh sudah punya calon suami," gumam Santoso."Maaf ya, Mas Tama," ucap Bu Anggun saat aku tak meresponnya. "Nggak apa-apa, Bu," jawabanku sambil tersenyum. Tidak tahu saja jika ada kelegaan dalam hatiku. Tanpa banyak bicara lagi, aku berpamitan pada wani
"Selamat datang," sapa Aulia sembari berdiri. "Ini teman saya, Tama," ucap Santoso memperkenalkanku. "Saya sudah mengenalnya," sahut Aulia. "Kenal di konten saya, kan. Maksudnya saya kenalkan secara langsung," terang Santoso. "Tidak, saya sudah sering bertemu dengannya," ujar Aulia. "Dimana?" Santoso bertanya dengan penasaran. "Dia dosenku." Aku menyela obrolan mereka. Santoso menatapku tak percaya. "Bener, San," ucapku memastikan."Bisa aku bicara dengan dia saja," pinta Aulia pasa Santoso. Pria itu langsung menatap padaku, aku hanya membalasnya dengan menghentikan bahu. "Aku ke sini cuma jadi tukang ojek?" Santoso bertanya sambil menatapku dan Aulia berganti. "Siapa suruh mau," sahut sahutku sekenanya. Santoso membuang nafas kasar, lalu berlalu meninggalkan kami. Berpindah tempat ke meja lain. Aku lantas duduk setelah kepergian temanku itu. "Aku di sini sebagai wanita," ucap Aulia membuka suara. "Memangnya selama ini dia, pria?" Aku bertanya dalam hati"Kamu tentu suda
"Wah, bener. Masih muda dan cantik. Dosen, Le?" Ada binar bahagia di wajahnya yang tidak lagi muda. Aku menganggukkan kepala. "Ibu setuju?""Yo mesti setuju lah. Istrimu seorang dosen, biar bisa membungkam mulut orang-orang yang suka membicarakan kamu di belakang Ibu. Dulu kamu ditolak Dara mereka bilang pantas saja karena kamu tak punya apa-apa gak kerja kantoran seperti suaminya si Dara, padahal siapa yang membuat Dara bisa kuliah. "Saat kamu sudah mulai sukses, masih ada aja yang ngomongin, percuma sukses kalau gak laku. Gak punya istri, siapa yang akan mewarisi harta bendanya. Mangkel, kesal, hati Ibu ini, Le. Cuma Ibu tahan saja, cukup berdoa," turut Ibu panjang lebar. Aku menarik nafas dalam-dalam, Ibu punya anak satu tapi sering kali membuatnya jadi bahan pembicaraan orang yang tidak suka dengan kami. "Kapan kita ke rumahnya, langsung dilamar saja. Jangan kelamaan." "Buk, sabar tho. Lamaran harus dibicarakan dua belah pihak, mana mungkin ujug-ujug kita datang ke rumahnya t
POV DaraKabar pernikahannya akhirnya sampai juga di telingaku. Setelah bertahun-tahun hubungannya kandas denganku dan dia tak juga menikah, aku pikir dis tidak bisa move on dariku. Sempat terpikirkan olehku, untuk mengakhiri hubunganku dengan mas Daffa dan kembali pada Mas Tama. Mas Tama adalah pria yang baik, dia anak satu-satunya dari seorang janda yang bisa dibilang memiliki ekonomi yang cukup mapan. Mereka memiliki usaha, beberapa petak sawah dan juga kebun luas di belakang rumah mereka. Ibunya juga sangat baik.Sebagai anak tunggal, aku pikir jika bisa menikah dengannya maka tidak akan ada drama pertengkaran antara ipar, dan juga ibunya yang baik itu tidak akan membuat drama dengan menantunya. Hal itulah yang membuatku memilih dia saat begitu banyak pria yang menginginkanku kala itu. Saking baiknya Mas Tama, dia mau membiayai kuliahku meskipun kami belum menikah. Awal-awal kuliah aku sudah berjanji pada diriku sendiri jika kelak sudah wisuda, akan kuabdikan diriku pada pria it
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV AuliaSuasana dan tempat berbeda begitu terasa saat kami bangun tidur pagi ini. Sudah dua hari aku dan Mas Tama tinggal di rumah orang tuaku. Aku mengajak Mas Tama menginap di rumah orang tuaku, dengan alasan aku kangen pada mereka. Sejak menikah, kami hanya ke sini tanpa pernah menginap. Ibu mertuaku juga mengijinkannya, dan mengatakan agar aku dan Mas Tama tidak perlu khawatir padanya. Ibu masih kuat dan bisa melakukan apapun sendirian, bukan seorang manula yang tidak biasa apa-apa, begitu kata beliau saat kami akan meminta orang untuk menemaninya. Lagi pula banyak tetangga dekat, jadi tak perlu khawatir. Untuk beberapa saat ini, aku ingin menjauhkan Dara dari Mas Tama. Suamiku juga tidak pernah datang ke Berdikari Mart setelah kejadian Dara diceraikan suaminya. Urusan di sana, lebih banyak diserahkan pada Aldo. Aku dengar, perceraian Dara juga belum resmi. Baru secara agama yang diucapkan saat ada di Berdikari Mart. "Lia, itu ada Alvi yang mau ketemu kamu," ucap Ibu padaku y
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t