"Buk, apa aku harus sekolah lagi, kuliah gitu untuk bisa dipandang oleh orang-orang? Dianggap sukses?" tanyaku pada ibu.Sejak putus dengan Dara, kini aku lebih banyak berdiskusi dengan ibu sambil menemaninya menonton sinetron kesukaannya. "Kamu mau kuliah agar dihormati orang-orang?" Ibu balik bertanya. "Entahlah, aku merasa tidak jadi apa-apa kalau hanya seperti ini." Aku berkata sambil menghela nafas. Sepertinya aku mulai termakan oleh omongan orang, tentang Dara yang memilih Daffa karena pria itu memiliki pekerjaan di kantoran. "Kalau mau sekolah tinggi untuk menuntut ilmu, ibu sangat setuju. Tapi kalau hanya untuk membungkam mulut orang, itu tak perlu kamu lakukan, Nak. Orang hanya akan terus mengatakan apa yang mereka ingin katakan. Lakukan apapun untuk diri sendiri, bukan karena omongan orang. "Jika kamu merasa butuh untuk sekolah lagi, ibu dukung-dukung saja. Kamu bisa bayarin kuliah orang lain, pasti juga bisa bayarin kuliah sendiri, jika mau.""Aku ditolak Dara karena d
"Maaf, Mbak saya tidak bisa. Saya bukan artis atau apapun itu yang perlu melakukan klarifikasi dan semacamnya. Ini sebenarnya hanyalah masalah pribadi, cuma karena ada yang membuatnya menjadi konten jadilah viral seperti ini."Santoso menatapku dengan padangan memohon, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Aku tahu maksudnya, dia memintaku menerima ajakan itu. "Ayolah, Mas. Kamu perlu klarifikasi juga untuk membersihkan nama baik," bujuk wanita di seberang telepon sana."Biar orang lain saja yang menilai, Mbak. Maaf yaa saya matikan panggilan teleponnya. Saya sedang bekerja," ucapku sesopan mungkin. Panggilan telepon segera kuputuskan, wajah pria di depanku tampak tertekuk, dia kecewa dengan penolakanku barusan."Kenapa sih gak mau, kapan lagi bisa jalan-jalan ke Jakarta," seru Santoso tak suka. "Nanti kalau aku dah jadi pengusaha," jawabku sekenanya. "Kapan?" sentaknya. Kenapa jadi dia yang marah-marah padaku, seperti seorang manager yang marah pada artisnya karena sang art
Dengan tergesa-gesa aku berlari menaiki tangga, menuju ke lantai tiga gedung fakultas Bisnis dan Ekonomi. Hari ini mata kuliah Ekonomi Mikro dan aku terlambat datang di hari pertamaku. Gedung dengan tinggi empat lantai ini hanya ada tangga saja, tak ada tangga berjalan apalagi lift. Sampai di lantai tiga, setengah berlari aku mencari kelas MB1107A. Bruggh! Tubuhku bertubrukan dengan seorang wanita karena aku berjalan sambil melihat angka yang tertera di setiap pintu ruangan. "Maaf, Bu," ucapku sambil tersenyum, aku lalu membantu memungut buku-bukunya yang terlempar. Aku yakin dia seorang dosen, mungkin dosen muda, atau mungkin mahasiswa terlambat kuliah seperti diriku tapi tidak tahu angkatan berapa. Mahasiswa yang seangkatan denganku adalah anak-anak muda yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Mereka masih begitu muda dan remaja, jauh berbeda denganku. Berada di antara mereka, aku seperti orang yang salah masuk tempat. Harusnya aku ambil kelas karyawan, bukan kelas reguler d
Mobil kurem mendadak saking kagetnya."Maaf, Bu, becanda.""Buk lagi, Buk terus. Kamu pikir bercandamu lucu!"Kenapa wanita ini semarah ini, bukannya perkataanku sebelumnya adalah sebuah pujian. Menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi. Jauh berbeda denganku yang kuliah di usia tua. Aku saja tak marah dia mengatakan aku mahasiswa tua. "Maaf, Aulia. Jika bercandaku menyakitimu. Tapi menjadi dosen di usia muda adalah sebuah prestasi, aku sedang memujimu," terangku. Berharap dengan menjelaskannya, dia mengerti dan tak marah lagi. Wanita itu menghela nafas panjang. "Iya memang sebuah prestasi, tapi membuatku sulit mendapatkan jodoh, tidak ada pria sebaya yang percaya diri saat di dekatku. Yang percaya diri mereka yang sudah berusia matang dan mapan, dan mereka lelaki orang." Aulia berbicara tanpa henti, seakan menumpahkan perasaan yang selama ini dipendam. "Oh, kamu belom menikah?" Kali ini aku akan berbicara kamu dan aku saja, daripada salah lagi memanggilnya Ibu. "Apa aku
Sepanjang aku mengisi acara, Dara terus menatapku. Membuatku tak nyaman saja. Untung sekarang aku sudah terbiasa bicara di depan orang. Saat kuliah, sering kali memang diharuskan untuk presentasi. Selesai acara, aku langsung bertemu dengan Santoso, pria itu begitu excited dengan hasil livenya. Banyak saweran, katanya. Asem emang tuh orang, dikira aku ini biduan. Mana duitnya diambil dia sendiri. "Aku boleh ikut kamu ke kampus, gak?" tanya Santoso."Mau ngapain? Bikin konten tentang kegiatanku sebagai mahasiswa. Enggak ada! Aku bukan ladang duitmu!" Aku menolak permintaan temanku itu. Dia teman yang paling nyebelin tapi juga paling ngertiin. Makanya aku tak pernah benar-benar bisa marah padanya. "Keren Mas Tama, dah mirip pengusaha muda. Calon pengusaha yaa," sapa Pak lurah sambil menepuk bahuku. Memutuskan perdebatkanku dengan Santoso. Apa ini lurah yang sama, yang masih ada ikatan keluarga dengan Daffa. Aku kurang tahu karena memang tak begitu memperhatikan siapa-siapa saja oran
Detik-detik menunggu jawaban dari Bu Anggun seperti menonton drama yang penuh dengan adegan menegangkan, di mana ditambahi efek slow motion yang membuat waktu terasa makin lama dan bikin gregetan.Wanita yang duduk di seberang meja itu terdengar berdehem sebelum pada akhirnya membuka suara. "Sebelumnya terima kasih karena Mas Tama berniat untuk lebih kenal dengan saya. Namun demikian, saya harus minta maaf karena sebenarnya saya sudah bertunangan. Calon suami saya merupakan tetangga saya. Kami akan segera menikah setelah saya selesai mengabdikan diri di sini, mungkin sekitar beberapa bulan lagi," ungkapannya panjang lebar. Aku menarik nafas lega, sepertinya baru kali ini ada orang yang ditolak tapi begitu merasa lega dan bahagia. "Oh sudah punya calon suami," gumam Santoso."Maaf ya, Mas Tama," ucap Bu Anggun saat aku tak meresponnya. "Nggak apa-apa, Bu," jawabanku sambil tersenyum. Tidak tahu saja jika ada kelegaan dalam hatiku. Tanpa banyak bicara lagi, aku berpamitan pada wani
"Selamat datang," sapa Aulia sembari berdiri. "Ini teman saya, Tama," ucap Santoso memperkenalkanku. "Saya sudah mengenalnya," sahut Aulia. "Kenal di konten saya, kan. Maksudnya saya kenalkan secara langsung," terang Santoso. "Tidak, saya sudah sering bertemu dengannya," ujar Aulia. "Dimana?" Santoso bertanya dengan penasaran. "Dia dosenku." Aku menyela obrolan mereka. Santoso menatapku tak percaya. "Bener, San," ucapku memastikan."Bisa aku bicara dengan dia saja," pinta Aulia pasa Santoso. Pria itu langsung menatap padaku, aku hanya membalasnya dengan menghentikan bahu. "Aku ke sini cuma jadi tukang ojek?" Santoso bertanya sambil menatapku dan Aulia berganti. "Siapa suruh mau," sahut sahutku sekenanya. Santoso membuang nafas kasar, lalu berlalu meninggalkan kami. Berpindah tempat ke meja lain. Aku lantas duduk setelah kepergian temanku itu. "Aku di sini sebagai wanita," ucap Aulia membuka suara. "Memangnya selama ini dia, pria?" Aku bertanya dalam hati"Kamu tentu suda
"Wah, bener. Masih muda dan cantik. Dosen, Le?" Ada binar bahagia di wajahnya yang tidak lagi muda. Aku menganggukkan kepala. "Ibu setuju?""Yo mesti setuju lah. Istrimu seorang dosen, biar bisa membungkam mulut orang-orang yang suka membicarakan kamu di belakang Ibu. Dulu kamu ditolak Dara mereka bilang pantas saja karena kamu tak punya apa-apa gak kerja kantoran seperti suaminya si Dara, padahal siapa yang membuat Dara bisa kuliah. "Saat kamu sudah mulai sukses, masih ada aja yang ngomongin, percuma sukses kalau gak laku. Gak punya istri, siapa yang akan mewarisi harta bendanya. Mangkel, kesal, hati Ibu ini, Le. Cuma Ibu tahan saja, cukup berdoa," turut Ibu panjang lebar. Aku menarik nafas dalam-dalam, Ibu punya anak satu tapi sering kali membuatnya jadi bahan pembicaraan orang yang tidak suka dengan kami. "Kapan kita ke rumahnya, langsung dilamar saja. Jangan kelamaan." "Buk, sabar tho. Lamaran harus dibicarakan dua belah pihak, mana mungkin ujug-ujug kita datang ke rumahnya t