Mobil yang mengantarkan Nayumi, telah memasuki gerbang pondok lalu berhenti di area parkir, Nayumi tampak bingung, menatap sekeliling pondok, ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sebuah pondok pesantren, yang tentu saja bertolak belakang dengan keyakinannya. Tapi wanita itu bertekad ingin, menemui pimpinan pondok.Seorang security mendekat. ”Ibu mau ketemu siapa?”“Hemmm... Kyai Damar,” sahut Nayumi.“Baiklah, mari saya antar,” ajak security dengan sangat ramah.Nayumi mengikuti langkah pria berbadan tegak, seraya memperhatikan sekeliling pondok, yang terlihat sejuk, dan nyaman, beberapa gazebo, ada di tengah–tengan taman, terlihat beberapa santri perempuan dan santri laki-kali tengah berolah raga di tempat terpisah, ada juga yang sedang membaca buku di gazebo.Langkah Nayumi, berjalan mendekati pendopo, lalu ia dipersilahkan duduk, kemudian security tadi tampak berbicara dengan seorang santri, tidak lama kemudian menghampiri Nayumi lagi.“Silahkan duduk dan tunggu sebentar,”
Lagi dan lagi, kata-kata ‘ceraikan Keyra‘ membuat hati Afnan terasa berdenyut nyeri, ia hanya diam seribu bahasa, tidak menjawab permintaan kakeknya.“Sudah kuduga, kamu diam, dan aku tahu isi hatimu, kalau begitu keluarlah dari kamarku dan temui ibu mertuamu, katakan padanya, untuk menjalani hukumannya, mungkin dua tahun, cukup untuk memberi pelajaran pada wanita bar-bar sepertinya,” gertak Kyai Damar.Sementara itu di Rumah Sakit Parja Hospitaly, Keyra sudah sadar dari pingsannya, terlihat Pram, masih menunggunya.“Dokter Pram, Anda masih disini?”“Iya Key, aku khawatir dengan keadaanmu, kamu tiba-tiba pingsan,” jawab Pram yang masih duduk di sofa samping brankar.“Aku sekarang sudah membaik Dok, aku akan pulang saja.”“Key, keadaanmu tidak baik-baik saja, Dokter ingin bicara dengan suamimu, ada masalah serius menyangkut kehamilanmu.”“Dokter Pram, aku ingin menemui Dokter yang memeriksaku, aku mohon, pertemukan aku denganya.” Keyra mencoba bangkit dan turun dari brankar.“Key, aku
Keyra sudah berganti baju, wanita muda yang tengah hamil itu, mengenakan daster longar sebatas lutut, lalu mengulung rambut hitamnya, hingga terlihat leher yang putihnya, kini ia duduk di sofa kamar, pikirannya terbang mengingat persyaratan yang di ajukan sang Kakek mertua. Pikirannya benar-benar kalut, ditambah lagi vonis dokter tentang kehamilannya.Terdengar pintu kamar dibuka, Afnan masuk dengan membawa nampan di tangannya, melihat kedatangan suaminya, Keyra mencoba tersenyum, walau kecemasan sedang mengantung.“Tadi Mbok Ratmi, membuat bubur kacang hijau untukmu Key, katanya biar anakmu nanti rambutnya tebal,” ucap Afnan seraya tertawa kecil.Keyra pun ikut tertawa, “Kalupun rambut anak kita tebal, itu karena rambut Kak Afnan dan rambutku tebal, jadi pastilah anak kita rambutnya tebal,” sahut Keyra.“Aku suapin Key,” tawar Afnan seraya menyendok bubur dan mengarahkan ke mulut Keyra.“Aku makan sendiri saja.” Keyra meraih mangkuk dan sendok dari tangan Afnan kemudian menyuapkan
“Gus...” desah Lathisa menatap ke arah Afnan seakan minta penjelasan apa maksudnya ingin rujuk.“Aku akan rujuk denganmu Tisha, kita akan kembali menjadi suami istri lagi dan bersama-sama memimpin pondok seperti yang diinginkan Kekek Damar,” tegas Afnan lagi, kali ini dengan nada tegas dan serius.Kyai Damar mengubah posisi duduknya, dan kembali menatap Afnan dan Lathisa.“Bersiaplah untuk rujuk dengan Afnan. Lathisa, aku akan kabulkan permintaannya,” jawab Kyai Damarjati.“Apapun yang Kakek perintahkan, Lathisa akan melaksanakannya,” balas Lathisa.Afnan menghela napas panjang, ia sedikit lega karena Lathisa menyetujui niatnya rujuk, tanpa protes sedikitpun.Kemudian terlihat Kyai Damar meraih ponsel, dan menelepon seseorang.“Lathisa bisakah kita bicara di luar,” ajak Afnan.“Baik Gus.”Afnan dan Lathisa meninggalkan sang Kakek yang tengah sibuk berbicara di ponsel. Dan kini keduanya berada di sebuah kantin rumah sakit, setelah Afnan memesan minuman untuk Lathisa, ia mulai berbicara
Di kamar sebuah resort, Afnan memeluk Keyra, diusapnya perut yang semakin terlihat membuncit.“Kenapa kamu tidak bilang jika kamu mengalami preeklamsia, dan itu membahayakan nyawamu sendiri, Key?” Afnan menatap nanar, wajah yang ada dihadapannya.“Jangan khawatir, aku hanya ingin bayiku selamat, jika aku meninggal, toh ada Lathisa yang akan mengurus anak kita ‘kan?”Afnan menaruh jari telunjuk di bibir Keyra. ”Jangan berucap seperti itu Key, kamu dan bayi kita akan selamat. Aku akan bersujud tiap sepertiga malam, untuk mendoakan kalian berdua,” balas Afnan.Afnan mendaratkan kecupan di kening keyra, lalu turun di bibir mungil merah muda dan keduanya tenggelam dalam dalam tautan bibir yang hangat, merengkuh manisnya cinta dalam lautan asmara.Deburan ombak malam, menjadi saksi sebuah cinta yang tak pernah pudar, meskipun, di terjang ombak berkali-kali, tapi cinta bagai batu karang yang kokoh tetap berdiri dengan ponggahnya, menantang deburan ombak.Sementara di sebuah kamar lain, tepa
Satu bulan berlalu, keadaan Lathisa semakin memburuk, tidak ada pengobatan apapun lagi yang bisa diterimanya selain pereda nyeri. Tapi senyum masih mengembang di wajah pucatnya tak kala menatap Sean, yang ada di pangkuan Keyra. Berada di tengah keluarga adalah hal yang membuatnya bahagia hingga sedikit mengurangi rasa sakit.Pagi ini cuaca cerah, udara sejuk berhembus melalui celah–celah jendela, dan hangat mentari menyapa kamar Lathisa, tiba-tiba saja Lathisa ingin bertemu beberapa orang, satu persatu teman dan keluarga masuk, lalu keluar dengan membawa tangis. Lathisa ingin bicara pada semuanya seolah meninggalkan pesan terakhir.“Maaf Kyai Damar, aku tidak bisa memenuhi keinginan Kyai untuk memimpin pesantren,” ujar Lathisa lirih.Kyai Damar hanya tersenyum getir, “Jangan pikirkan itu Lathisa, kamu tetap menjadi cucuku, terima kasih telah melahirkan Sean.”Orang tua itu menahan sekuat tenaga, rasa sedihnya, lalu tangis pecah, setelah keluar kamar hingga tubuh rentanya harus di pa
Keyra duduk termenung di depan cermin, sambil menyisisir rambutnya, pikirannya tertuju pada Sean yang malam ini tidur dengan Safira.Afnan memeluknya dari belakang, menempelkan kepalanya di bahu Keyra. ”Kenapa melamun?”“Aku mengkhawatirkan Sean, yang tidur bersama Safira.”“Sean bersama tantenya, Safira juga sudah dewasa, pasti bisa menjaga Sean dengan baik, lagipula, mereka tidak kemana-mana.”“Kak Afnan benar, Sean, bersama tantenya.” Keyra membalikan tubuhnya, lalu Afnan berjongkok, dan mencium perut Keyra yang terlihat membuncit.“Bayi kita sudah tiga bulan, nanti di bulan ke empat kita adakan doa syukuran. Semoga kamu dan bayi dalam rahimmu dalam keadaan sehat,” ucap Afnan, berkali-kali mengusap perut Keyra hingga Keyra merasa geli.“Sudah Kak, aku geli,“ rengek Keyra, menahan tawa.Afnan tidak menghiraukan teriakan Keyra, tubuh mungil itu malah di bopongnya dan membawanya ke tempat tidur. Afnan dengan lembut penuh cinta membelai rambut halus Keyra, tubuhnya di dekatkan pada
Keyra sudah berdiri di atas podium gedung auditorium pondok, satu jam yang lalu Afnan memintanya untuk memberi kesaksian atau lebih tepatnya berbagi cerita, pada seluruh pesantren.Keyra yang mengetahui bahwa masa lalu sering dijadikan senjata untuk menjatuhkan reputasi pondok pesantren dan bahkan menghancurkan pernikahannya. Dan saat ini , ia mau menjelaskan pada seluruh santri akan masa lalu yang sangat buruk pernah di alami, dan ia sedang beristiqomah di jalan yang lurus.Kata demi kata keluar dari bibir Keyra, kadang ia sampai menitikan air mata, tapi perkataannya terlihat tulus, hingga membuat para santri bersimpati dan mendukung jalan hijrahnya.Afnan mengukir senyum di saat Keyra telah berhasil menceritakan kisah masa lalunya yang begitu buruk. Dan berharap kisahnya dapat mengispirasi semua yang mendengarkan di ruangan itu.Selama hampir dua jam, Keyra berbicara di atas podium, hingga menutup pembicaraannya. Afnan pun naik mendekati Keyra dan berbicara dengan para santri.“Ber