"Maksudnya?" tanya Gayatri tak habis pikir dengan perkataan Ibu penjual bubur itu."Tuh!" Mata penjual bubur itu mengarahkan penglihatan Gayatri. Nampak di sebrang jalan Prayogi sedang sarapan di warung soto daging, dan memang sedang menatapnya. Wajah tegasnya nampak makin terlihat dengan penampilannya yang makin parlente. Walau masih suka memakai celana jeans, dia terlihat lebih macho dengan baju yang pres bodi. Dia memang sekarang terlihat berbeda. Jauh sekali dengan beberapa tahun asaat masih bersama dengan Gayatri."Dari tadi dia sarapan di sana dan memperhatikan mbak Gayatri di sini," Gayatri yang masih terkejut segera menuju sepedanya. Namun kemudian dia merasa tak enak hati dengan sepeda yang kini dinaikinya. Jelas-jelas Prayogi memperhatikan sepeda itu.Kenapa juga dia ada di sini sepagi ini? Jangan-jangan, perkataan Galuh, juga Rendra, bahkan Ibu ini benar, bahwa dialah yang menghancurkan Rendra, bathin Gayatri. Tapi untuk apa dia melakukannya? Bukankah dia telah menikmati ap
"Ibu, Mbak, Ibu,.." kata Tanti terbata dengan menunjukkan tangannya tak tentu arah.Gayatri segera mengambil anaknya yang tengah tidur dan digendonggnya dengan tergesa. Kakinya melangkah dengan cepat. Tanpa mengatakannya pun Gayatri telah tau ada yang terjadi dengan orang yang telah dianggapnya sebagai orang tua itu.Mengikuti langkah Gayatri, Tanti masih menangis dengan membekam mulutnya. Hinggah mereka tiba di kamar Bu Ratna yang terbuka. Galing dan Galuh sudah duduk di tepi ranjang dengan tangis yang tak jua berhenti. Demikian juga dengan Sandra.Gayatri mendekati Bu Ratna. Matanya telah buram menyaksian orang yang disayanginya melambaikan tangannya kepadanya."Rendra,.. Rendra,..!" ucapnya terbata dengan mata yang sayu."Mas tadi keluar ada urusan, Bu." Gayatri menggenggam tangan wanita di sampingnya dengan derai air mata yang tak lagi bisa ditahannya. Berbohong, hanya itu yang dapat dilakukan Gayatri tentang Rendra."Ja,..ngan mena,..ngis,... Ja,..ngan,.. la,..gi,.. mena,..ngis,"
Exel yang mengendarai sepeda motor KLX, segara menghentikan sepedanya manakala dilihatnya orang yang tidak asing baginya ada di sana. Dia kemudian melajukan sepedanya ke arah Rendra. Memarkir sepedanya untuk mendekati Randra."Kamu dari mana Rend, pagi-pagi begini kok di sini?" tanya Exel menyelidik. Apalagi dilihatnya Rendra yang kemudian nampak menyembunyikan raut mukanya yang kusut. Mungkin karena semalaman tidak tidur."Kamu sendiri dari mana, kenapa kamu seperti mengintrogasi seseorang?" dengan nada sedikit tersinggung, Rendra balik bertanya ke Exel. Orang yang biasanya kalau bertemu dengannya selalu bercanda itu kini seolah menjadi musuh dengan pertanyaannya."Kamu lupa apa pekerjaan saya? Saya bekerja tanpa kenal waktu, Rend. Ini tadi menyelidiki kasus sampai memburu seseorang hinggah malam baru bisa pulang. Ini pun seharusnya belum pulang. Hanya karena keadaan darurat aku pulang.""Iya, aku lupa kalau kamu seorang intel," ucap Rendra lalu segera masuk ke mobilnya untuk menghi
Garnis bahkan memindai pria di depannya dari atas sampai bawah. Prayogi sampai kikuk dibuatnya. Namun kepercayaan diri yang menopangnya kini telah mengalahkan rasa kikuknya yang hanya sebentar.Prayogi yang sekarang memang jauh berbeda dengan beberapa saat yang lalu saat Garnis pernah melihatnya, walau tidak sering. Kulitnya yang sawo matang tampak bersih. Tubuhnya pun terlihat lebih padat dengan tinggi badan 185 cm dia tampak gagah. Terlebih dengan pakaian yang membungkus badannya, yang semuanya bukan pakaian biasa."Kamu kok pagi sekali datang kemari?" tanya Gayatri untuk menjernihkan suasana. Sementara Garnis masih memandang sikap putrinya dengan mantan suaminya itu yang menurutnya sekarang lebih terbuka. Tidak bermusuhan lagi. Setidaknya jika hidup tanpa musuh, membuat hidup lebih indah, pikirnya."Beberapa hari ini aku sering di sini. Tadi pagi saat aku makan soto, aku mendengar orang membicarakan tentang meninggalnya Bu Ratna, jadi aku mampir ke sini." Prayogi mengerti pertanyaan
Lelaki itu mendekat ke arah jenazah yang wajahnya masih terbuka dan hanya ditutup dengan kain panjang. "Maafkan, Rendra, Bude!" ucapnya tergugu sambil mencium kening mayat di depannya.Semua orang memandanginya, tak terkecuali dengan Gayatri yang memandangnya dengan rasa kecewa. Lalu membuntutinya saat pria itu ke rumahnya dan masuk ke kamarnya.Sandra yang tengah di dalam menjaga Raditya segera keluar begitu pasangan suami istri itu masuk. "Kamu sudah membuatku tak punya muka, Mas," ucap Gayatri dengan tangis tertahan setelah dia menutup pintu kamarnya."Maafkan aku, Say, maafkan!" ucap Rendra dengan memeluk Gayatri erat. Kedua orang itu kemudian salin bertangisan."Apa yang kamu lakukan di luar sana sampai kamu harus melakukan ini kepadaku?""Ada yang aku urus. Maaf, aku belum bisa mengatakannya kepadamu.""Bicaralah, Mas. Setidaknya buatlah aku mengerti dan tidak mencurigaimu yang bukan-bukan.""Jangan pernah meragukan aku, Say. Percaya aku. Aku tidak akan berbuat yang tidak-tid
"Sejak kapan orang itu datang kemari, Say?" tanya Rendra berbisik pada Gayatri. Dengan pandangan yang mengarah ke Prayogi yang tengah berada diantara orang-orang yang duluh mengenalnya di komplek ini. Bagaiamanapun Prayogi dikenal supel dari duluh. Dia selalu menyempatkan berbaur dengan lingkungannya jika libur kerja dengan hanya sekedar cangkruan di warung kopi dekat tempatnya tinggal duluh. Hanya setelah kasus perselingkuhannya yang mencuat, dia kemudian dikucilkan oleh masyarakat sekelilingnya. Terlebih oleh ibu-ibu di dekatnya yang menghargai penderitaan Gayatri sebagai sesama wanita."Sejak kamu belum pulang. Memangnya kenapa? Dia hanya kebetulan di komplek ini dan mendengar Bu Ratna meninggal. Itu saja. Kamu jangan terlalu curiga yang bukan-bukan apa," bisik Gayatri pula. Dia memang tak mengatakan kalau Prayogi sedang membangun rumahnya seperti kata-katanya. Bisa makin runyam pikiran suaminya jika dia tau Prayogi akan makin sering di komplek ini.Namun sikap Rendra yang masih m
"Menurutmu?" tanya Sasmita manja. Membuat Lion gemas dengan segera merengkuhnya. Mengcium keningnya dengan mesra."Kamu bisa meninggalkannya dan kembali bersamaku." Lion menjawab dengan mantap."Kita beda agama, Lion." "Apa bedanya bagimu. La kamu sendiri saja tidak pernah melakukan ibadah kamu. Masih mending aku, masih mau ke gereja tiap minggu."Sasmita terkekeh dengan ucapan Lion yang ada benarnya. Apa artinya ktp Islam baginya jika apa yang dia lakukan tak pernah sesuai dengan agama yang dia anut. Jangankan sholat, bahkan sekarang apa yang kini tengah dilakukannya, sama sekali tak sesuai dengan agamanya."Apakah akan selalu indah begini jika kita bersama?" tanya Sasmita kemudian, " apa kamu tidak lantas menyakitiku jika kita selalu bersama setiap saat?" tanya Sasmita dengan menatap Lion lekat."Kenapa kamu bertanya itu?""Karena aku mengerti karaktermu yang sepertinya hanya menginginkan sesuatu yang sesaat.""Tetapi yang sesaat itu kamu bisa menikmatinya, bukan?""Justru itu yan
"Kamu mau jawaban apa dariku, Mas?" tanya Gayatri nanar. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Rendra. Rasa cemburunya yang berlebihan seolah membuatnya tidak bisa mengendalikan diri lagi. "Kamu masih memikirkannya. Benar kan?""Pertanyaan apa yang kamu ajukan? Setelah apa yang kita lalui bersama kamu masih saja percaya kalau aku masih memikirkan pria itu.""Dia kin berbeda. Kamu dapat membandingkannya denganku sekarang. Aku sekarang hanya seorang pengangguran yang dikucilkan oleh lingkuangannya. Sedangkan dia? Apa kamu tidak bisa melihatnya tadi, bagaimana orang-orang begitu tertawa memujanya.""Kamu pikir aku wanita yang gampang terbujuk dengan kemewahan, Mas? Picik sekali kamu menilaiku.Dengan cepat Gayatri membawa anaknya yang menangis keluar. Belum juga dia membuka pintu, seseorang sudah mengetuk pintu mereka. Gayatri membuka pintu. Dilihatnya Tanti telah di depannya."Katanya tadi mas Rendra cari saya, Mbak."Gayatri yang sudah jengkel kepada Rendra tak hendak berbic