RING ROAD Barat, Taman Tirto, Bantul.
Cuaca terik dan kering di bulan Juni. Angin selatan yang cukup kencang membentuk be berapa tornado kecil di sekitar pelataran sebuah kampus yang sangat luas. Ups...! Jasman cepat mengatupkan kedua matanya seraya selembar daun kering yang melayang dan menerpa wajahnya.
Seorang teman satu fakultas dengannya merangkul lehernya dari belakang. Ia bernama Fadli, namun akrab dipanggil Fadel. “Pulang, yuk!” ujarnya, mengajaknya pergi dari tempat itu.
“Eh, lu. Piye hasile? Sudah diterima judul skripsi, lu?”
“Alhamdulillah, akhirnya lolos, bro!” sahut Fadli seraya tersenyum senang.
“Wah, selamat ya, bro, gua ikut senang?”ucap Jasman tersenyum sembari menyodorkan tangan kanannya ke Fadli dan disambut dengan genggaman erat oleh Fadli.
“Terima kasih, bro!”
“Sama-sama, bro,” sahut Jasman sembari membalas rangkulan pada leher Fadli. Keduanya melangkah menuju timur, menyusuri halaman depan kampus yang luas,
“Lu sendiri gimana hasilnya?” tanya Fadli.
“Dosen pembimbing gue ada seminar lagi hari ini. Lusa sore sudah janjian ketemu.”
“Hm. Mudah-mudahan ntar kita bisa wisuda bareng, ya?”
“Aamiin...!” Mendadak Fadli menahan langkahnya sehingga langkah Jasmanmu tertahan, tampaknya ia sedang mengingat sesuatu.
“Kenapa...?” tanya Jasman.
"Lu nggak ke parkiran dulu?"
"Oh, motor gua lagi di bengkel," sahut Jasman sembari menatap wajah lawan bicaranya.
"Kok nasib kita sama, sih? Kapan lu gadainya?”
“Kemaren."
“Gua dua hari yang lalu.”
Sekilas Fadli menoleh ke wajah Jasman, "Ah, biasalah itu, bro. Bukan anak kost namanya kalau belum pernah menginjakkan kakinya di kantor pegadaian."
Keduanya pun tertawa kecil. Udara terasa semakin panas dan kering. Sepanas dan sekering isi dompet mereka.
"Gua butuh uang yang cukup buat skripsi, biaya hidup, serta tetek-bengek lainnya. Gua belum bisa menerima kiriman dari kampung setidaknya dalam satu dua bulan di depan. Bokap gua lagi sakit keras dan perlu biaya perawatan yang tentu saja tak sedikit," Jasman sedikit curhat. Ia dan Fadli sudah berteman akrab sejak sama-sama menjadi mahasiswa di kampus ini. Mereka berdua merasa senasib, karena sama-sama sebagai mahasiswa perantau.
"Nggak apa-apalah. Semoga skripsi kita cepat beres," Fadli memberi semangat.
"Aamiin. Terus lu nggak pulang ke Aceh dulu sebelum pendadaran?"
"Belum, bro. Rencana gua sekalian setelah wisuda saja."
Setelah keluar dari gerbang kampus, seharusnya keduanya akan menyeberangi Ring Road. Namun sontak Jasman menghentikan langkahnya sembari mencengkeram pundaknya Fadli. Di seberang sana, di hadapannya sana, di natara kerumanan pejalan kaki lainnya, ia melihat Ningrum, mantan kekasihnya. Gadis yang juga kuliah di kampus yang sama dengannya tetapi beda fakultas itu tidak sedang berjalan sendirian, tetapi berdua bersama seorang cowok di sampingnya, pacar barunya. Namanya Hendri Soma, anak kampus lain. Ningrum terlihat menikmati sikap romantis yang diberikan oleh cowok barunya itu kepadanya. Demikian erat tangan cowok itu menggenggam tangan Ningrum saat keduanya berjalan menyeberangi jalan.
Kendati saat ini dirinya tak lagi menjadi kekasih gadis cantik yang berdarah ningrat Jogja itu, namun ketika melihat pemandangan yang romantis demikian, tak urung membuat dada Jasman bergemuruh dan rahangnya terasa kencang dan keras, sekeras kepalan tangannya. Marah akibat rasa cemburu yang membuncah, membuat pemuda ganteng pemegang sabuk hitam dari beberapa jenis seni beladiri yang berbeda ini tetap jua terpancing emosinya. Ingin rasanya saat itu ia memberi pelajaran kepada kekasih baru sang mantannya itu!
"Eits, jangan cari perkara!" Fadli mencegat, sembari merangkul tubuh Jasman dan membawanya pergi dari tempat itu, menuju ke arah Utara. “Sabaaar, sabaar...!”
Rupanya pemuda Aceh itu telah melihat dan mewaspadai gelagat dan kondisi tersebut. Dan ia merasa bersyukur karena Tuhan mengirimnya tadi untuk menemani pulang sang sohibnya yang tampan nan perkasa itu. Jika tidak, tentu Jasman bisa saja menghajar kekasih baru mantan kekasihnya tanpa ada yang melerainya. Ia nggak bisa membayangkan tubuh pacar barunya Ningrum yang bergaya alay sempoyongan ke sana ke mari karena dihajar oleh tangan kekar dan berbulunya Jasman. Ckckckck.
Shohibnya ini, sekalipun seorang yang sudah berlabel pendekar dari beberapa aliran beladiri yang pernah digelutinya, namun terkadang masih suka memperlihatkan emosi darah mudanya, seperti yang ditampakkannya barusan. Ya, mungkin sikap yang wajar saja. Laki-laki mana pun akan merasakan sangat sakit jika kekasih yang sudah lama dipacarinya tiba-tiba harus dipaksa pindah ke lain hati...Ah, bukan, maksudnya, pindah ke cintanya laki-laki lain. Dalam hal hati dan cintanya Ningrum kepada Jasman, sebagaimana keyakinan Jasman sendiri, tak akan berpindah ke lain hati. Hati mereka sama-sama tak akan berpindah ke hati yang lain. Mereka telah mengikrarkan untuk senantiasa menjada cinta mereka itu. Lalu di sebuah kedai sate kambing keduanya mampir.
Untuk menenangkan emosi sahabatnya itu, Jasman mengajaknya untuk mampir ke sebuah restoran sate kambing. Restoran yang berada tak jauh dari kampus mereka itu tidaklah luas selayaknya sebuah restoran. Bentuknya memanjang tetapi ruangannya cukup bersih dan tertata dengan apik. Malah mirip sebuah kafetaria. Ia dan Jasman mengambil meja di bagian pojok barat belakang, berdekatan langsung dengan hamparan persawahan yang saat itu padinya tengah menguning.
"Sudahlah, bro, nggak usah dipikirkan lagi," nasihat Fadli seraya menepuk punggung Jasman, ketika dilihatnya temannya itu mendadak menjadi pendiam. "Lagi pula lu nggak punya alasan untuk memberi pelajaran terhadap cowok barunya Ningrum itu. Dia nggak tahu apa-apa. Lagi pula kalian kan sudah resmi putus. Yeah, kecewa dan cemburu itu pasti masih ada, tapi apa gunanya menyiksa perasaan terhadap orang yang tengah mencintai orang lain?!"
Jasman memandangi wajahnya Fadli. Sebiji jerawat di ujung hidungnya tampak sudah matang. "Sepertinya kalimat lu yang terakhir pernah gua baca di status F******k-nya seseorang. Kalau nggak salah...di status F*-nya Bang Emde Mallaow...?"
"Iya memang!"
Keduanya pun tertawa.
Dua porsi sate kambing berikut nasi dan dua gelas es jeruk terhidangkan di meja di hadapan mereka.
"Gua tidak sedang memikirkan dia atau kejadian tadi," ucap Jasman sembari mengaduk es jeruknya.
"Lantas?" tanya Fadli, seolah kepada tumpukan sate di hadapannya.
"Jasman memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, lalu satu tusukan sate. "Lu punya kenalan yang bisa dimintai kerjaan nggak?"
Fadli mengunyah, lalu berkata, "Kalau di Jogja nggak ada, bro. Kalau di Banda Aceh ya banyak. Memangnya lu mau kerja apaan?"
"Ya kerja apa saja, asal halal dan bisa untuk mencukupi kebutuhan gua selama tak dapat kiriman dari kampung. Kebetulan juga gua sudah bebas teori, jadi daripada nggak ada kesibukan ya bisa diisi dengan bekerjalah."
Fadli manggut-manggut. "Ya coba ntar gua cari info ke teman-teman gua, bro, siapa tau ada."
"Ok, terima kasih sebelumnya, bro."
Handphone Fadli berbunyi. Panggilan telepon. "Ya, halo...? Hm, ok gua balik sekarang kalau begitu. Lu tunggu dulu di situ, ya?"
"Ada teman, sudah ada di kost," Fadli memberitahukan pada Jasman, lalu merampungkan makanannya.
"Ya lu balik aja dulu, gi."
"Terus lu?"
"Gua di sini aja dulu sebentar, ingin santuy-santuy dulu," sahut Jasman. Disedotnya es jeruknya dengan pipet.
"Well, kalau gitu. Gua tinggal, ya? oh ya, biar gua traktir."
Jasman memperlihatkan jempolnya, “Terima kasih, bro.”
“Ok, bro, santuy aja.”
Sepeninggal Fadli, dan setelah menyelesaikan makanannya, Jasman pun berkonsentrasi pada layar hapenya, berselancar di dunia Maya. Karena dia masih belummooduntuk memosting status FB-nya, maka dia hanya menelusuri status teman-temannya saja. Sekalipun tak sempat untuk memberikan komentar, setidaknya ia selalu berusaha untuk menitipkan jempol pada status-status yang ia jelajahi. Sementara kedai sate semakin ramai oleh pelanggan. Ini memang waktunya orang-orang untuk istirahat dan makan siang. Jasman tidak begitu memperhatikan para pelanggan kedai yang masuk, karena ia masih asyik masyuk berinteraksi dengan teman-temandumay-nya, serta membalas beberapa pesan dimessenger-nya. Mulutnya komat-kamit, terkadang tersenyum, atau tertawa kecil.&nb
Lalubody guardsatunya lagi menambahkan, “Bos kami adalah orang yang sangat penyabar. Tapi kesabaran manusia tetap ada batasnya. Itu yang harus Nyonya waspadai.” Lalu mendekatkan pipinya di samping pipinya si wanita cantik dan berkata dengan suara pelan, “Kami mampu melenyapkan apa pun tanpa bekas, wuiisshh, seperti asap, jika bos kami menginginkannya. Karena itu...ayuk, ikutlah kami, Nyonya Muda.” Si wanita dengan suara tinggi menolak: "Tidak! Saya tidak mau ikut!" "Pokoknya kamu harus ikut!" si laki-laki ber-tuxedo setengah membentak dan memaksa. "Aku peringatkan kamu seka
Akan tetapi betapa kagetnya si Tuan Arogan, dengan gerak refleks si pemuda menahan kepalan tangannya dengan punggung tangannya, lalu... Bughh...!! Dengan cepat pula tangan si pemuda menghantam ke samping, mendarat keras di perut bagian sampingnya. Tubuh si Tuan Arogan langsung hilang keseimbangannya. Namun sebelum tubuh besarnya itu jatuh, dengan cepat Jasman menangkap pergelangan tangannya dan memelintirnya ke samping disusul oleh dengan sentakan kaki si pemuda menghantam bagian lipat pahanya si Tuan Arogan. Si Tuan Arogan langsung menjerit keras. Rasa nyeri yang luar biasa terasa di sendi lengan kanannya. “Kalausampeyantak menyerah dan tak meminta maaf kepada Mbaknya ini, saya dengan sangat mudah untuk mele
Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman. Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya. Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya. Jasman manggut-manggut. Namun
Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
Saat meninggalkan kapster salon, wajah Widya benar-benar sumringah, karena berjalan dikawal oleh sangbodyguard-nya , yang tampan dan perkasa. Dan Jasman pun merasa, seolah-olah ia tengah mengawal seorang putri raja. Putri yang cantik. Benar. Secaraphysical, Widya adalah sosok wanita muda yang memiliki aura dan pesona yang membuat laki-laki mana pun yang melihatnya akan terpukau. Kulitnya kuning langsat, wajah oval, pipi laksana pauh dilayang, kata orang dulu, bibir agak tebal tapi mungil bak sepasang permata rubi, dan sepasang mata indah dan senantiasa seolah tersenyum. Ketika ia berjalan dengan dikawal oleh seorang pemuda yang ganteng dengan penampilanbodyguardsejati seperti dalam film-film, maka orang-orang langsung berasumsi, bahwa wanita cantik itu pastilah bukan wanita sembarangan.
Seminggu kemudian Widya memutuskan untuk keluar dari hotel, dan kembali ke rumahnya yang di kawasan Jakal. Dia ingin kembali ke kehidupan normalnya, dan menjalankan rutinitasnya sebagai manusia yang bersosialisasi dan berkarya. Toh tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sudah sangat yakin bahwa ia akan aman selama Jasman selalu ada di dekatnya. Rumah Widya berada di sebuah komplek perumahan elit di kawasan Jakal (Jalan Kaliurang). Suasananya sangat tenang dengan udara kiriman dari Gunung Merapi yang sejuk. Rumah itu berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Pada bagian samping selatan rumah induk ada sebuah bangunan tambahan berupa sebuah kamar tidur yang cukup luas berikut kamar mandi di dalamnya, yang disebut paviliun oleh sang pemiliknya, Widya. Di paviliun itu Jasman disuruh tempati.  
Entah mengapa, tiba-tiba Ningrum merasa sangat merindukan laki-laki itu. Kenangan-kenangan indah yang pernah ia lalui bersama laki-laki itu sontak mengusik kembali jiwa dan nuraninya. Lalu, tanpa sadar, saat sang mantannya itu masuk ke dalam kantin, ia memutuskan untuk melangkah hendak menyusulnya. Akan tetapi, belum beberapa langkah ia berjalan, ia terpaksa harus segera membalikkan badannya dan berdiri diam di tempatnya. Ternyata laki-laki itu hanya membeli beberapa kaleng minuman ringan dingin, lalu keluar lagi dan berjalan melewati koridor yang ke arah selatan, menuju areal parkir. Ningrum memutuskan untuk mengikuti laki-laki itu secara diam-diam dan hati-hati, setengah mengendap-endap. Pada sebatang pohon palem ia berdiri berlindung, matanya terus mengikuti Jasman. Saat mantan kekasihnya itu membuka pintu sebuah m
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or