“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.”
“Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?”
“Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
RING ROAD Barat, Taman Tirto, Bantul. Cuaca terik dan kering di bulan Juni. Angin selatan yang cukup kencang membentuk be berapa tornado kecil di sekitar pelataran sebuah kampus yang sangat luas. Ups...! Jasman cepat mengatupkan kedua matanya seraya selembar daun kering yang melayang dan menerpa wajahnya. Seorang teman satu fakultas dengannya merangkul lehernya dari belakang. Ia bernama Fadli, namun akrab dipanggil Fadel. “Pulang, yuk!” ujarnya, mengajaknya pergi dari tempat itu. “Eh, lu. Piye hasile? Sudah diterima judul skripsi, lu?” “Alhamdulillah, akhirnya lolos, bro!” sahut Fadli seraya tersenyum senang. “Wah, selamat ya, bro, gua ikut senang?”ucap Jasman tersenyum sembari menyod
Sepeninggal Fadli, dan setelah menyelesaikan makanannya, Jasman pun berkonsentrasi pada layar hapenya, berselancar di dunia Maya. Karena dia masih belummooduntuk memosting status FB-nya, maka dia hanya menelusuri status teman-temannya saja. Sekalipun tak sempat untuk memberikan komentar, setidaknya ia selalu berusaha untuk menitipkan jempol pada status-status yang ia jelajahi. Sementara kedai sate semakin ramai oleh pelanggan. Ini memang waktunya orang-orang untuk istirahat dan makan siang. Jasman tidak begitu memperhatikan para pelanggan kedai yang masuk, karena ia masih asyik masyuk berinteraksi dengan teman-temandumay-nya, serta membalas beberapa pesan dimessenger-nya. Mulutnya komat-kamit, terkadang tersenyum, atau tertawa kecil.&nb
Lalubody guardsatunya lagi menambahkan, “Bos kami adalah orang yang sangat penyabar. Tapi kesabaran manusia tetap ada batasnya. Itu yang harus Nyonya waspadai.” Lalu mendekatkan pipinya di samping pipinya si wanita cantik dan berkata dengan suara pelan, “Kami mampu melenyapkan apa pun tanpa bekas, wuiisshh, seperti asap, jika bos kami menginginkannya. Karena itu...ayuk, ikutlah kami, Nyonya Muda.” Si wanita dengan suara tinggi menolak: "Tidak! Saya tidak mau ikut!" "Pokoknya kamu harus ikut!" si laki-laki ber-tuxedo setengah membentak dan memaksa. "Aku peringatkan kamu seka
Akan tetapi betapa kagetnya si Tuan Arogan, dengan gerak refleks si pemuda menahan kepalan tangannya dengan punggung tangannya, lalu... Bughh...!! Dengan cepat pula tangan si pemuda menghantam ke samping, mendarat keras di perut bagian sampingnya. Tubuh si Tuan Arogan langsung hilang keseimbangannya. Namun sebelum tubuh besarnya itu jatuh, dengan cepat Jasman menangkap pergelangan tangannya dan memelintirnya ke samping disusul oleh dengan sentakan kaki si pemuda menghantam bagian lipat pahanya si Tuan Arogan. Si Tuan Arogan langsung menjerit keras. Rasa nyeri yang luar biasa terasa di sendi lengan kanannya. “Kalausampeyantak menyerah dan tak meminta maaf kepada Mbaknya ini, saya dengan sangat mudah untuk mele
Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman. Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya. Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya. Jasman manggut-manggut. Namun
Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
Saat meninggalkan kapster salon, wajah Widya benar-benar sumringah, karena berjalan dikawal oleh sangbodyguard-nya , yang tampan dan perkasa. Dan Jasman pun merasa, seolah-olah ia tengah mengawal seorang putri raja. Putri yang cantik. Benar. Secaraphysical, Widya adalah sosok wanita muda yang memiliki aura dan pesona yang membuat laki-laki mana pun yang melihatnya akan terpukau. Kulitnya kuning langsat, wajah oval, pipi laksana pauh dilayang, kata orang dulu, bibir agak tebal tapi mungil bak sepasang permata rubi, dan sepasang mata indah dan senantiasa seolah tersenyum. Ketika ia berjalan dengan dikawal oleh seorang pemuda yang ganteng dengan penampilanbodyguardsejati seperti dalam film-film, maka orang-orang langsung berasumsi, bahwa wanita cantik itu pastilah bukan wanita sembarangan.
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or