Sepeninggal Fadli, dan setelah menyelesaikan makanannya, Jasman pun berkonsentrasi pada layar hapenya, berselancar di dunia Maya. Karena dia masih belum mood untuk memosting status F*-nya, maka dia hanya menelusuri status teman-temannya saja. Sekalipun tak sempat untuk memberikan komentar, setidaknya ia selalu berusaha untuk menitipkan jempol pada status-status yang ia jelajahi. Sementara kedai sate semakin ramai oleh pelanggan. Ini memang waktunya orang-orang untuk istirahat dan makan siang.
Jasman tidak begitu memperhatikan para pelanggan kedai yang masuk, karena ia masih asyik masyuk berinteraksi dengan teman-teman dumay-nya, serta membalas beberapa pesan di messenger-nya. Mulutnya komat-kamit, terkadang tersenyum, atau tertawa kecil.
Pada saat ia kembali menyedot pipet es jeruknya dan memandang ke arah depan, sekilas ia melihat seorang wanita yang masih relatif muda—mungkin usianya sekitar 35 tahun--yang duduk berlawanan arah dengannya di depan sana. Entah sejak kapan wanita yang berpenampilan ala kalangan sosialita itu masuk ke situ, ia tak tahu.
Ketika pandangan mereka bentrok satu sama lain, dengan cepat Jasman dan wanita itu sama-sama membuang pandangan mereka ke arah lain.
Jasman agak merasa rikuh juga. Ia pun menggeleng-geleng pelan sembari mengembalikan pandangannya pada layar handphone-nya.
Dan hal yang sama pun kelihatannya dialami juga oleh si wanita cantik. Sesungging senyumnya terlukis di bibirnya indahnya bak sepasang permata rubi, merah merekah. Sembari ia menempelkan tisunya pada beberapa bagian wajah cantiknya ia kembali mencuri-curi lirik kepada si pemuda, Jasman.
“Ibu mau makan?” pertanyaan sang pelayan restoran membuyarkan semua yang ada dalam pikirannya.
“Oh, iya. Satenya jangan terlalu matang, ya Mas?” jawab wanita itu dengan suaranya pelan tapi terdengar jelas.
“Oh baik, Bu. Lalu minumnya...?”
“Fruit juice saja mungkin, ya? Ya, itu saja.”
“Baik, Bu.”
Sembari menunggu pesanan, wanita cantik itu mengambil handphone dalam tasnya, lalu membuka layarnya. Namun seolah-olah ada sesuatu kekuatan yang membuatnya lagi-lagi mengarahkan pandangannya ke arah si pemuda ganteng berambut panjang yang diikat ke belakang itu. Benaknya sedang menaksir usia si pemuda. Yang jelas masih jauh di bawahnya. “Mungkin dia mahasiswa kampus di sekitar sini,” batinnya. Karena si pemuda terlihat sedang asyik dengan layar hapenya, si wanita pun tak segan-segan untuk memandangnya lekat-lekat.
Akan tetapi, di luar dugaan, pemuda yang tengah ia perhatikan, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan otomatis melihat ke arahnya. Si wanita cantik tak mampu menyembunyikan salah tingkahnya, dan kulit wajahnya yang putih halus langsung bersemu merah. Tepi untungnya si pemuda, Jasman, mengangguk pelan ke arahnya dengan sikap hormat sembari tersenyum.
Jasman hendak mengembalikan perhatiannya pada layar hapenya, tetapi arah pandangan Jasman tertahan oleh kehadiran tiga orang laki-laki ke dalam kedai. Satu orang bertubuh agak gemuk yang dibalut oleh jas tuxedo. Topi fedora berwarna abu terang yang dilingkari dengan pita lebar berwarna hitam yang dikenakannya membuat wajahnya yang sebenarnya cukup tampan itu jadi terlihat arogan sekaligus berwibawa. Tampang dan penampilan golongan jetset. Sementara dua pria muda yang mengikutinya bertubuh tinggi, putih,dan memili face lebih mirip orang Korea. Rambut keduanya dicat warna pirang anjing. Jaket kulit hitam yang dikenakannya tetap tak mampu menyembunyikan otot kedua lengan mereka yang besar dan kokoh. Jadi keduanya mirip-mirip anggota mafia. Atau bisa jadi keduanya adalah sepasang body guard-nya laki-laki yang ber-tuxedo.
Saat laki-laki berpenampilan kaum jetset itu melangkah mendekati si wanita muda, Jasman langsung menduga mungkin ia adalah suami dari si wanita cantik. Atas dugaan itu, ia pun lantas kembali pada layar hape-nya. Emde Mallaow baru saja memosting sebuah cerpen. Ia selalu menyukai setiap postingan dari laki-laki yang masih satu daerah dengannya itu. Kebetulan juga Bang Emde Mallaow termasuk seniornya juga, karena beliau pernah kuliah di kampus yang sama juga dengannya.
Konsentrasi Jasman agak teralihkan oleh suara berat laki-laki di depannya terhadap di wanita muda yang didatanginya.
"Maaf, karena aku akhirnya menemukanmu juga," ucap pria itu. Suaranya dingin dan tanpa tekanan, tetapi mengandung daya amarah.
Jasman sebenarnya tak ambil peduli, karena toh sama sekali bukan urusannya. Bahkan ia berusaha untuk tidak mau mencuri dengar dengan ucapan laki-laki terhadap si perempuan. Namun karena jaraknya tak jauh, maka kata-kata laki-laki itu tetap jua tertangkap dengan baik oleh telinganya.
"Sampai ke ujung dunia pun kaupergi menghindar, aku akan tetap menemukanmu! Aku tidak akan pernah berhenti untuk mencari dan mendapatkanmu lagi. Kamu tidak akan pernah melepaskanmu! Karena itu, kamu tidak bisa pergi begitu saja dari kehidupan aku. Ingat itu!" Suara berat namun tegas di laki-laki mengisyaratkan bahwa si perempuan agar tidak lagi menghindarinya.
"Sudahlah Mas," jawab si wanita dengan suara halus dan pelan. "Melanjutkan hubungan kita tidak akan membawa kebaikan, selama orang-orang di sekitar Mas menolak mentah-mentah keberadaanku di samping Mas. Lagi pula, selama ini aku sama sekali tidak merasakan cintanya Mas terhadap aku. Jadi Mas, lupakan aku. Mas harus legowo dan membiarkan aku pergi dengan nyaman dari kehidupannya Mas."
"Tidak! Tidak bisa!" suara si pria sontak naik, membuat mata semua orang yang ada dalam kedai itu tertuju kepadanya.
Demikian juga Jasman. Ia memandang ke punggung si laki-laki itu, karena saat itu laki-laki itu sedang berdiri membelakanginya.
"Kamu jangan membuat kesabaranku hilang dengan keputusan sepihak mu. Kamu selalu menghindar untuk bertemu aku. Sekarang akan menemuimu di sini. Aku harap, kamu jangan membuatku kecewa dan marah. Jangan bersikap bodoh! Selama ini sudah memintamu baik-baik, kenapa kamu masih juga keras kepala?!"
"Sudah cukup Mas!" bentak si wanita. Terpancing juga emosinya jarupanya. "Selama ini aku sudah cukup bersabar bersama Mas. Namun jika batas perjanjian itu sudah berakhir, tentu aku pun sudah bebas untuk menentukan arah hidupku sendiri! Jadi, selama ini aku menghindar untuk bertemu lagi dengan Mas itu sudah tindakan yang wajar dan tepat. Seharusnya Mas paham, bahwa aku benar-benar sudah ingin pergi buat selamanya dari kehidupan Mas!"
"Baik!" ucap si pria, "Tapi ada beberapa hal penting yang harus kita bahas dan selesaikan. Setelah itu kamu boleh pergi pergi ke mana pun yang kamu mau, entah ke neraka sekalipun!"
"Ya monggo, Mas bicarakan saja sekarang!"
"Tidak! Kita harus bicarakan di tempat lain. Kamu harus ikut dengan kami!"
"Kami...?"
Belum sempat si wanita cantik menyelesaikan ucapannya, dua orang pria muda yang berdiri memeluk dada di belakangnya mendehem nyaris bersamaan lalu melangkah ke depan dengan sikap tenang dan santai. Keduanya memang tidak berbicara, namun sorot mata dan tampang tenang mereka seolah-olah memberi sinyal pada si wanita cantik bahwa mereka sangat berbahaya, sangat kejam dan tak berperikemanusiaan. Tampang-tampang pembunuh berdarah dingin.
Saat salah satu dari dua body guard itu berkata dengan pelan dan berat, "Ayolah Nyonya, ikut kami. Jangan membuat bos kami jadi hilang kesabarannya!"
Lalubody guardsatunya lagi menambahkan, “Bos kami adalah orang yang sangat penyabar. Tapi kesabaran manusia tetap ada batasnya. Itu yang harus Nyonya waspadai.” Lalu mendekatkan pipinya di samping pipinya si wanita cantik dan berkata dengan suara pelan, “Kami mampu melenyapkan apa pun tanpa bekas, wuiisshh, seperti asap, jika bos kami menginginkannya. Karena itu...ayuk, ikutlah kami, Nyonya Muda.” Si wanita dengan suara tinggi menolak: "Tidak! Saya tidak mau ikut!" "Pokoknya kamu harus ikut!" si laki-laki ber-tuxedo setengah membentak dan memaksa. "Aku peringatkan kamu seka
Akan tetapi betapa kagetnya si Tuan Arogan, dengan gerak refleks si pemuda menahan kepalan tangannya dengan punggung tangannya, lalu... Bughh...!! Dengan cepat pula tangan si pemuda menghantam ke samping, mendarat keras di perut bagian sampingnya. Tubuh si Tuan Arogan langsung hilang keseimbangannya. Namun sebelum tubuh besarnya itu jatuh, dengan cepat Jasman menangkap pergelangan tangannya dan memelintirnya ke samping disusul oleh dengan sentakan kaki si pemuda menghantam bagian lipat pahanya si Tuan Arogan. Si Tuan Arogan langsung menjerit keras. Rasa nyeri yang luar biasa terasa di sendi lengan kanannya. “Kalausampeyantak menyerah dan tak meminta maaf kepada Mbaknya ini, saya dengan sangat mudah untuk mele
Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman. Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya. Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya. Jasman manggut-manggut. Namun
Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
Saat meninggalkan kapster salon, wajah Widya benar-benar sumringah, karena berjalan dikawal oleh sangbodyguard-nya , yang tampan dan perkasa. Dan Jasman pun merasa, seolah-olah ia tengah mengawal seorang putri raja. Putri yang cantik. Benar. Secaraphysical, Widya adalah sosok wanita muda yang memiliki aura dan pesona yang membuat laki-laki mana pun yang melihatnya akan terpukau. Kulitnya kuning langsat, wajah oval, pipi laksana pauh dilayang, kata orang dulu, bibir agak tebal tapi mungil bak sepasang permata rubi, dan sepasang mata indah dan senantiasa seolah tersenyum. Ketika ia berjalan dengan dikawal oleh seorang pemuda yang ganteng dengan penampilanbodyguardsejati seperti dalam film-film, maka orang-orang langsung berasumsi, bahwa wanita cantik itu pastilah bukan wanita sembarangan.
Seminggu kemudian Widya memutuskan untuk keluar dari hotel, dan kembali ke rumahnya yang di kawasan Jakal. Dia ingin kembali ke kehidupan normalnya, dan menjalankan rutinitasnya sebagai manusia yang bersosialisasi dan berkarya. Toh tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sudah sangat yakin bahwa ia akan aman selama Jasman selalu ada di dekatnya. Rumah Widya berada di sebuah komplek perumahan elit di kawasan Jakal (Jalan Kaliurang). Suasananya sangat tenang dengan udara kiriman dari Gunung Merapi yang sejuk. Rumah itu berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Pada bagian samping selatan rumah induk ada sebuah bangunan tambahan berupa sebuah kamar tidur yang cukup luas berikut kamar mandi di dalamnya, yang disebut paviliun oleh sang pemiliknya, Widya. Di paviliun itu Jasman disuruh tempati.  
Entah mengapa, tiba-tiba Ningrum merasa sangat merindukan laki-laki itu. Kenangan-kenangan indah yang pernah ia lalui bersama laki-laki itu sontak mengusik kembali jiwa dan nuraninya. Lalu, tanpa sadar, saat sang mantannya itu masuk ke dalam kantin, ia memutuskan untuk melangkah hendak menyusulnya. Akan tetapi, belum beberapa langkah ia berjalan, ia terpaksa harus segera membalikkan badannya dan berdiri diam di tempatnya. Ternyata laki-laki itu hanya membeli beberapa kaleng minuman ringan dingin, lalu keluar lagi dan berjalan melewati koridor yang ke arah selatan, menuju areal parkir. Ningrum memutuskan untuk mengikuti laki-laki itu secara diam-diam dan hati-hati, setengah mengendap-endap. Pada sebatang pohon palem ia berdiri berlindung, matanya terus mengikuti Jasman. Saat mantan kekasihnya itu membuka pintu sebuah m
Jasman senyam-senyum ingat wajah Fadli.Fadel, Fadel, lukadang lucu juga.Sangat suka kalau bahasa wanita cantik, tapi ketika ada cewek cantik mau mendekat eh malah ngacir. “Kok Dik Jas senyam-senyum? Hayo...lagimikirinapa?” Pertanyaan Widyanti membuyarkan lamunan Jasman, dan dengan cepat ia menjawab, “Ah, itu, ada teman kuliah saya. Tadi waktu di kos dia tanya macam-macam ke saya pas saya cerita bahwa saya bekerja sebagai bodyguard-nya seorang wanita, istri seorang CEO.” “Lantas yang membuat Dik Jas senyam-senyum, apa?” “Iya, hal pertama yang dia tanyakan adalah: pasti bos lu itu wanita yang
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or