Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman.
Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya.
Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya.
Jasman manggut-manggut. Namun dalam hatinya merasa kasihan dan prihatin atas nasib wanita yang bersamanya itu, kendati dia belum tahu persis kondisi kehidupan seperti apa yang tengah dialami oleh sang wanita tersebut sebenarnya. "Mengapa Mbak Widya harus bersembunyi? Kenapa Mbak tidak tinggal bersama orang tua atau keluarga Mbak saja, misalnya? Kan keamanan Mbak bisa terjamin," tanya Jasman.
Widya masuk ke dalam kamar mandi, bersih-bersih, lalu keluar. "Mbak berasal dari Ungaran," ucapnya sembari melap wajah dan tangannya dengan handuk kecil. "Oh ya, Dik Jas mau minum apa?”
“Apa saja, Mbak, yang penting tak beralkohol."
Widya mengambil beberapa minuman ringan kaleng di kulkas, lalu meletakkannya di meja kecil di hadapan Jasman. Kemudian dia duduk bersandar di tempat tidurnya sambil berselonjor kaki.
"Orang tua atau keluarga Mbak hanya tau kalau saat ini Mbak masih bekerja di Jakarta," Widya lanjut bercerita. "Yeah, memang tiga tahun yang lalu Mbak masih bekerja di sebuah perusahaan trading multinasional. Lalu dua tahun yang lalu Mbak pindah ke sini dengan laki-laki... yang di restoran sate tadi itu. Dia putra seorang pengusaha sukses di Jakarta, tapi juga memiliki beberapa anak perusahaan di Jateng, dan dia menjadi CEO di perusahaan keluarganya itu. Ah, ceritanya panjang Dik Jas. Lambat laun Mbak akan ceritakan semuanya kepada Dik Jas."
Jasman menatap wajah Widya dan mengangguk-angguk pelan. "Iya Mbak. Yang penting Mbak Widya merasa nyaman dulu akibat kejadian tadi itu."
“Sebenarnya itu bukan kejadian yang pertama, Dik Jas. Sebelum Mbak memutuskan keluar dari kehidupannya, pun ia sudah sering melakukan penzoliman kepada Mbak dalam bentuk verbal. Dan yang tadi mungkin pertama kali ia melakukan kekerasan secara fisik.”
“Mudah-mudahan hal seperti tadi tidak diulangi lagi oleh mereka tadi, Mbak,”ujar Jasman, tanpa berkeinginan untuk memasuki lebih jauh ke urusan pribadi Widya. Cukup sebagai pendengar yang baik saja dulu.
"Mudah-mudahan,”sahut Widya sembari membuka minumang kalengnya, dan meneguknya. “Sebenarnya,”lanjutnya lagi, “ Mbak punya dua rumah di Jogja ini, Dik Jas. Namun jika Mbak merasakan hidup yang kurang nyaman seperti saat ini, Mbak biasanya lebih memilih kamar hotel seperti ini untuk bersembunyi."
Sekali lagi, Jasman saat ini hanya berposisi sebagai pendengar yang baik saja. Lagi pula, tak ada hal yang harus ia tanya atau ceritakan untuk saat ini. Dia masih menganggap Widya sebagai orang asing yang baru ia kenal. Dia tak ingin memberi kesan dirinya kepo kepada wanita cantik itu. Dia memilih untuk pasif dan membiarkan saja wanita di depannya untuk bercerita tentang segala hal mengenai dirinya.
Ya, baginya, Widya murni bukan siapa-siapa, paling tidak untuk saat ini. Tak ada hal atau perasaan apa pun yang terasa dalam hatinya kepada wanita itu, selain daripada rasa kasihan. Wanita itu saat ini sedang sangat membutuhkan perlindungan darinya, dan ia ikhlas untuk memberikannya.
Tiba-tiba Jasman teringat lagi pada Ningrum, sang mantannya yang telah menerima pinangan laki-laki lain atas keinginan orang tuanya. Laki-laki yang menggandengan tangannya tadi siang dengan mesra. Kendati demikian, di hatinya tetap menyimpan rasa cinta dan rindu yang besar kepada gadis berdarah bangsawan Jogja itu. Sekalipun sudah tak ada hubungan kasih lagi, telah putus --atau lebih tepatnya diputuskan secara paksa--namun rasa cintanya tak pernah pupus dalam hatinya. Ningrum tetap ada dalam ruang hati dan benaknya. Akar-akar cintanya masih tertancap kuat di taman hatinya, sampai kini, dan hingga sampai kapan pun. “Ah, Ningrum, aku masih belum mampu untuk melupakanmu, dan tak akan pernah bisa untuk selamanya. Kautelah membawa serta sebagian jiwaku, karena itu aku masih sangat cemburu ketika kauberjalan dengan laki-laki pilihan orang tuamu itu,” jerit batin Jasman. “Apakah kaumasih mengingatku? Apakah hatimu masih seperti hatiku yang selalu merindkanmu setiap saat?”
Tidak! Ningrum pun tak pernah melupakannya, pun setiap saat selalu mengingatnya. Tak ada alasan sedikit pun yang bisa membuatnya harus melupakan laki-laki yang merupakan cinta pertama dan sejatinya, apalagi untuk membencinya. Cinta tak pernah berubah. Ruang hatinya sudah tak punya celah lagi untuk menerima cinta laki-laki, termasuk untuk menerima cinta seorang Hendri Soma, tunangannya, pilihan orang tuanya. Terkadang gadis berdarah ningrat yang berwajah tak kalah cantiknya dengan Widyanti itu menangis jika mengenang kembali semua hal yang indah dan berkesan bersama Jasman. Oh, tidak, aku tidak pernah menganggap Mas Jasman sebagai mantanku, sebab dia tetap ada di hatiku, bantin Ningrum.
Tadi siang itu, sebenarnya Ningrum melihat Jasman yang berjalan bersama Fadli. Hendri Soma yang lebih dulu melihat Jasman, memintanya untuk berpura-pura tidak melihatnya lalu berpura-pura menampakkan kemesraan. Ia sangat terpaksa mengikuti kemauan tunangannya itu. Jika tak mengikuti keinginannya, ia takut laki-laki itu akan berbuat yang enggak-enggak terhadapnya. Ia sangat tahu watak Hendri Soma yang suka emosian dan tak mengenal sikon jika keinginannya tak dituruti.
Jika Ningrum bandingkan antara Hendri Soma dengan Jasman, maka ia seperti antara warna hitam dengan putih. Sikap Hendri masih kekanak-kanakan dan kurang adab, dan ia tak pernah merasakan kenyamanan saat jalan dengannya. Sementara Jasman adalah tipe pria yang menjadi idaman semua wanita. Kesetiaannya tak ia ragukan, lemah lembut dan sangat menghormati dirinya sebagai kekasih dan sebagai wanita, juga memiliki sifat melindungi yang sangat tinggi. Dari segi fisik pun, Jasman jauh meninggalkan Hendri Soma. Tinggi, kekar, dengan wajah tampan, face khas laki-laki blasteran Arab-Ajam. Sementara Hendri Soma tubuhnya pendek dan cenderung punya penampilan alay, matanya jelalatan, play boy, tetapi cemburunya over dosis. Dan laki-laki yang paling membuatnya sangat cemburu tentu saja adalah Jasman.
Pernah suatu hari, saat ia diajak oleh tunangannya itu untuk menikmati keindahan obyek wisata Candi Prambanan, sang tunangannya itu meminta fotonya untuk dipakai mengambil gambar mereka berdua, karena hapenya sendiri terlupa di mobilnya. Saat membuka galeri untuk melihat gambar-gambar yang tadi diambilnya, tiba-tiba tunangannya itu uring-uringan.
“Kenapa, Mas? Wajahnya kok langsung kencang begitu,”tanya Ningrum.
“Kaumasih menyimpan foto mantanmu itu, ya?”tanya Hendri Soma sembari membuang pandangannya ke arah lain.
“Iya, Mas, lupa...”
“Ah, lupa atau memang sengaja? Tak rela untuk dihapus?”sindir Hendri Soma. “Ya hapuslah. Kamu kan sudah jadi calon aku! Mana fotonya mesra-mesra lagi. Huh...!”
“Ya Mas, ntar aku hapus kalau sudah di rumah,” sahut Ningrum.
“Tidak! Hapus sekarang!”ucap Hendri Soma sembari mengembalikan hape itu kepada Ningrum.
“Kok, maksa sih, Mas?”
“Ya wajar aku maksa, kamu kan sudah jadi tunanganku!” Hendri Soma menaikkan tekanan suaranya untuk mengalamatkan kejengkelannya.
“Iya aku tau, tapi ntar di rumah Ning hapusnya...”
“Sini hapenya!”Hendri Soma langsung merampas lagi hape itu dari tangan Ningrum. “Ayo, kita pulang.”
“Kenapa kok cepat pulang, Mas? Kita belum lagi lama?”protes Ningrum.
Hendri Soma tak menanggapi. Dalam mobil pun laki-laki yang juga berasal dari daerah seberang seperti Jasman itu menyetir dengan mulut membisu. Karena tak mau diajak bicara, maka Ningrum pun ikut-ikutan membisu.
Hendri Soma tidak langsung membawanya pulang ke rumahnya, tetapi membelokkan arah laju mobilnya ke arah Jl. Malioboro. Masih dalam kondisi membisu tunangannya itu menarik tangannya, mengajaknya untuk masuk ke sebuah Mall dan langsung menuju sebuah gerai handphone. Tanpa banyak bertanya pada penjaga gerai, ia langsung menunjuk sebuah kotak hape bersegel yang tergolong mahal yang terpampang dalam etalase. Tanpa menanyakan harganya, ia langsung menyerahkan kartu kreditnya pada penjaga gerai.
“Kaupakai hape ini,”ucapnya sembari menyerahkan hape baru itu kepada Ningrum.
“Tapi dalam hape Ning itu banyak nomor-nomor penting yang harus Ning salin dulu,”protes Ningrum dengan wajah kecewa.
“Ah, gampanglah itu, ntar aku kirimkan saja lewat WA.”
Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
Saat meninggalkan kapster salon, wajah Widya benar-benar sumringah, karena berjalan dikawal oleh sangbodyguard-nya , yang tampan dan perkasa. Dan Jasman pun merasa, seolah-olah ia tengah mengawal seorang putri raja. Putri yang cantik. Benar. Secaraphysical, Widya adalah sosok wanita muda yang memiliki aura dan pesona yang membuat laki-laki mana pun yang melihatnya akan terpukau. Kulitnya kuning langsat, wajah oval, pipi laksana pauh dilayang, kata orang dulu, bibir agak tebal tapi mungil bak sepasang permata rubi, dan sepasang mata indah dan senantiasa seolah tersenyum. Ketika ia berjalan dengan dikawal oleh seorang pemuda yang ganteng dengan penampilanbodyguardsejati seperti dalam film-film, maka orang-orang langsung berasumsi, bahwa wanita cantik itu pastilah bukan wanita sembarangan.
Seminggu kemudian Widya memutuskan untuk keluar dari hotel, dan kembali ke rumahnya yang di kawasan Jakal. Dia ingin kembali ke kehidupan normalnya, dan menjalankan rutinitasnya sebagai manusia yang bersosialisasi dan berkarya. Toh tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sudah sangat yakin bahwa ia akan aman selama Jasman selalu ada di dekatnya. Rumah Widya berada di sebuah komplek perumahan elit di kawasan Jakal (Jalan Kaliurang). Suasananya sangat tenang dengan udara kiriman dari Gunung Merapi yang sejuk. Rumah itu berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Pada bagian samping selatan rumah induk ada sebuah bangunan tambahan berupa sebuah kamar tidur yang cukup luas berikut kamar mandi di dalamnya, yang disebut paviliun oleh sang pemiliknya, Widya. Di paviliun itu Jasman disuruh tempati.  
Entah mengapa, tiba-tiba Ningrum merasa sangat merindukan laki-laki itu. Kenangan-kenangan indah yang pernah ia lalui bersama laki-laki itu sontak mengusik kembali jiwa dan nuraninya. Lalu, tanpa sadar, saat sang mantannya itu masuk ke dalam kantin, ia memutuskan untuk melangkah hendak menyusulnya. Akan tetapi, belum beberapa langkah ia berjalan, ia terpaksa harus segera membalikkan badannya dan berdiri diam di tempatnya. Ternyata laki-laki itu hanya membeli beberapa kaleng minuman ringan dingin, lalu keluar lagi dan berjalan melewati koridor yang ke arah selatan, menuju areal parkir. Ningrum memutuskan untuk mengikuti laki-laki itu secara diam-diam dan hati-hati, setengah mengendap-endap. Pada sebatang pohon palem ia berdiri berlindung, matanya terus mengikuti Jasman. Saat mantan kekasihnya itu membuka pintu sebuah m
Jasman senyam-senyum ingat wajah Fadli.Fadel, Fadel, lukadang lucu juga.Sangat suka kalau bahasa wanita cantik, tapi ketika ada cewek cantik mau mendekat eh malah ngacir. “Kok Dik Jas senyam-senyum? Hayo...lagimikirinapa?” Pertanyaan Widyanti membuyarkan lamunan Jasman, dan dengan cepat ia menjawab, “Ah, itu, ada teman kuliah saya. Tadi waktu di kos dia tanya macam-macam ke saya pas saya cerita bahwa saya bekerja sebagai bodyguard-nya seorang wanita, istri seorang CEO.” “Lantas yang membuat Dik Jas senyam-senyum, apa?” “Iya, hal pertama yang dia tanyakan adalah: pasti bos lu itu wanita yang
Segala sesuatu terkadang tidak sejalan dengan angan, harapan, dan rencana. Tanpa sebuah argumen yang bisa Jasman pegang, kedua orang tua Ningrum tidak mendukung hubungannya dengan putri tunggal mereka itu. Ortu Ningrum tidak menginginkan putrinya itu untuk berhubungan, apalagi menikah, dengan laki-laki dari pulau seberang. Tetapi menurutfeelingJasman, itu hanyalah alasan yang mengada-ada saja. Kalau alasan penolakan itu hanya karena dia seorang pemuda dari pulau seberang, tentu semuanya bisa dimusyawarahkan. Namun Jasman tak perlu mempertanyakan alasan yang aneh itu kepada ortunya kekasihnya itu. Lagipula, orang tua mana pun bebas milih dan berhak untumenolak atau menerima siapa pun untuk menjadi menantunya. Dia cukup memakluminya saja. Bahwa kekasihnya itu berasal dari keluarga bangsawa dan terpandang, mungkin dari segi ekonomi juga, adalah memang sebuah kenyataan. O
Keduanya pun langsung meluncur ke tempat tujuan. Jarak antara Jl. Jend. Sudirman dengan Alun-Alun Selatan agak sedikit jauh. Namun karena kondisi jalan saat itu tidaklah padat, maka tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di tempat tujuan. Malam itu suasana kawasan wisata malam itu tidaklah terlalu padat, sehingga areal untuk duduk-duduknya masih sangat luas. Hal pertama yang dilakukan oleh Jasman dan Widya di tempat itu adalah naik odong-odong (mobil gowes yang dihias dengan lampu warna-warni). Widya begitu senang menaiki mobil itu, duduk di jog bagian belakang berdua dengan sang pengawal gantengnya. Ia merasa seperti sepasang pengantin baru. Ia menyandarkan tubuhnya di lengan Jasman. Jasman membiarkannya, dan sekali-kali ia menoleh dan tersenyum kepada Widya. Pada
Di lantai atas itu hanya terdiri dari dua kamar dan satu ruang santai yang luas. Satu kamar tidur yang biasanya digunakan oleh pemiliknya untuk tidur siang, dan satunya kamar tidur yang telah diubah menjadi kamar perpustakaan. Sementara ruangan santainya mungkin juga sekaligus sebagai sejenis home theatredanmusicroom, juga ada di bawah layar terpampang sebuah TV flat yang lebar layarnya. Mungkin TV tipe 1080p. Lalu di tiap sudut kamar terpasangspeeker wooferyang disamarkan dengan warna ruangan yang warna merah maron. Di ruangan itu juga ada sebuah grand piano dengan merek yang hanya mampu dikoleksi oleh kalangan berkelas, tentunya. “Dik Jas duduk saja dulu ya, Mbak mau masuk ke kamar dulu. Bersih-bersih dulu,”ucap Widyanti. Satu cubitan kecil mendarat di pipi kiri sangbodyguardgantengn
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or