Segala sesuatu terkadang tidak sejalan dengan angan, harapan, dan rencana. Tanpa sebuah argumen yang bisa Jasman pegang, kedua orang tua Ningrum tidak mendukung hubungannya dengan putri tunggal mereka itu.
Ortu Ningrum tidak menginginkan putrinya itu untuk berhubungan, apalagi menikah, dengan laki-laki dari pulau seberang. Tetapi menurut feeling Jasman, itu hanyalah alasan yang mengada-ada saja. Kalau alasan penolakan itu hanya karena dia seorang pemuda dari pulau seberang, tentu semuanya bisa dimusyawarahkan. Namun Jasman tak perlu mempertanyakan alasan yang aneh itu kepada ortunya kekasihnya itu. Lagipula, orang tua mana pun bebas milih dan berhak untumenolak atau menerima siapa pun untuk menjadi menantunya. Dia cukup memakluminya saja. Bahwa kekasihnya itu berasal dari keluarga bangsawa dan terpandang, mungkin dari segi ekonomi juga, adalah memang sebuah kenyataan. O
Keduanya pun langsung meluncur ke tempat tujuan. Jarak antara Jl. Jend. Sudirman dengan Alun-Alun Selatan agak sedikit jauh. Namun karena kondisi jalan saat itu tidaklah padat, maka tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di tempat tujuan. Malam itu suasana kawasan wisata malam itu tidaklah terlalu padat, sehingga areal untuk duduk-duduknya masih sangat luas. Hal pertama yang dilakukan oleh Jasman dan Widya di tempat itu adalah naik odong-odong (mobil gowes yang dihias dengan lampu warna-warni). Widya begitu senang menaiki mobil itu, duduk di jog bagian belakang berdua dengan sang pengawal gantengnya. Ia merasa seperti sepasang pengantin baru. Ia menyandarkan tubuhnya di lengan Jasman. Jasman membiarkannya, dan sekali-kali ia menoleh dan tersenyum kepada Widya. Pada
Di lantai atas itu hanya terdiri dari dua kamar dan satu ruang santai yang luas. Satu kamar tidur yang biasanya digunakan oleh pemiliknya untuk tidur siang, dan satunya kamar tidur yang telah diubah menjadi kamar perpustakaan. Sementara ruangan santainya mungkin juga sekaligus sebagai sejenis home theatredanmusicroom, juga ada di bawah layar terpampang sebuah TV flat yang lebar layarnya. Mungkin TV tipe 1080p. Lalu di tiap sudut kamar terpasangspeeker wooferyang disamarkan dengan warna ruangan yang warna merah maron. Di ruangan itu juga ada sebuah grand piano dengan merek yang hanya mampu dikoleksi oleh kalangan berkelas, tentunya. “Dik Jas duduk saja dulu ya, Mbak mau masuk ke kamar dulu. Bersih-bersih dulu,”ucap Widyanti. Satu cubitan kecil mendarat di pipi kiri sangbodyguardgantengn
Peristiwa itu pun terjadi untuk pertama kalinya di antara mereka berdua. Tanah yang telah cukup lama kering kerontang kini telah tercurahi hujan yang sangat lebat, air pun menggenang dan meluap. Widyanti benar-benar telah diajak oleh sangbodyguardtampannya hingga ke langit biru. Jasman bukan hanya tampan, namun juga perkasa. Ia laksana seekor kuda yang sangat kuat dan liar dengan tenaga yang prima. Seekor kuda blasteran kuda Sumbawa dan Kuda Pakistan yang tangguh. Widyanti dapat merasakan begitu jauh berbeda dari yang diperolehnya dari Galih Sugondo. Dari mantan suaminya itu ia lebih banyak hanyut dalam kekecewaan demi kekecewaan. Seolah-olah kekecewaan yang panjang itu langsung terbayar tuntas oleh Jasman hanya dengan sekali pacu! Dalam satu malam itu, ia benar-benar ia merengguk puncak kenikmatan demi puncak kenikmatan yang sulit untuk ia lukis
Jasman mencoba membesarkan hati wanita itu mengusap-usap pelan punggungnya dengan ibu jari kirinya, dan membiarkan lengan jaketnya basah oleh air matanya. "Mbak harus tetap tabah dan tegar, kendati terasa sangat berat. Kata orang bijak, hidup ini kombinasi dari dua hal yang saling bertentangan, antara bahagia dan derita, senyum dan tangis, suka dan duka. Dan setiap kita pasti akan merasakan saat-saat yang paling buruk dan saat-saat yang paling indah dalam hidup kita. Saya...memang belum pernah merasakan hidup berumah tangga, Mbak, namun sakitnya dikhianati itu mungkin pedihnya sama dengan kehilangan itu sendiri. Kehilangan seseorang yang kita cintai karena berpindah ke lain hati. Saya juga... pernah merasakan itu. Sakit sekali, memang." Jasman mengajak kembali Widya untuk duduk di tempat semula. "Memang, Dik Jas, Mbak rasa-rasanya kura
Ketika telah berdiri berhadapan dengan Galih Sugondo dan ketiga pengawalnya, wajah Jasman agak mendongak, menebarkan pandangannya ke segala penjuru, lalu berkata seolah-olah kepada angin yang sedang berhembus serta rerumputan yang digoyangnya, "Wah, sudah nambah jagoan satu lagi rupanya? Hahahae...Saya semakin merasa aneh saja, ya? Kok, masih ada saja manusia aneh yang bertingkah seperti orang dungu demi mengejar wanita yang justru sangat membencinya." "He, bocah sombong!" bentak Galih Sugondo, pitamnya langsung naik ke ubun-ubunenya. "Saya peringatkanyou, jangan ikut campur urusan saya. Saya..." "Oh, tidak bisa!" potong Jasman dengan suara yang tak kalah tingginya sembari menegakkan telunjuk tangan kanannya ke depan. "Nyonya Widya sekarang adalah tuan saya! Artinya, keselamatan beliau menjadi tanggung jawab saya! Sama persis yang
Serangan demi serangan terus dilakukan oleh Galih Sugondo dan ketiga pengawalnya kepada Jasman. 'Hadiah' tamparan yang barusan diterimanya tak membuat mereka kapok dan mengurungkan serangannya. Mungkin karena tak ingin jadi pecundang dan pengecut, keempatnya pun seolah-olah tak merasakan bilur bekas tamparan dari si pemuda pada pipih mereka. Menyaksikan perlawanan yang tak seimbang dari segi ketinggian ilmu beladiri, justru menjadikan pertunjukan itu sama sekali tak menegangkan. Yang ada penonton terus menderaikan tawa mereka dengan lepas. Ketegangan benar-benar telah berubah menjadi ajang kontes tawa. Dan lagi-lagi tawa riuh penonton pecah ketika suatu momen Jasman berhasil melakukan sebuah gerakan aneh dan demikian cepat dengan melemparkan tubuhnya ke belakang, dan tau-tau ia menghantam. Tubuh sang Big boss pun harusnya akan jatuh tergeletak jika ia tak ditahan. Malu dan gusar ma
Tongkat baseball terlempar dari tangan Galih Sugondo bersamaan dengan suara jeritannya yang tinggi. Wajahnya meringis menahan sakit yang sangat pada tangan kanannya. Ternyata beberapa jemari tangan kanannya mengalami keretakan akibat sabetan keras ikatan pinggang kulit tebal Jasman. Terpaksa ia menjinjing tangannya itu. Saking jengah perasaannya, Jasman tak ambil peduli dengan apa yang dirasakan oleh laki-laki yang berusia nyaris seteng baya itu. Ia belum menghentikan serangannya. Sabetan-sabetan dengan ikat pinggang kulitnya masih terus ia lakukan, menyasar bagian-bagian tubuh lain Galih Sugondo: lengan, pinggang, pundak, punggung. Dan titik terakhir yang yang dihajar oleh Jasman adalah pantat besarnya. Bukan hanya sekali Jasman menyabetkan ikat pinggangnya pada tempat itu, tapi berkali-kali.
Widya terdiam sesaat, mencoba memahami ucapan Jasman yang terakhir, sebelum berkata, "Oh ya Dik, kejadian tadi Mbak videokan, lho." Ia memperbaiki posisi duduknya, lalu membuka video hasil rekaman di hapenya, dan memperlihatkannya pada Jasman. "Ini Dik..." Jasman hanya meliriknya sesaat lalu berkata, "Mbak kirim ke WA saya, ya? Ntar di paviliun saya lihatnya." "Ok, Say...!" Lagu "Lady " dari Kenny Rogers mengalun indah dari sound system mobil: Lady, I'm your knight in shining armor and I love you You have made me what I am and I am yoursMy love, there's so many ways I want to say "I
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or