Braakkk!
Suara meja digebrak, menyiutkan nyali Aditya, yang hanya bisa menundukkan kepalanya. Amarah Abraham benar-benar sudah mencapai puncaknya. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana meminta putra semata wayangnya agar bersedia meneruskan bisnis IT yang sudah ia rintis berpuluh-puluh tahun lamanya.
“Apa yang kamu harapkan dengan menjadi seorang pengacara?” tanya Abraham menatap tajam Aditya.
Aditya bergeming.
“Tidak bisa menjawab?”
“Papa menawarkan kamu untuk menjadi penerus bisnis Papa, tetapi kamu justru memilih menjadi seorang pengacara. Apa sebaiknya Papa jual saja semua bisnis yang sudah susah payah Papa rintis? Begitu?”
Aditya menghela nafasnya pelan. Ia tidak berani menjawab apa pun pertanyaan papanya, akan tetapi ia tidak juga berminat menggeluti bisnis warisan orangtuanya.
“Baik. Dalam diammu, Papa bisa menarik kesimpulan. Kamu ingin menjadi seorang pengacara bukan?”
Aditya mengangguk dengan semangat. Ia mengira Abraham sudah mengerti dirinya.
“Oke. Silakan pilih universitas mana yang akan menjadi jembatan untuk mewujudkan cita-citamu itu, tapi… pikirkanlah cara untuk membayar semua biayanya, karena Papa tidak akan mengeluarkan sepeser pun untuk kuliahmu!” Kalimat Abraham meninggalkan nyeri di sudut hati Aditya. Ia yang mengira akan mendapatkan dukungan penuh dari sang papa, harus terjungkal dari angannya setelah mendengar ultimatum Abraham yang baru saja ia dengar.
Abraham meninggalkan ruang makan, melangkah tegap dan tegas, menjauh dari sang anak yang tidak juga bersedia mengikuti keinginannya. Ia tidak habis pikir, di saat anak orang lain sangat ingin menjadi penerus usaha orangtuanya, Aditya justru menolak mentah-mentah kesempatan yang ada di depan matanya, memilih menjadi seorang pengacara.
Aditya bangkit dari duduknya, kembali masuk ke kamarnya. Maafkan Adit, Pa. Kali ini Aditya akan berusaha menggapai cita-cita Aditya menjadi pengacara sukses. Aditya akan menunjukkan pada papa dan mama, Aditya bisa mewujudkannya, tekadnya dalam hati.
-0-
Empat tahun lamanya Aditya berusaha mencukupi sendiri semua kebutuhan perkuliahannya. Ia kuliah sambil bekerja. Terkadang ia menjadi tukang cuci piring di rumah makan padang depan kampusnya, atau ikut menjaga warnet kampus milik koperasi mahasiswa kampusnya. Di malam hari, ia akan memberikan les privat pada orang tua yang anaknya mengalami kesulitan dalam bahasa Inggris atau Matematika.
Hari ini adalah hari wisudanya sebagai lulusan fakultas hukum dengan capaian nilai IPK tertinggi di kampusnya. Senyumnya mengembang sempurna, tapi itu hanya sesaat. Ada sedikit harapan tersemat dalam hati, orangtuanya hadir melihat dirinya berhasil lulus dengan nilai sempurna. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Abraham tidak pernah menunjukkan sedikit pun dukungannya kepada putra tunggalnya itu.
Aditya melepas toga dan baju wisudanya. Ia melipat dan segera mengembalikan ke koperasi mahasiswa. Pulang dengan sepeda motor maticnya menembus jalanan yang begitu panas. Setibanya di rumah, ia menggantungkan tasnya di balik pintu kamar, dan bergegas ke ruang makan, mengisi perutnya yang sudah mulai keroncongan.
Hari wisudanya seperti hari-hari biasa. Tidak ada acara selametan yang biasanya diadakan sebuah keluarga sebagai ujud syukur karena sudah berhasil menyelesaikan pendidikan terakhir.
Hari selanjutnya, Aditya mulai melamar pekerjaan ke kantor-kantor advokat di Jakarta. Dalam sebulan hampir sekitar 5o lamaran yang ia sebar, namun belum juga ada jawaban dari kantor -kantor itu. Hingga suatu hari, ada panggilan yang memintanya untuk datang ke kampusnya, mengikuti wawancara sebuah kantor advokasi terkenal di Jakarta. Tanpa seleksi berbelit, Aditya berhasil melewati semua tes yang diberikan dan diterima sebagai pengacara muda di sana.
Empat tahun sudah dirinya berkarir sebagai pengacara muda dengan karirnya yang terus menanjak. Tanpa terasa, Abraham beranjak semakin tua dan ingin segera pensiun dari rutinitasnya sebagai pemimpin perusahaan IT. Perbincangan mengenai penerus bisnisnya, yang hampir 8 tahun tidak pernah disinggung, kini diangkat lagi oleh Abraham.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Abraham tiba-tiba menanyakan pekerjaan yang digeluti Aditya setelah sekian lama bersikap acuh. Aditya terkejut. Dengan agak terbata-bata ia menjawab pertanyaan Abraham.
"Ba-Ba-Baikk, Pa." Meski sikap Abraham cenderung dingin terhadapnya, Aditya tetap tidak berani bertingkah melewati batas. Bagaimana pun juga, Abraham adalah sosok ayah yang baik meski terkadang mereka sering terlibat percekcokan seperti sekarang ini.
"Apakah kau pernah memperhatikan Papamu ini?" tanya Abraham dengan nada biasa namun menusuk kalbu Aditya. Aditya menghentikan suapannya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah pria yang duduk di seberangnya. Aditya merasa tersudut. Wajah penuh kharisma di hadapannya itu kini mulai banyak keriput, terlihat kuyu dan begitu kelelahan. Aditya menundukkan kepalanya.
"Sekarang, apakah Papamu yang sudah mulai bau tanah ini boleh meminta satu permohonan padamu?"
Aditya mulai merasa semakin bersalah. Perasaannya pun menjadi tidak enak. Tanpa sadar, ia menganggukkan kepalanya.
"Apakah jawabanmu akan sama seperti delapan tahun yang lalu? Tidak akan mengabulkan permintaan Papa, menjadikanmu sebagai pemimpin perusahaan IT rintisan Papamu ini?"
Aditya mendesah kesal dalam hati. Instingnya benar-benar tepat, dan ayahnya sudah berhasil menyudutkannya hingga merasa bersalah karena sudah menolak permintaannya.
"Maaf, Pa. Jawaban Aditya tetap sama."
"Baik, kalau begitu. Jika kamu memang benar-benar cinta mati dengan pekerjaanmu itu, maka Papa harap kamu mau mengabulkan permintaan Papamu untuk yang terakhir kali."
Aditya menatap Abraham. "Maksud Papa apa?"
"Silakan kamu geluti pekerjaanmu sebagai pengacara, tapi dengan syarat, kamu harus bersedia menikah dengan anak dari sahabat Papa."
Deg. Aditya tidak tahu harus memberi respon seperti apa.
"Menikah? Papa ingin menjodohkan Aditya begitu?" Pengacara muda itu mengulangi pernyataan sang papa.
"Seperti itu." Abraham menjawab singkat.
"Pa.. Papa tidak bisa semena-mena seperti itu," Aditya protes.
"Atau jika kamu keberatan, kamu besok harus sudah hadir di kantor Papa." Abraham mulai menunjukkan sikap otoriternya yang tidak ingin dibantah.
"Bagaimana? Atau kamu ingin Mama kamu pergi dari sisimu untuk selamanya?" Pria setengah tua itu mulai menggunakan kelemahan Aditya.
"Pa!" seru Aditya gelisah.
"Tolong kamu pikirkan baik-baik. Pilihanmu hanya ada dua. Papa ingin jawabanmu satu jam lagi."
Abraham meinggalkan ruang makan, menyusul Lisa, istrinya yang sudah lebih dulu menyelesaikan makan malamnya dan kini sedang menonton televisi.
Aditya meletakkan sendok dan garpunya. Nafsu makannya menguap begitu saja seiring permintaan yang diajukan Abraham.
Apa-apaan ini! Batin Aditya. Apa sih yang sedang ada di pikiran papa?
Menikah bukan sekedar ijab lalu selesai. Papa kan jelas-jelas paham itu. Waktu yang diberikan padanya hanya satu jam, dan itu tidaklah cukup, dua pilihan yang sama beratnya.
Aditya mengacak-acak rambutnya. Apa yang harus ia lakukan? Apa dirinya kabur saja dari rumah, ketimbang memilih salah satu, yang semuanya tidak ingin ia lakukan, paling tidak untuk dilakukan dalam waktu dekat.
Ia juga tidak tertarik menjadi ceo perusahaan IT milik papanya, yang menurutnya tidak menantang sama sekali.
Ia belum ingin menikah. Dirinya masih ingin menikmati kesendiriannya dan sensasi melewati berbagai tantangan untuk menjadi pengacara terkenal
Gadis seperti apa yang akan dijodohkan dengannya. Setidaknya, gadis itu haruslah cerdas dan cantik, agar bisa mengimbangi dirinya, dan yang terpenting, tidak banyak bicara. Ia paling benci dengan gadis yang cerewet.
Aaaargh! Otaknya mendadak buntu.
Seorang gadis cantik menuruni satu per satu anak tangga dengan begitu anggun. Rambut lurus hitam legamnya melambai tertiup angin yang berebut masuk dari pintu utama rumah bernuansa modern itu. Ketika langkah kakinya menapaki anak tangga terakhir, dirinya dikejutkan oleh panggilan kakak pertamanya, Bima. "Al!" Gadis itu mengangkat kepalanya. Seketika senyum sempurna mengembang di wajah ayunya. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh semangat. "Kakak!" serunya menghambur ke dalam pelukan pria berjambang lebat, dengan rambut pendek sedikit ikal itu. Bima tertawa bahagia. Adik bungsu kesayangannya ini benar-benar merindukan dirinya. Mereka melepas rindu dalam pelukan penuh haru. "Mana Kak Nita? Trus Baby J mana? Kok nggak diajak sih Kak? Nggak tau apa kalau Al kangen banget sama Si Endut itu?" Gadis bernama Alleya itu memajukan bibirnya, bersungut kesal karena tidak
Rita kembali menghubungi putrinya, namun hingga panggilannya yang ke sepuluh, tidak juga di angkat Alleya. Perasaannya mulai cemas. Pergi kemana anak gadisnya itu. Bima dan Ryan juga belum menampakkan batang hidungnya. Kelihatannya mereka masih belum bangun dari tidurnya. Riita sudah menyiapkan gaun mana yang akan dipakai di acara makan malam nanti. Alleya buru-buru memarkirkan mobil kecilnya di garasi luas rumah orang tuanya. Ia melangkah masuk dengan tergesa. Dirinya hampir lupa, jika pertemuan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya, diadakan hari ini. "Mama!" Sapanya ketika tampak di ruang tamu sosok mamanya yang tengah menggengam erat ponsel di tangan kanannya. "Alleya!! Kemana saja kamu ini?" tegur Rita setengah kesal. "Maaf, Ma. Toko tadi sedang ramai, jadi Al hampir lupa dengan acara nanti malam," jawab Alleya, menundukkan kepalanya, merasa bersalah. Rita men
Alleya menatap meja yang penuh dengan hidangan jawa. Dengan semangat empat lima, Alleya mengambil menu kesukaannya dan mulai menikmatinya dengan sepenuh jiwa. Ia tidak memperhatikan kedatangan Aditya. Semua orang di meja itu menikmati hidangan yang tersaji, kecuali Aditya yang masih berusaha menerima kenyataan yang ada. "Mari, Nak Aditya. Jangan menunggu makanannya menjadi dingin," ajak Rudy kepada Aditya yang menatap kosong piringnya. "Oh, eh, iya Om,"Aditya menjawab dengan salah tingkah diikuti tatapan tidak suka Ryan dan Bima. Ia mulai mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan beberapa sayur. "Sedang diet ya?" tanya Bima menyindir Aditya. "Hah? Oh, nggak Kak. Tadi di rumah sudah sempat mengisi perut dan sekarang masih agak kenyang." Aditya keder juga melihat tatapan tidak suka kedua kakak calon istrinya itu. Apakah sikapnya tadi sudah
Alleya hanya diam saja saat mobil Aditya meluncur meninggalkan restoran tempat mereka makan siang bersama hari ini. "Setiap hari, aku akan mengajakmu makan siang bersama. Jadi, tidak perlu aku jemput seperti tadi. Jam 12 tepat, aku sudah berada persis di depan rukomu, dan aku harap dirimu sudah ada di sana." Alleya sebenarnya malas menanggapi perkataan Aditya, tapi demi tata krama, ia membalas dengan anggukan kepala tanpa bicara apa-apa. Aditya terus membawa mobilnya, mengantarkan Alleya kembali ke rukonya. Alleya membanting pintu ruangannya. Huuh! Dasar sok ganteng! Andai bukan permintaan papa mamanya, ia tidak ingin menerima ajakan Aditya untuk makan siang bersama. Anak tetangga yang sedang kelaparan di jalan? Sialan! Pekik Alleya, sambil melepas topeng bopeng dari wajahnya. Ia mengipasi dirinya dengan majalah mode bulan ini. Jika tidak sedang dalam rangkaian peny
Kau bukan levelku. Perkataan Aditya terus terngiang-ngiang di telinga Alleya. Iaberguling-guling di atas pembaringannya. Kau bukan levelku! Emosi Alleya meletup-letup di kepalanya. Ia menutup wajahnya dengan bantal sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas pembaringannya. Kau bukan levelku!! Aaaaaaarrrrrggghhhh! Alleya berteriak. Ia lantas menghentikan aksinya. Bangun dari tidurnya, meraih secarik kertas dan pena, yang ada di atas meja kecil di samping pembaringannya, menuliskan nama Aditya di kertas itu, dengan penulisan huruf kapital. Ia lalu berjalan membuka laci meja kecil, mengeluarkan selotif bening besar, kemudian menempelkan kertas itu di atas gulingnya. Ia mengikat gulingnya dengan syal yang kebetulan berada di samping bantal, lalu menggantungkan kain syal yang sudah sedem
Alleya terpaksa mengijinkan Aditya ikut dalam acara joggingnya minggu ini. Niat hati ingin nongkrongin tetangga ujung blok, malah ia harus kembali melakukan penyamaran karena kedatangan Aditya yang tiba-tiba. Sebenarnya ia ingin meninggalkan Aditya yang masih syok, karena terkejut melihat dirinya yang menggunakan masker tepung. Akan tetapi, Rita, sang mama, memaksa agar dirinya menunggu Aditya, dan mengajak calon mantunya itu ikut berjogging bersama. Ditengah rasa kesalnya, Alleya mendadak senyum-senyum dan tertawa sendiri. Bayangan wajah Aditya yang begitu terkejut saat melihat wajah putihnya, terus membayang di benaknya. Dia benar-benar tidak menyangka, jika pria sok tampan di depannya ini, ternyata seorang yang penakut. Merasa dirinya menjadi bahan tertawaan oleh Alleya, Aditya langsung memutar badannya menatap Alleya dingin. "Puas tert
Aditya sedang mengantri tiket menonton bioskop yang mulai mengular sejak dirinya bergabung dalam barisan antrian. Sedangkan Alleya duduk manis menunggu sang kekasih yang sedang berjuang mendapatkan tiket untuk mereka berdua. Antrian segini banyak, kapan filmnya akan mulai diputar, rutuk Aditya yang berdirinya mulai gelisah. Alleya mengetuk-ketukkan ujung ponselnya ke keningnya. Ia sedang memikirkan, dari sekian banyak rencana yang ia dapat dari Nia, mana yang akan ia praktekkan hari ini. Kesempatan terbuka lebar tapi dirinya justru belum siap mengeksekusi salah satu dari sekian banyak rencana yang sudah ia dapatkan dari asisten tokonya. Lihat saja, aku akan membuatmu mundur teratur, hingga akhirnya membatalkan rencana perjodohan mereka. Alleya terkekeh-kekeh sendiri membayangkan hal itu, membuat Aditya yang masih mengantri dan melihat Alleya, menatapnya tajam tanpa berkedip. Su
"Mama...!" panggil Alleya pagi itu. Rita yang sedang sibuk mencabuti rumput yang mengganggu beberapa tanaman hias kesayangannya, menengok ke belakang mencari bayangan putrinya. "Ada apa? Pagi-pagi kok sudah berteriak-teriak mengejutkan orang." Rita melihat putrinya yang berjalan ke arahnya, tampak sedang kebingungan. "Mama, lihat topeng Al tidak?" Alleya gusar setengah mati. Ia sama sekali tidak menemukan topengnya, padahal satu jam lagi si balok es akan datang menjemputnya. "Lah, semalam Al taruh di mana? Mama nggak lihat. Bukannya Al melepasnya di kamar mandi kamar Al?" Rita meletakkan rumput-rumput hasil berkebunnya ke tong sampah. "Iya, semalam Al taruh di washtafel kamar mandi, tapi kok sekarang tidak ada," gumam Alleya. "Coba dicari sekali lagi. Jangan-jangan sudah Al simpan di laci tapi Al lupa." Rita mengajak
"Apan sih? Pagi-pagi gini sudah membicarakan hal yang sangat membosankan! Cari topik lain kenapa?" Aditya menggerutu. Dirinya malas sekali jika sang istri mulai membicarakan hal yang sama setiap pagi. Sebenarnya Aditya sendiri sudah mulai memikirkan permintaan papanya itu. Melihat Abraham yang kian hari kian terlihat lelah, membuat Aditya mulai memikirkan permintaan sang papa. Akan tetapi, dirinya masih tetap diam, tidak mengatakan apa pun kepada Alleya maupun Abraham."Ya sudah, kalau tidak bersedia. Jika suatu hari papa marah besar padamu karena aku jatuh sakit akibat kelelahan, aku tidak akan lagi membantumu. Dan jika sampai mama juga ikut mengutukmu karena sudah membahayakan calon pewaris perusahaannya, aku juga tidak akan mencegahnya," ujar Alleya bangkit dari duduknya lalu meletakkan sesuatu di atas meja riasnya.Apa maksudnya? Aditya menatap kepergian Alleya. Ia mengikuti gerak-gerik Alleya, dan gerakan All
Pintu kamar VIP itu terbuka secara perlahan. Alleya menatap ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, menanti penampakan sosok yang masih berdiri di luar. Alleya menatap Aditya yang melangkah pelan memasuki kamar rawat inap Abraham. Kedua netra pria itu, menatap Alleya yang kala itu tampak begitu bingung."Ada apa?" Bisik Aditya begitu pria itu berdiri tepat di samping Alleya. Saat Alleya hendak menceritakan hal yang tengah terjadi, tiba-tiba suara sinis Abraham menyentil telinga Aditya."Hmm, kemana saja kamu? Sudah selesai mengurusi pacar modelmu itu? Rubah betina tak tahu diri!"Aditya memandang Alleya dengan ekspresi bingung. Alleya mengedikkan kedua bahunya, sama-sama tidak mengerti dengan semua yang sedang terjadi di ruangan itu."Selamat Pagi, Pa! Sudah lebih baik dari kemarin kan?" Aditya mengabaikan pertanyaan Abraham, berjalan ke sisi kanan pembaring
Aditya memutar badannya, menghadap ke arah asal suara yang menyerukan namanya barusan. Sosok cantik Alleya memaku tatapan Aditya. Gelayar aneh merambat halus namun pasti, memenuhi relung hatinya. Seulas senyum terbit di kedua ujung bibir Aditya. Sekali lagi, ia mengucap syukur dalam hati, karena memiliki istri yang begitu cantik seperti Alleya. Suara pantofel setinggi lima sentimeter yang membungkus apik kedua kaki Alleya, menggema di ruangan itu. "Bagaimana, Papa?" tanya Alleya sesaat setelah dirinya tiba di depan Aditya dan keningnya dikecup Aditya dengan penuh perasaan. Alleya berusaha menekan dan mengendalikan dirinya yang rasa-rasanya ingin melompat dan melayang saat itu juga, mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari Aditya. Senyum manis mengembang sedikit kaku, menutupi kegugupannya. Aditya bergeming tanpa mengalihkan pandangannya dari Alleya. "Sudah berhasil melewati masa kritis
"Berapa peluang pasien hidup, Dok?" Aditya berusaha meredam emosinya. Pria muda itu belum siap jika saat ini ia harus kehilangan salah satu dari orang tuanya. Masih banyak yang perlu ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Dokter Irfan tidak langsung menjawab. Pria tinggi berkulit putih dengan kacamata tanpa frame yang bertengger sempurna di hidung mancungnya, menatap Abraham yang sedang tertidur begitu pulas. Aditya sungguh tidak sabar menunggu jawaban meluncur mulus dari bibir tipis sang dokter. Jantungnya tidak bisa diam, berdegup tak beraturan, membuat dirinya berada jauh dari kata nyaman. Dalam sekali tarikan nafas, dokter muda itu, yang usianya terpaut tidak begitu jauh dengan Aditya, menjawab singkat pertanyaan Aditya. "Sembilan puluh persen." Mata Aditya terbelalak. Tidak percaya dengan indera pendengarannya, Aditya kembali memastikan jawaban sang dokter. Ia
Aditya terbangun dari tidur lelapnya ketika suara teriakan Lisa yang memanggil namanya menggema dari lantai bawah. Ia segera bergegas turun dari pembaringannya, mengambil mantel tidur, mengenakannya sambil berjalan tergesa ke luar dari kamar. Berbagai bayangan buruk melintas dibenaknya, membuat langkahnya semakin ia percepat. Setengah berlari Aditya menuruni anak tangga, menuju ke kamar kedua orang tuanya. Diketuknya pintu kamar orang tuanya. "Ma! Mama! Ini Aditya, Ma! Buka pintunya, Ma!" Aditya setengah berteriak sambil terus mengetuk pintu kamar di depannya. "Masuk, Nak! Papa...." Suara Lisa terdengar masih terisak. Tanpa menunggu lama, Aditya langsung masuk ke dalam kamar itu, menatap sekeliling, mencari sosok yang baru saja disebut oleh mamanya. Tidak ada. Ke mana papa? "Papa di mana, Ma? Ada apa dengan Papa, Ma?"suara Aditya sed
Aditya terus menatap Alleya yang masih berusaha melepas pernak-pernik yang menempel pada kepalanya. Dirinya masih tidak percaya dengan yang kenyataan yang ia terima hari ini. Selama ini, Alleya telah membohonginya. Gadis itu telah menyembunyikan wajah cantiknya di balik sebuah topeng buruk rupa, dan hal itu, telah berhasil mengecohnya. Aditya melangkah mendekat ke tempat Alleya yang hendak membersihkan wajahnya dari make up yang masih menempel di wajahnya. Ia menghentikan langkah kakinya, ketika Alleya bangkit dari duduknya, berjalan menuju toiletries lalu mulai membasuh wajahnya dengan sabun muka. Lima menit kemudian, Alleya kembali duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan sisa make up yang masih tertinggal di wajahnya. Tatapan Aditya terus saja mengikuti kemana saja gadis itu bergerak. Ia mulai kembali melangkah mendekat ke arah Alleya. Kini, ia telah berdiri tepat di belakang gadi
"Khilaf?" Sekali lagi Lisa mengulangi pertanyaannya. "Apa maksudnya itu, Dit?" Lisa berjalan mendekat Aditya dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Dirinya masih terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya itu. "Ah, Mama! Maksud Aditya bukan begitu. Aditya ingin memajukan tanggal pernikahannya. Tidak usah menunggu tanggal 9, tapi langsung dimajukan minggu depan saja, tanggal 2." Alleya semakin terkejut. "Ngomong apa sih?? Mana boleh seperti itu? Butuh persiapan dan rencana matang. Ini bukan hanya ngucap ijab aja terus selesai. Nggak seperti itu." Alleya mati-matian menolak ide Aditya yang menurutnya sangat gila itu. "Boleh!" Ucapan Rudy membuat Alleya tambah merana. Ia tidak mengira jika sang papa justru menyutujui ide Aditya, si Balok Es. "Papa! Kok Papa setuju sih? Kan nggak mungkin bisa..." sanggahan Alleya terputus dengan kalimat Rudy berikutnya
Nafas Alleya memburu. "Pengacara nggak ada akhlak! Main nyosor aja... Nggak punya sopan santun!" Teriakan Alleya terdengar Nara hingga wanita itu ke luar dari ruang keluarga, mendekat ke arah Aditya dan Alleya yang berdiri saling berhadapan, dengan jarak yang begitu dekat. Nara yang sejak tadi sudah sangat penasaran dengan penampilan Alleya yang namanya sempat disebut Aditya, terkejut ketika pandangannya jatuh di wajah Alleya. Apa?!! Gadis seperti ini yang akan menikah dengan Aditya? Wajah begitu buruk, sangat jauh dari wajahnya, mengapa bisa memenangkan hati Aditya dan kedua orang tuanya? Nara semakin terkejut, ketika ingatannya membawa dirinya ke pertemuan dengan Alleya beberapa waktu lalu di warung soto, ketika ia dan Aditya sedang sarapan pagi bersama. Saat itu Alleya juga tidak sendiri. Gadis itu datang bersama seorang pria yang tidak kalah tampan dengan Aditya. "Ka-Kauu, All-leya?" Nara benar-benar tid
Rudy memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Semula hanya Rita yang merasa khawatir berlebih. Namun, ketika dirinya sendiri mencoba menghubungi sahabat masa kecilnya itu, dan tidak juga mendapat tanggapan, membuat dirinya mulai merasa cemas. Ryan memilih untuk pulang terlebih dulu, dan akan datang lagi setelah ada kepastian tanggal pernikahan adiknya. Sepanjang perjalanan, Rita terus mecoba menghubungi Lisa, meski respon yang ia terima tidak berubah. Berulang kali dirinya melirik Alleya, berharap putrinya itu berhasil menghubungi Aditya, tapi kenyataannya tetap sama. "Tenang, Ma. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Abraham. Sebentar lagi, Papa akan menghujani pria itu dengan beratus pukulan, karena sudah berani membuat kita semua khawatir." Mobil Rudy akhirnya, berhenti tepat di depan gerbang bercat putih yang tinggi menjulang. Pintu gerbang itu terbuka, me