Alleya menatap meja yang penuh dengan hidangan jawa. Dengan semangat empat lima, Alleya mengambil menu kesukaannya dan mulai menikmatinya dengan sepenuh jiwa. Ia tidak memperhatikan kedatangan Aditya.
Semua orang di meja itu menikmati hidangan yang tersaji, kecuali Aditya yang masih berusaha menerima kenyataan yang ada.
"Mari, Nak Aditya. Jangan menunggu makanannya menjadi dingin," ajak Rudy kepada Aditya yang menatap kosong piringnya.
"Oh, eh, iya Om,"Aditya menjawab dengan salah tingkah diikuti tatapan tidak suka Ryan dan Bima. Ia mulai mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan beberapa sayur.
"Sedang diet ya?" tanya Bima menyindir Aditya.
"Hah? Oh, nggak Kak. Tadi di rumah sudah sempat mengisi perut dan sekarang masih agak kenyang." Aditya keder juga melihat tatapan tidak suka kedua kakak calon istrinya itu. Apakah sikapnya tadi sudah keterlaluan, meninggalkan meja setelah mengetahui sosok gadis calon istrinya seorang yang buruk rupa? Aaaah, dirinya merutuki sikap bodohnya. Harusnya ia bisa sedikit halus tadi.
Setelah meja makan itu kembali kosong, mulailah mereka ke pembicaraan inti.
"Bagaimana, Bram? Apakah rencana perjodohan ini diteruskan atau tidak?" Rudy bertanya tanpa b**a-basi. Ia juga ingin segera mengetahui akhir dari penyamaran putrinya.
Abraham tertawa."Yang akan menikahkan bukan aku, Dy. Tapi anakku yang jelek ini." Jawaban Abraham memancing tawa seisi ruangan itu, membuat Aditya salah tingkah sendiri.
"Tidak apa-apa kalau tidak suka. Alleya ya seperti itu. Setidaknya, kalau kamu pengen merasakan sop rasa sayur asam, Alleya jagonya..." seloroh Ryan, yang justru menjelekkan kemampuan memasak Alleya. Sekali lagi, suara tawa menggema di ruangan vip nomor 6.
Aditya melihat sosok Alleya yang sangat akrab dengan kakak-kakaknya. Ia bisa melihat hubungan mereka begitu erat sehingga jika ia berani macam-macam dengan adiknya, dirinya jelas akan mendapatkan bogem mentah dari kakaknya, belum lagi Rudy, ayahnya yang terlihat jelas sangat menyayangi putrinya itu.
"Bagaimana, Nak?"Kali ini Lisa yang bersuara. Ia sangat ingin mendengar anaknya mengatakan iya.
Aditya mengangguk setuju. Lisa tersenyum senang, begitu juga Rita. Lain halnya dengan Abraham tapi ia tidak menyerah. Jika Aditya tetap tidak bersedia menggantikannya, maka ia akan meminta menantunya yang memegang perusahaannya. Jadi, apapun keputusan Aditya, Abraham sama sekali tidak merasa rugi.
"Mungkin setelah ini kalian bisa bertukar nomor, jadi bisa saling mengenal satu sama lain. Saya harapkan tidak usah lama-lama kenalannya. Kalau bisa, tidak sampai satu tahun kita sudah bisa menggelar resepsi untuk anak-anak kita ini." Abraham memberikan kata penutupan yang disambut anggukan setuju Rudy.
-0-
"Uhuy! Sebentar lagi rumah Papa bakalan rame, janur kuning akan melengkung di depan gerbang, bau bunga setaman di mana-mana..." Ryan masuk ke kamar Alleya, menggoda Alleya yang sedang melepas topeng buruk rupanya.
"Iiiish! Kak Ryan usil," teriak Alleya melemparkan aneka botol kosmetiknya ke arah Ryan. Gelak tawa mereka memancing kedatangan Rita.
"Ada apa ini?"
"Nggak tau deh, Ma. Kak Ryan itu ngomong nggak jelas."
"Ini nomor telpon Aditya. Barusan Tante Lisa sms ini." Alleya menerima kertas itu dan mulai memasukkannya ke ponselnya.
"Jangan lama-lama, Al. Ntar khilaf di tengah jalan bahaya...!' Ujar Ryan ke luar dari kamar Alleya.
"Kakaaak!!!!"
Ryan tertawa terbahak dari kamar sebelah.
-0-
Keesokan harinya, Alleya berangkat seperti biasa ke rukonya. Hari ini, ia tidak mengenakan topeng dari rumah, melainkan di tokonya, sekalian memberitahu karyawannya tentang aksi penyamarannya. Alleya merasa Aditya akan datang mengunjunginya di ruko miliknya, membuat ia cepat mengenakan topeng penyamarannya.
Semua karyawannya sudah diberitahu tentang penampilan barunya dan dilarang untuk menanyakan alasan dibalik penyamarannya. Cukup mereka dengarkan instruksi darinya dan menuruti semua aturan yang ia tetapkan.
Suara ketukan di depan ruangannya mengejutkan Alleya yang sedang memeriksa laporan persediaan barang. Ia mengangkat kepalanya, tampak sosok Nia, asisten tokonya membuka pintu.
"Bu, ada tamu. Boleh diijinkan masuk? Katanya sudah buat janji."
"Ya, suruh masuk." Alleya meneruskan pekerjaannya, dan baru berhenti ketika Aditya menyapanya dan duduk di kursi depan mejanya.
"Sedang sibuk?" tanya Aditya b**a-basi.
"Sedikit." Jawab Alleya pendek. Aditya menelisik wajah Alleya. Gadis ini. Andai bukan putri dari sahabat papanya, pasti akan ia tolak. Kalau bukan karena ancaman dirinya harus meneruskan bisnis IT orangtuanya, Aditya akan mencampakkan gadis yang kini sedang menata tumpukan kertas di depannya.
"Mau menemaniku makan siang?' Aditya menghentikan sikap b**a-basinya.
"Hmm, boleh. Sebentar, aku bersiap dulu." Alleya berdiri mengambil sweater tipis berwarna hitam miliknya. Aditya melirik Alleya. Dilihat dari selera berpakaiannya, gadis ini jelas mengikuti tren yang berkembang. Rambut panjangnya jelas sering mendapatkan perawatan ekstra. Tinggi badannya pun ideal, seimbang dengan bentuk tubuhnya, yang artinya gizi gadis itu sangat terjaga. Aiish! Aditya menonyor keningnya sendiri. Ia sudah terlalu lama memandangi Alleya hingga lupa jika Alleya sudah berjalan lebih dulu ke luar dari ruangannya.
"Berangkat sekarang?" tanya Alleya membuyarkan lamunan Aditya, membuat pengacara muda itu salah tingkah sendiri. Sikap gadis ini justru sering membuatnya mati kutu. Kenapa dia yang jadi gugup sendiri? Kan harusnya gadis itu yang merasa gugup berdekatan dengan pria tampan seperti dirinya.
-0-
"Makan siang di mana?" Aditya menatap Allleya yang sedari tadi diam, melihat ke depan.
"Terserah, asal bersih, murah dan enak." Jawaban Alleya membuat kening Aditya berkerut. Tidak terbiasa makan di restoran mewahkah?
Aditya membawa Alleya ke restoran bernuans jawa. Entah mengapa Aditya, sejak acara pertemuan keluarganya dengan keluarga Alleya, memilih masakan jawa dari pada makanan asing yang selama ini menemaninya. Melihat Alleya yang kemarin begitu menikmati makanannya, jujur membuat Aditya tergiur untuk mencicipi masakan itu lagi.
Alleya menautkan kedua alisnya.
"Ke sini lagi? Kemarin kan sudah kemari?" tanya Alleya heran. Ia tidak mengerti mengapa Aditya membawa dirinya ke restoran yang kemarin mereka datangi.
"Tidak suka?" Aditya menatap Alleya tajam. Bukannya gadis ini begitu menikmati hingga mengabaikan dirinya.
"Oh, suka sekali. Terima kasih sudah kembali mengajak kemari." Wajah Alleya begitu senang, bersegera ke luar dari mobil Aditya.
Aditya berjalan di belakang Alleya. Siang itu, angin bertiup kencang, membuat beberapa helai rambut Alleya secara tidak sengaja menerpa wajah Aditya.
"Tidak bawa ikat rambut? Rambutmu mengganggu," ucap Aditya lalu berjalan mendahului Alleya yang berhenti jalannya mendengar teguran Aditya.
Tsk. Andai tidak ingat papa dan mama, sudah kutendang kau dari tadi, sungut Alleya dalam hati sambil mengambil ikat rambutnya. Ia menguncir rambutnya kemudian melanjutkan langkahnya menyusul Aditya. Balok es, gumamnya kesal sambil berlari kecil menyusul Aditya yang sudah jauh meninggalkan dirinya.
Ketika Alleya sudah sampai di dekat meja yang dipilih Aditya, dirinya melihat beberapa pria sedang berbicara dengan Aditya. Alleya membuka kursi untuk dirinya sendiri, mengabaikan Aditya yang berdiri tidak jauh darinya.
"Sama siapa ke sini, Dit?"
"Sendiri," jawab Aditya singkat.
'Nah, itu siapa?" Pria berkacamata di sebelah kanan Aditya menunjuk ke arah Alleya. Alleya pura-pura tidak tahu tetapi membuka telinganya lebar-lebar.
"Oh, itu anak tetangga, tadi kebetulan ketemu di jalan, kelihatan sedang kelaparan, jadi aku ajak ke sini, daripada nanti pingsan di jalan, repot juga kan." Jawaban Aditya mendapatkan anggukan setuju dari temannya, tapi tidak dengan Alleya. Ia menahan emosinya mendengar perkataan Aditya.
Jadi, apa sebenarnya motif Aditya menerima perjodohan dengan Alleya jika hanya ingin mempermalukan gadis itu di depan teman-temannya?
Alleya hanya diam saja saat mobil Aditya meluncur meninggalkan restoran tempat mereka makan siang bersama hari ini. "Setiap hari, aku akan mengajakmu makan siang bersama. Jadi, tidak perlu aku jemput seperti tadi. Jam 12 tepat, aku sudah berada persis di depan rukomu, dan aku harap dirimu sudah ada di sana." Alleya sebenarnya malas menanggapi perkataan Aditya, tapi demi tata krama, ia membalas dengan anggukan kepala tanpa bicara apa-apa. Aditya terus membawa mobilnya, mengantarkan Alleya kembali ke rukonya. Alleya membanting pintu ruangannya. Huuh! Dasar sok ganteng! Andai bukan permintaan papa mamanya, ia tidak ingin menerima ajakan Aditya untuk makan siang bersama. Anak tetangga yang sedang kelaparan di jalan? Sialan! Pekik Alleya, sambil melepas topeng bopeng dari wajahnya. Ia mengipasi dirinya dengan majalah mode bulan ini. Jika tidak sedang dalam rangkaian peny
Kau bukan levelku. Perkataan Aditya terus terngiang-ngiang di telinga Alleya. Iaberguling-guling di atas pembaringannya. Kau bukan levelku! Emosi Alleya meletup-letup di kepalanya. Ia menutup wajahnya dengan bantal sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas pembaringannya. Kau bukan levelku!! Aaaaaaarrrrrggghhhh! Alleya berteriak. Ia lantas menghentikan aksinya. Bangun dari tidurnya, meraih secarik kertas dan pena, yang ada di atas meja kecil di samping pembaringannya, menuliskan nama Aditya di kertas itu, dengan penulisan huruf kapital. Ia lalu berjalan membuka laci meja kecil, mengeluarkan selotif bening besar, kemudian menempelkan kertas itu di atas gulingnya. Ia mengikat gulingnya dengan syal yang kebetulan berada di samping bantal, lalu menggantungkan kain syal yang sudah sedem
Alleya terpaksa mengijinkan Aditya ikut dalam acara joggingnya minggu ini. Niat hati ingin nongkrongin tetangga ujung blok, malah ia harus kembali melakukan penyamaran karena kedatangan Aditya yang tiba-tiba. Sebenarnya ia ingin meninggalkan Aditya yang masih syok, karena terkejut melihat dirinya yang menggunakan masker tepung. Akan tetapi, Rita, sang mama, memaksa agar dirinya menunggu Aditya, dan mengajak calon mantunya itu ikut berjogging bersama. Ditengah rasa kesalnya, Alleya mendadak senyum-senyum dan tertawa sendiri. Bayangan wajah Aditya yang begitu terkejut saat melihat wajah putihnya, terus membayang di benaknya. Dia benar-benar tidak menyangka, jika pria sok tampan di depannya ini, ternyata seorang yang penakut. Merasa dirinya menjadi bahan tertawaan oleh Alleya, Aditya langsung memutar badannya menatap Alleya dingin. "Puas tert
Aditya sedang mengantri tiket menonton bioskop yang mulai mengular sejak dirinya bergabung dalam barisan antrian. Sedangkan Alleya duduk manis menunggu sang kekasih yang sedang berjuang mendapatkan tiket untuk mereka berdua. Antrian segini banyak, kapan filmnya akan mulai diputar, rutuk Aditya yang berdirinya mulai gelisah. Alleya mengetuk-ketukkan ujung ponselnya ke keningnya. Ia sedang memikirkan, dari sekian banyak rencana yang ia dapat dari Nia, mana yang akan ia praktekkan hari ini. Kesempatan terbuka lebar tapi dirinya justru belum siap mengeksekusi salah satu dari sekian banyak rencana yang sudah ia dapatkan dari asisten tokonya. Lihat saja, aku akan membuatmu mundur teratur, hingga akhirnya membatalkan rencana perjodohan mereka. Alleya terkekeh-kekeh sendiri membayangkan hal itu, membuat Aditya yang masih mengantri dan melihat Alleya, menatapnya tajam tanpa berkedip. Su
"Mama...!" panggil Alleya pagi itu. Rita yang sedang sibuk mencabuti rumput yang mengganggu beberapa tanaman hias kesayangannya, menengok ke belakang mencari bayangan putrinya. "Ada apa? Pagi-pagi kok sudah berteriak-teriak mengejutkan orang." Rita melihat putrinya yang berjalan ke arahnya, tampak sedang kebingungan. "Mama, lihat topeng Al tidak?" Alleya gusar setengah mati. Ia sama sekali tidak menemukan topengnya, padahal satu jam lagi si balok es akan datang menjemputnya. "Lah, semalam Al taruh di mana? Mama nggak lihat. Bukannya Al melepasnya di kamar mandi kamar Al?" Rita meletakkan rumput-rumput hasil berkebunnya ke tong sampah. "Iya, semalam Al taruh di washtafel kamar mandi, tapi kok sekarang tidak ada," gumam Alleya. "Coba dicari sekali lagi. Jangan-jangan sudah Al simpan di laci tapi Al lupa." Rita mengajak
Rita bergegas masuk kembali ke kamar Alleya. Ia mencari topeng yang menurut Alleya, semalam ia letakkan di washtafel kamar mandi. Seluruh sudut ruang dalam kamar Alleya ia periksa, lemari ia buka, tumpukan buku-buku pun tidak luput dari sasarannya, namun hasilnya nihil. Satu jam lebih dirinya mencari tapi tak kunjung menemukan topeng itu. Rita terduduk di sisi pembaringan Alleya. Ia sekali lagi mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruang, mungkin saja ada bagian yang terlewatkan, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Dengan berat hati, Rita keluar dan menutup kembali kamar Alleya. Ia tidak dapat membayangkan betapa kecewa Alleya, saat putrinya itu tahu, jika dirinya tidak berhasil menemukan topeng buruk rupa yang dimaksud. Suara mesin mobil dimatikan tertangkap oleh indera dengar Rita, yang kemudian melangkah cepat mendekat ke garasi. Dilihatnya Alleya keluar dari mobil dengan wajah kuyu dan tidak
Alleya sedang asyik membaca novel online di platform kesayangannya, mengalihkan pikirannya sebentar dari permasalah topeng buruk rupanya. Sejak sebulan terakhir, ia sudah jarang menonton drakor oppa-oppa dan beralih ke novel online, yang ternyata tidak kalah seru. Sudah dua minggu ini,ia sedang gandrung membaca novel bertema horor. Namun, bukan berarti Alleya ini berani membacanya di setiap waktu. Ia hanya berani membaca saat matahari sudah menampakkan sinarnya hingga matahari sudah mulai beranjak menuju ke peraduannya, pun saat ia sedang berada di lingkungan yang ramai alih-alih sepi. Mana berani Alleya membaca saat sore datang menyapa, apalagi tengah malam. Apalagi, Alleya hanya sendirian di rumah besar itu bersama mama dan papanya. Bagaimana soal topengnya yang hilang? Karena kelelahan, akhirnya Alleya, yang tadi sedang membaca novel online, jatuh terti
Aditya memandangi wajah Alleya yang bengkak di beberapa bagian. Jujur, Aditya merasa merinding. Mengapa bisa bengkak mengerikan seperti ini? "Apa yang terjadi dengan wajahmu?" ulang Aditya, tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Alleya. Alleya terkekeh dalam hati, melihat ekspresi Aditya yang tampak begitu terkejut dengan wajahnya saat ini. "Kau punya alergi? Udang, kepiting, cumi-cumi? Semua yang berasal dari laut?" Aditya menyebutkan aneka seafood yang biasanya menimbulkan reaksi alergi bagi beberapa orang. Alleya menggelengkan kepalanya, tapi dalam hati. Mana sanggup ia mengatakan iya, sedangkan semua yang disebutkan Aditya adalah salah satu makanan favoritnya. Iahanya diam, tidak mengatakan apa pun untuk menjawab pertanyaan Aditya. "Sudah ke dokter belum?" tanya Aditya dengan suara yang lebih rend
"Apan sih? Pagi-pagi gini sudah membicarakan hal yang sangat membosankan! Cari topik lain kenapa?" Aditya menggerutu. Dirinya malas sekali jika sang istri mulai membicarakan hal yang sama setiap pagi. Sebenarnya Aditya sendiri sudah mulai memikirkan permintaan papanya itu. Melihat Abraham yang kian hari kian terlihat lelah, membuat Aditya mulai memikirkan permintaan sang papa. Akan tetapi, dirinya masih tetap diam, tidak mengatakan apa pun kepada Alleya maupun Abraham."Ya sudah, kalau tidak bersedia. Jika suatu hari papa marah besar padamu karena aku jatuh sakit akibat kelelahan, aku tidak akan lagi membantumu. Dan jika sampai mama juga ikut mengutukmu karena sudah membahayakan calon pewaris perusahaannya, aku juga tidak akan mencegahnya," ujar Alleya bangkit dari duduknya lalu meletakkan sesuatu di atas meja riasnya.Apa maksudnya? Aditya menatap kepergian Alleya. Ia mengikuti gerak-gerik Alleya, dan gerakan All
Pintu kamar VIP itu terbuka secara perlahan. Alleya menatap ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, menanti penampakan sosok yang masih berdiri di luar. Alleya menatap Aditya yang melangkah pelan memasuki kamar rawat inap Abraham. Kedua netra pria itu, menatap Alleya yang kala itu tampak begitu bingung."Ada apa?" Bisik Aditya begitu pria itu berdiri tepat di samping Alleya. Saat Alleya hendak menceritakan hal yang tengah terjadi, tiba-tiba suara sinis Abraham menyentil telinga Aditya."Hmm, kemana saja kamu? Sudah selesai mengurusi pacar modelmu itu? Rubah betina tak tahu diri!"Aditya memandang Alleya dengan ekspresi bingung. Alleya mengedikkan kedua bahunya, sama-sama tidak mengerti dengan semua yang sedang terjadi di ruangan itu."Selamat Pagi, Pa! Sudah lebih baik dari kemarin kan?" Aditya mengabaikan pertanyaan Abraham, berjalan ke sisi kanan pembaring
Aditya memutar badannya, menghadap ke arah asal suara yang menyerukan namanya barusan. Sosok cantik Alleya memaku tatapan Aditya. Gelayar aneh merambat halus namun pasti, memenuhi relung hatinya. Seulas senyum terbit di kedua ujung bibir Aditya. Sekali lagi, ia mengucap syukur dalam hati, karena memiliki istri yang begitu cantik seperti Alleya. Suara pantofel setinggi lima sentimeter yang membungkus apik kedua kaki Alleya, menggema di ruangan itu. "Bagaimana, Papa?" tanya Alleya sesaat setelah dirinya tiba di depan Aditya dan keningnya dikecup Aditya dengan penuh perasaan. Alleya berusaha menekan dan mengendalikan dirinya yang rasa-rasanya ingin melompat dan melayang saat itu juga, mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari Aditya. Senyum manis mengembang sedikit kaku, menutupi kegugupannya. Aditya bergeming tanpa mengalihkan pandangannya dari Alleya. "Sudah berhasil melewati masa kritis
"Berapa peluang pasien hidup, Dok?" Aditya berusaha meredam emosinya. Pria muda itu belum siap jika saat ini ia harus kehilangan salah satu dari orang tuanya. Masih banyak yang perlu ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Dokter Irfan tidak langsung menjawab. Pria tinggi berkulit putih dengan kacamata tanpa frame yang bertengger sempurna di hidung mancungnya, menatap Abraham yang sedang tertidur begitu pulas. Aditya sungguh tidak sabar menunggu jawaban meluncur mulus dari bibir tipis sang dokter. Jantungnya tidak bisa diam, berdegup tak beraturan, membuat dirinya berada jauh dari kata nyaman. Dalam sekali tarikan nafas, dokter muda itu, yang usianya terpaut tidak begitu jauh dengan Aditya, menjawab singkat pertanyaan Aditya. "Sembilan puluh persen." Mata Aditya terbelalak. Tidak percaya dengan indera pendengarannya, Aditya kembali memastikan jawaban sang dokter. Ia
Aditya terbangun dari tidur lelapnya ketika suara teriakan Lisa yang memanggil namanya menggema dari lantai bawah. Ia segera bergegas turun dari pembaringannya, mengambil mantel tidur, mengenakannya sambil berjalan tergesa ke luar dari kamar. Berbagai bayangan buruk melintas dibenaknya, membuat langkahnya semakin ia percepat. Setengah berlari Aditya menuruni anak tangga, menuju ke kamar kedua orang tuanya. Diketuknya pintu kamar orang tuanya. "Ma! Mama! Ini Aditya, Ma! Buka pintunya, Ma!" Aditya setengah berteriak sambil terus mengetuk pintu kamar di depannya. "Masuk, Nak! Papa...." Suara Lisa terdengar masih terisak. Tanpa menunggu lama, Aditya langsung masuk ke dalam kamar itu, menatap sekeliling, mencari sosok yang baru saja disebut oleh mamanya. Tidak ada. Ke mana papa? "Papa di mana, Ma? Ada apa dengan Papa, Ma?"suara Aditya sed
Aditya terus menatap Alleya yang masih berusaha melepas pernak-pernik yang menempel pada kepalanya. Dirinya masih tidak percaya dengan yang kenyataan yang ia terima hari ini. Selama ini, Alleya telah membohonginya. Gadis itu telah menyembunyikan wajah cantiknya di balik sebuah topeng buruk rupa, dan hal itu, telah berhasil mengecohnya. Aditya melangkah mendekat ke tempat Alleya yang hendak membersihkan wajahnya dari make up yang masih menempel di wajahnya. Ia menghentikan langkah kakinya, ketika Alleya bangkit dari duduknya, berjalan menuju toiletries lalu mulai membasuh wajahnya dengan sabun muka. Lima menit kemudian, Alleya kembali duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan sisa make up yang masih tertinggal di wajahnya. Tatapan Aditya terus saja mengikuti kemana saja gadis itu bergerak. Ia mulai kembali melangkah mendekat ke arah Alleya. Kini, ia telah berdiri tepat di belakang gadi
"Khilaf?" Sekali lagi Lisa mengulangi pertanyaannya. "Apa maksudnya itu, Dit?" Lisa berjalan mendekat Aditya dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Dirinya masih terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya itu. "Ah, Mama! Maksud Aditya bukan begitu. Aditya ingin memajukan tanggal pernikahannya. Tidak usah menunggu tanggal 9, tapi langsung dimajukan minggu depan saja, tanggal 2." Alleya semakin terkejut. "Ngomong apa sih?? Mana boleh seperti itu? Butuh persiapan dan rencana matang. Ini bukan hanya ngucap ijab aja terus selesai. Nggak seperti itu." Alleya mati-matian menolak ide Aditya yang menurutnya sangat gila itu. "Boleh!" Ucapan Rudy membuat Alleya tambah merana. Ia tidak mengira jika sang papa justru menyutujui ide Aditya, si Balok Es. "Papa! Kok Papa setuju sih? Kan nggak mungkin bisa..." sanggahan Alleya terputus dengan kalimat Rudy berikutnya
Nafas Alleya memburu. "Pengacara nggak ada akhlak! Main nyosor aja... Nggak punya sopan santun!" Teriakan Alleya terdengar Nara hingga wanita itu ke luar dari ruang keluarga, mendekat ke arah Aditya dan Alleya yang berdiri saling berhadapan, dengan jarak yang begitu dekat. Nara yang sejak tadi sudah sangat penasaran dengan penampilan Alleya yang namanya sempat disebut Aditya, terkejut ketika pandangannya jatuh di wajah Alleya. Apa?!! Gadis seperti ini yang akan menikah dengan Aditya? Wajah begitu buruk, sangat jauh dari wajahnya, mengapa bisa memenangkan hati Aditya dan kedua orang tuanya? Nara semakin terkejut, ketika ingatannya membawa dirinya ke pertemuan dengan Alleya beberapa waktu lalu di warung soto, ketika ia dan Aditya sedang sarapan pagi bersama. Saat itu Alleya juga tidak sendiri. Gadis itu datang bersama seorang pria yang tidak kalah tampan dengan Aditya. "Ka-Kauu, All-leya?" Nara benar-benar tid
Rudy memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Semula hanya Rita yang merasa khawatir berlebih. Namun, ketika dirinya sendiri mencoba menghubungi sahabat masa kecilnya itu, dan tidak juga mendapat tanggapan, membuat dirinya mulai merasa cemas. Ryan memilih untuk pulang terlebih dulu, dan akan datang lagi setelah ada kepastian tanggal pernikahan adiknya. Sepanjang perjalanan, Rita terus mecoba menghubungi Lisa, meski respon yang ia terima tidak berubah. Berulang kali dirinya melirik Alleya, berharap putrinya itu berhasil menghubungi Aditya, tapi kenyataannya tetap sama. "Tenang, Ma. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Abraham. Sebentar lagi, Papa akan menghujani pria itu dengan beratus pukulan, karena sudah berani membuat kita semua khawatir." Mobil Rudy akhirnya, berhenti tepat di depan gerbang bercat putih yang tinggi menjulang. Pintu gerbang itu terbuka, me