Rita kembali menghubungi putrinya, namun hingga panggilannya yang ke sepuluh, tidak juga di angkat Alleya. Perasaannya mulai cemas. Pergi kemana anak gadisnya itu. Bima dan Ryan juga belum menampakkan batang hidungnya. Kelihatannya mereka masih belum bangun dari tidurnya. Riita sudah menyiapkan gaun mana yang akan dipakai di acara makan malam nanti.
Alleya buru-buru memarkirkan mobil kecilnya di garasi luas rumah orang tuanya. Ia melangkah masuk dengan tergesa. Dirinya hampir lupa, jika pertemuan dengan pria yang akan dijodohkan dengannya, diadakan hari ini.
"Mama!" Sapanya ketika tampak di ruang tamu sosok mamanya yang tengah menggengam erat ponsel di tangan kanannya.
"Alleya!! Kemana saja kamu ini?" tegur Rita setengah kesal.
"Maaf, Ma. Toko tadi sedang ramai, jadi Al hampir lupa dengan acara nanti malam," jawab Alleya, menundukkan kepalanya, merasa bersalah.
Rita menghela nafas. Ia berencana memarahi putrinya itu habis-habisan, tapi melihat anak gadisnya yang menundukkan kepala dan sudah mengaku bersalah, ia hanya mengusap lembut kepala anak bungsunya itu.
Rita menyuruh Alleya agar segera membersihkan diri dan bersiap. Ia memberikan gaun yang harus dipakai putrinya itu.
"Wajahnya jangan terlalu menor, di make up tipis aja," ucap Rita melangkah keluar dari kamar Alleya.
Bima dan Ryan yang baru saja bangun setelah disiram air dingin oleh Rita, duduk di pinggir pembaringan mereka. Sambil menguap, Bima berdiri dan berjalan mengambil handuk dari travel bag-nya lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar itu.
Tak berapa lama, Alleya keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu. Di sana orangtua dan kedua kakaknya sudah menanti kehadirannya. Saat Alleya mendekat, mereka semua terkejut melihat penampilan Alleya.
"Sumpah! Kamu jelek banget, Al!" Ryan benar-benar tidak menyangka wajah Alleya berubah menjadi seperti sekarang ini. Bima menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan ide gila adiknya itu. Di saat gadis lain berlomba-lomba menjadi cantik, adiknya ini justru memilih menyamar menjadi cewek buruk rupa yang asli buruknya.
Alleya terkekeh. Ia bersorak dalam hati. Berarti ia berhasil dengan penyamarannya. Tidak salah ia memilih topeng yang kini merekat erat di wajah ayunya. Rita bolak-balik mengelus dadanya. Anak gadisnya sedang kesambet apa, memilih menjadi gadis buruk rupa daripada menampilkan wajah cantiknya di acara seperti ini.
Sedangkan Rudy hanya mampu menghela nafasnya. Ia juga tidak bisa menyalahkan Alleya. Semua alasan yang diucapkan ada benarnya. Dirinya juga penasaran, seperti apa anak tunggal sahabat kecilnya itu. Apakah ia seorang pria muda yang sombong, yang sangat mengutamakan penampilan dari luar ketimbang dari dalam? Atau kah seorang pria baik namun susah untuk didekati. Rudy justru ikut merasa penasaran, ingin segera mengetahui reaksi apa yang akan diperlihatkan Abraham sekeluarga begitu melihat penampilan Alleya yang seperti ini.
-0-
Bima membawa mobil perlahan keluar meninggalkan rumah orang tua mereka menuju tempat yang sudah disepakati. Alleya bercerita banyak soal toko onlinenya, dan dengan sedikit merayu mamanya, agar mau patungan membeli ruko untuk toko onlinenya.
Tanpa terasa, Bima sudah membawa mereka ke sebuah restoran yang berkonsep keluarga, tempat pertemuan dua keluarga dilaksanakan. Alleya berjalan di paling akhir.
"Halo?" Rudy mengangkat ponselnya yang sejak tadi berdering.
"Aku baru saja sampai. Kamu sudah sampai? Di meja mana? Oke, oke, aku kesana." Rudy menutup telponnya.
"Ayo, Abraham sudah sampai." Rudy berjalan lebih dulu diikuti Rita, Bima, Ryan dan Alleya yang berjalan paling belakang. Alleya, sejak turun dari mobilnya, berkali-kali mendapatkan tatapan sinis dari pengunjung yang melihat ke arahnya. Bagaimana bisa cewek buruk rupa berjalan beriringan dengan pria-pria tampan berwajah bersih dan wangi, berbanding terbalik dengan dirinya.
Alleya justru tersenyum menikmati penyamarannya. Berhasil, berhasil, berhasil... Horray! teriaknya dalam hati menirukan Dora, karakter kartun yang sangat terkenal di kalangan anak-anak TK.
Ketika langkah kakinya terhenti, menunggu giliran masuk ke sebuah private room, Ryan mencolek punggung adiknya. "Lihat ke depan! Percaya kan dengan yang Kakak omongin kemarin? Salah sendiri pake acara menyamar segala," dengus Ryan, menyindir adiknya.
Alleya mengikuti arah yang ditunjuk kakaknya. Dirinya bergeming, terkesiap melihat sosok pria muda yang duduk di depannya, yang sedang sibuk bermain ponsel. Tampan sekali, gumamnya. Etdah, kalau begini siapa yang nolak, batinnya. Akan tetapi, hati kecil Alleya seakan berteriak, mengingatkan tujuan dirinya melakukan penyamaran, dan dengan sangat terpaksa, Alleya kembali memantapkan hati, bersiap menerima penolakan dari keluarga teman ayahnya itu.
"Halo, Abraham. Apakabarnya?" Rudy memeluk sahabat kecilnya itu, mereka bercerita singkat lalu saling mengenalkan keluarga masing-masing.
Ketika Abraham melihat Alleya, hatinya sedikit terkejut. Bukannya anak perempuan Rudy sangatlah cantik, mengapa yang berdiri di hadapannya gadis yang seperti ini. Rudy melihat perubahan singkat di wajah Abraham. Ia pun mulai bersiap untuk mendengar pembatalan dari pihak sahabatnya itu.
"Ini Alleya." Rudy mengenalkan putri semata wayangnya. Rita tersenyum pasrah. Ia tidak lagi berharap banyak, dan mulai mengikuti permainan yang diciptakan putrinya sendiri. Alleya menundukkan kepala dan badannya dengan sopan santun yang sudah dididik ibunya sejak ia masih kecil.
Lisa tersenyum hangat. Lisa bukanlah perempuan kolot. Ia bisa menilai seorang gadis baik atau tidak dari sikapnya, dan sekarang gadis yang tengah dikenalkan di depannya ini, jelas memiliki kepribadian yang baik dan terlihat jika ia bukan gadis biasa, melainkan gadis yang memiliki kecerdasan tinggi.
"Halo, Sayang." Lisa menyambut hangat Alleya dengan memberikan pelukan hangat seorang ibu. Rita tersenyum lega, setidaknya istri sahabat suaminya itu tidaklah seburuk yang ia pikirkan.
Aditya menatap lama gadis di depannya, yang dikenalkan sebagai Alleya. Ia mengingat nama gadis itu. Benar. Nama gadis yang akan dijodohkan dengannya adalah Alleya, tapi mengapa penampilannya seperti ini, sangat jauuh dari bayangannya. Hatinya memberontak. Bagaimana pun dirinya masih waras. Ia masih menginginkan calon yang cantik sempurna, cerdas dan tidak manja. Sedangkan yang sedang berdiri di hadapannya sekarang, jelas tidak masuk dalam kriterianya.
Mendadak Aditya bangkit dari duduknya, mohon ijin untuk ke toilet sebentar. Bima dan Ryan saling melempar pandangan dan mengedikkan bahu mereka. Penyamaran adik mereka ternyata berhasil, setidaknya mereka sudah bisa melihat hasil dari pertemuan ini, meski pun belum diutarakan. Alleya tersenyum, sedikit kecewa, ternyata apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Pria yang akan dijodohkan dengannya ternyata tidak sebaik penampilannya.
-0-
Aditya berjalan ke luar dari restoran itu, menuju ke tempat mobilnya diparkir. Ia menendang ban mobilnya berkali-kali. Apa maksud papanya? Ini jelas pilihan yang sama-sama buruknya. Ia mengira Abraham sengaja menjodohkan dirinya dengan gadis buruk rupa, yang memiliki wajah penuh dengan bekas jerawat yang menganga. Ia memaki-maki dirinya. Berteriak seperti orang hilang ingatan.
Abraham menyusul Aditya. Ia melihat putranya itu menendangi ban mobil dan memaki-maki dirinya sendiri. Tampak jelas jika Aditya merasa sedikit frustasi dengan pilihan yang ia berikan. Abraham sedikit merasa bersalah, namun tidak ada cara lain. Hanya ini yang bisa membuat putranya itu berpikir lebih realistis.
"Apakah kau berubah pikiran?" Suara Abraham mengejutkan Aditya. Ia memutar tubuhnya, menatap penuh dendam pria itu.
"Papa penipu!" teriak Aditya.
"Apa maksudmu?"Abraham terkejut mendengar teriakan anaknya.
"Papa sengajakan memilihkan gadis buruk rupa itu sebagai calon istriku? Agar akhirnya aku akan memilih untuk menjadi penerus bisnis Papa? Pilihan yang sama-sama buruk!" Umpat Aditya.
Abraham diam sejenak, dan mencoba menangkap kemana larinya pembicaraan Aditya. Ia akhirnya paham dengan maksud kalimat yang diucapkan Aditya, dan ia justru senang jika kebetulan ini membawa Aditya merasa bingung memilih yang mana.
"Belum terlambat untuk menolak perjodohan ini. Papa tunggu kamu di dalam. Jangan terlalu lama, mereka menunggu kehadiranmu." Abraham kembali masuk ke dalam, meninggalkan Aditya yang masih bergelut dengan emosinya.
Aditya sekali lagi menendangi ban mobilnya. Sial!
Alleya menatap meja yang penuh dengan hidangan jawa. Dengan semangat empat lima, Alleya mengambil menu kesukaannya dan mulai menikmatinya dengan sepenuh jiwa. Ia tidak memperhatikan kedatangan Aditya. Semua orang di meja itu menikmati hidangan yang tersaji, kecuali Aditya yang masih berusaha menerima kenyataan yang ada. "Mari, Nak Aditya. Jangan menunggu makanannya menjadi dingin," ajak Rudy kepada Aditya yang menatap kosong piringnya. "Oh, eh, iya Om,"Aditya menjawab dengan salah tingkah diikuti tatapan tidak suka Ryan dan Bima. Ia mulai mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan beberapa sayur. "Sedang diet ya?" tanya Bima menyindir Aditya. "Hah? Oh, nggak Kak. Tadi di rumah sudah sempat mengisi perut dan sekarang masih agak kenyang." Aditya keder juga melihat tatapan tidak suka kedua kakak calon istrinya itu. Apakah sikapnya tadi sudah
Alleya hanya diam saja saat mobil Aditya meluncur meninggalkan restoran tempat mereka makan siang bersama hari ini. "Setiap hari, aku akan mengajakmu makan siang bersama. Jadi, tidak perlu aku jemput seperti tadi. Jam 12 tepat, aku sudah berada persis di depan rukomu, dan aku harap dirimu sudah ada di sana." Alleya sebenarnya malas menanggapi perkataan Aditya, tapi demi tata krama, ia membalas dengan anggukan kepala tanpa bicara apa-apa. Aditya terus membawa mobilnya, mengantarkan Alleya kembali ke rukonya. Alleya membanting pintu ruangannya. Huuh! Dasar sok ganteng! Andai bukan permintaan papa mamanya, ia tidak ingin menerima ajakan Aditya untuk makan siang bersama. Anak tetangga yang sedang kelaparan di jalan? Sialan! Pekik Alleya, sambil melepas topeng bopeng dari wajahnya. Ia mengipasi dirinya dengan majalah mode bulan ini. Jika tidak sedang dalam rangkaian peny
Kau bukan levelku. Perkataan Aditya terus terngiang-ngiang di telinga Alleya. Iaberguling-guling di atas pembaringannya. Kau bukan levelku! Emosi Alleya meletup-letup di kepalanya. Ia menutup wajahnya dengan bantal sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas pembaringannya. Kau bukan levelku!! Aaaaaaarrrrrggghhhh! Alleya berteriak. Ia lantas menghentikan aksinya. Bangun dari tidurnya, meraih secarik kertas dan pena, yang ada di atas meja kecil di samping pembaringannya, menuliskan nama Aditya di kertas itu, dengan penulisan huruf kapital. Ia lalu berjalan membuka laci meja kecil, mengeluarkan selotif bening besar, kemudian menempelkan kertas itu di atas gulingnya. Ia mengikat gulingnya dengan syal yang kebetulan berada di samping bantal, lalu menggantungkan kain syal yang sudah sedem
Alleya terpaksa mengijinkan Aditya ikut dalam acara joggingnya minggu ini. Niat hati ingin nongkrongin tetangga ujung blok, malah ia harus kembali melakukan penyamaran karena kedatangan Aditya yang tiba-tiba. Sebenarnya ia ingin meninggalkan Aditya yang masih syok, karena terkejut melihat dirinya yang menggunakan masker tepung. Akan tetapi, Rita, sang mama, memaksa agar dirinya menunggu Aditya, dan mengajak calon mantunya itu ikut berjogging bersama. Ditengah rasa kesalnya, Alleya mendadak senyum-senyum dan tertawa sendiri. Bayangan wajah Aditya yang begitu terkejut saat melihat wajah putihnya, terus membayang di benaknya. Dia benar-benar tidak menyangka, jika pria sok tampan di depannya ini, ternyata seorang yang penakut. Merasa dirinya menjadi bahan tertawaan oleh Alleya, Aditya langsung memutar badannya menatap Alleya dingin. "Puas tert
Aditya sedang mengantri tiket menonton bioskop yang mulai mengular sejak dirinya bergabung dalam barisan antrian. Sedangkan Alleya duduk manis menunggu sang kekasih yang sedang berjuang mendapatkan tiket untuk mereka berdua. Antrian segini banyak, kapan filmnya akan mulai diputar, rutuk Aditya yang berdirinya mulai gelisah. Alleya mengetuk-ketukkan ujung ponselnya ke keningnya. Ia sedang memikirkan, dari sekian banyak rencana yang ia dapat dari Nia, mana yang akan ia praktekkan hari ini. Kesempatan terbuka lebar tapi dirinya justru belum siap mengeksekusi salah satu dari sekian banyak rencana yang sudah ia dapatkan dari asisten tokonya. Lihat saja, aku akan membuatmu mundur teratur, hingga akhirnya membatalkan rencana perjodohan mereka. Alleya terkekeh-kekeh sendiri membayangkan hal itu, membuat Aditya yang masih mengantri dan melihat Alleya, menatapnya tajam tanpa berkedip. Su
"Mama...!" panggil Alleya pagi itu. Rita yang sedang sibuk mencabuti rumput yang mengganggu beberapa tanaman hias kesayangannya, menengok ke belakang mencari bayangan putrinya. "Ada apa? Pagi-pagi kok sudah berteriak-teriak mengejutkan orang." Rita melihat putrinya yang berjalan ke arahnya, tampak sedang kebingungan. "Mama, lihat topeng Al tidak?" Alleya gusar setengah mati. Ia sama sekali tidak menemukan topengnya, padahal satu jam lagi si balok es akan datang menjemputnya. "Lah, semalam Al taruh di mana? Mama nggak lihat. Bukannya Al melepasnya di kamar mandi kamar Al?" Rita meletakkan rumput-rumput hasil berkebunnya ke tong sampah. "Iya, semalam Al taruh di washtafel kamar mandi, tapi kok sekarang tidak ada," gumam Alleya. "Coba dicari sekali lagi. Jangan-jangan sudah Al simpan di laci tapi Al lupa." Rita mengajak
Rita bergegas masuk kembali ke kamar Alleya. Ia mencari topeng yang menurut Alleya, semalam ia letakkan di washtafel kamar mandi. Seluruh sudut ruang dalam kamar Alleya ia periksa, lemari ia buka, tumpukan buku-buku pun tidak luput dari sasarannya, namun hasilnya nihil. Satu jam lebih dirinya mencari tapi tak kunjung menemukan topeng itu. Rita terduduk di sisi pembaringan Alleya. Ia sekali lagi mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruang, mungkin saja ada bagian yang terlewatkan, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Dengan berat hati, Rita keluar dan menutup kembali kamar Alleya. Ia tidak dapat membayangkan betapa kecewa Alleya, saat putrinya itu tahu, jika dirinya tidak berhasil menemukan topeng buruk rupa yang dimaksud. Suara mesin mobil dimatikan tertangkap oleh indera dengar Rita, yang kemudian melangkah cepat mendekat ke garasi. Dilihatnya Alleya keluar dari mobil dengan wajah kuyu dan tidak
Alleya sedang asyik membaca novel online di platform kesayangannya, mengalihkan pikirannya sebentar dari permasalah topeng buruk rupanya. Sejak sebulan terakhir, ia sudah jarang menonton drakor oppa-oppa dan beralih ke novel online, yang ternyata tidak kalah seru. Sudah dua minggu ini,ia sedang gandrung membaca novel bertema horor. Namun, bukan berarti Alleya ini berani membacanya di setiap waktu. Ia hanya berani membaca saat matahari sudah menampakkan sinarnya hingga matahari sudah mulai beranjak menuju ke peraduannya, pun saat ia sedang berada di lingkungan yang ramai alih-alih sepi. Mana berani Alleya membaca saat sore datang menyapa, apalagi tengah malam. Apalagi, Alleya hanya sendirian di rumah besar itu bersama mama dan papanya. Bagaimana soal topengnya yang hilang? Karena kelelahan, akhirnya Alleya, yang tadi sedang membaca novel online, jatuh terti
"Apan sih? Pagi-pagi gini sudah membicarakan hal yang sangat membosankan! Cari topik lain kenapa?" Aditya menggerutu. Dirinya malas sekali jika sang istri mulai membicarakan hal yang sama setiap pagi. Sebenarnya Aditya sendiri sudah mulai memikirkan permintaan papanya itu. Melihat Abraham yang kian hari kian terlihat lelah, membuat Aditya mulai memikirkan permintaan sang papa. Akan tetapi, dirinya masih tetap diam, tidak mengatakan apa pun kepada Alleya maupun Abraham."Ya sudah, kalau tidak bersedia. Jika suatu hari papa marah besar padamu karena aku jatuh sakit akibat kelelahan, aku tidak akan lagi membantumu. Dan jika sampai mama juga ikut mengutukmu karena sudah membahayakan calon pewaris perusahaannya, aku juga tidak akan mencegahnya," ujar Alleya bangkit dari duduknya lalu meletakkan sesuatu di atas meja riasnya.Apa maksudnya? Aditya menatap kepergian Alleya. Ia mengikuti gerak-gerik Alleya, dan gerakan All
Pintu kamar VIP itu terbuka secara perlahan. Alleya menatap ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, menanti penampakan sosok yang masih berdiri di luar. Alleya menatap Aditya yang melangkah pelan memasuki kamar rawat inap Abraham. Kedua netra pria itu, menatap Alleya yang kala itu tampak begitu bingung."Ada apa?" Bisik Aditya begitu pria itu berdiri tepat di samping Alleya. Saat Alleya hendak menceritakan hal yang tengah terjadi, tiba-tiba suara sinis Abraham menyentil telinga Aditya."Hmm, kemana saja kamu? Sudah selesai mengurusi pacar modelmu itu? Rubah betina tak tahu diri!"Aditya memandang Alleya dengan ekspresi bingung. Alleya mengedikkan kedua bahunya, sama-sama tidak mengerti dengan semua yang sedang terjadi di ruangan itu."Selamat Pagi, Pa! Sudah lebih baik dari kemarin kan?" Aditya mengabaikan pertanyaan Abraham, berjalan ke sisi kanan pembaring
Aditya memutar badannya, menghadap ke arah asal suara yang menyerukan namanya barusan. Sosok cantik Alleya memaku tatapan Aditya. Gelayar aneh merambat halus namun pasti, memenuhi relung hatinya. Seulas senyum terbit di kedua ujung bibir Aditya. Sekali lagi, ia mengucap syukur dalam hati, karena memiliki istri yang begitu cantik seperti Alleya. Suara pantofel setinggi lima sentimeter yang membungkus apik kedua kaki Alleya, menggema di ruangan itu. "Bagaimana, Papa?" tanya Alleya sesaat setelah dirinya tiba di depan Aditya dan keningnya dikecup Aditya dengan penuh perasaan. Alleya berusaha menekan dan mengendalikan dirinya yang rasa-rasanya ingin melompat dan melayang saat itu juga, mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari Aditya. Senyum manis mengembang sedikit kaku, menutupi kegugupannya. Aditya bergeming tanpa mengalihkan pandangannya dari Alleya. "Sudah berhasil melewati masa kritis
"Berapa peluang pasien hidup, Dok?" Aditya berusaha meredam emosinya. Pria muda itu belum siap jika saat ini ia harus kehilangan salah satu dari orang tuanya. Masih banyak yang perlu ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Dokter Irfan tidak langsung menjawab. Pria tinggi berkulit putih dengan kacamata tanpa frame yang bertengger sempurna di hidung mancungnya, menatap Abraham yang sedang tertidur begitu pulas. Aditya sungguh tidak sabar menunggu jawaban meluncur mulus dari bibir tipis sang dokter. Jantungnya tidak bisa diam, berdegup tak beraturan, membuat dirinya berada jauh dari kata nyaman. Dalam sekali tarikan nafas, dokter muda itu, yang usianya terpaut tidak begitu jauh dengan Aditya, menjawab singkat pertanyaan Aditya. "Sembilan puluh persen." Mata Aditya terbelalak. Tidak percaya dengan indera pendengarannya, Aditya kembali memastikan jawaban sang dokter. Ia
Aditya terbangun dari tidur lelapnya ketika suara teriakan Lisa yang memanggil namanya menggema dari lantai bawah. Ia segera bergegas turun dari pembaringannya, mengambil mantel tidur, mengenakannya sambil berjalan tergesa ke luar dari kamar. Berbagai bayangan buruk melintas dibenaknya, membuat langkahnya semakin ia percepat. Setengah berlari Aditya menuruni anak tangga, menuju ke kamar kedua orang tuanya. Diketuknya pintu kamar orang tuanya. "Ma! Mama! Ini Aditya, Ma! Buka pintunya, Ma!" Aditya setengah berteriak sambil terus mengetuk pintu kamar di depannya. "Masuk, Nak! Papa...." Suara Lisa terdengar masih terisak. Tanpa menunggu lama, Aditya langsung masuk ke dalam kamar itu, menatap sekeliling, mencari sosok yang baru saja disebut oleh mamanya. Tidak ada. Ke mana papa? "Papa di mana, Ma? Ada apa dengan Papa, Ma?"suara Aditya sed
Aditya terus menatap Alleya yang masih berusaha melepas pernak-pernik yang menempel pada kepalanya. Dirinya masih tidak percaya dengan yang kenyataan yang ia terima hari ini. Selama ini, Alleya telah membohonginya. Gadis itu telah menyembunyikan wajah cantiknya di balik sebuah topeng buruk rupa, dan hal itu, telah berhasil mengecohnya. Aditya melangkah mendekat ke tempat Alleya yang hendak membersihkan wajahnya dari make up yang masih menempel di wajahnya. Ia menghentikan langkah kakinya, ketika Alleya bangkit dari duduknya, berjalan menuju toiletries lalu mulai membasuh wajahnya dengan sabun muka. Lima menit kemudian, Alleya kembali duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan sisa make up yang masih tertinggal di wajahnya. Tatapan Aditya terus saja mengikuti kemana saja gadis itu bergerak. Ia mulai kembali melangkah mendekat ke arah Alleya. Kini, ia telah berdiri tepat di belakang gadi
"Khilaf?" Sekali lagi Lisa mengulangi pertanyaannya. "Apa maksudnya itu, Dit?" Lisa berjalan mendekat Aditya dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Dirinya masih terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya itu. "Ah, Mama! Maksud Aditya bukan begitu. Aditya ingin memajukan tanggal pernikahannya. Tidak usah menunggu tanggal 9, tapi langsung dimajukan minggu depan saja, tanggal 2." Alleya semakin terkejut. "Ngomong apa sih?? Mana boleh seperti itu? Butuh persiapan dan rencana matang. Ini bukan hanya ngucap ijab aja terus selesai. Nggak seperti itu." Alleya mati-matian menolak ide Aditya yang menurutnya sangat gila itu. "Boleh!" Ucapan Rudy membuat Alleya tambah merana. Ia tidak mengira jika sang papa justru menyutujui ide Aditya, si Balok Es. "Papa! Kok Papa setuju sih? Kan nggak mungkin bisa..." sanggahan Alleya terputus dengan kalimat Rudy berikutnya
Nafas Alleya memburu. "Pengacara nggak ada akhlak! Main nyosor aja... Nggak punya sopan santun!" Teriakan Alleya terdengar Nara hingga wanita itu ke luar dari ruang keluarga, mendekat ke arah Aditya dan Alleya yang berdiri saling berhadapan, dengan jarak yang begitu dekat. Nara yang sejak tadi sudah sangat penasaran dengan penampilan Alleya yang namanya sempat disebut Aditya, terkejut ketika pandangannya jatuh di wajah Alleya. Apa?!! Gadis seperti ini yang akan menikah dengan Aditya? Wajah begitu buruk, sangat jauh dari wajahnya, mengapa bisa memenangkan hati Aditya dan kedua orang tuanya? Nara semakin terkejut, ketika ingatannya membawa dirinya ke pertemuan dengan Alleya beberapa waktu lalu di warung soto, ketika ia dan Aditya sedang sarapan pagi bersama. Saat itu Alleya juga tidak sendiri. Gadis itu datang bersama seorang pria yang tidak kalah tampan dengan Aditya. "Ka-Kauu, All-leya?" Nara benar-benar tid
Rudy memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Semula hanya Rita yang merasa khawatir berlebih. Namun, ketika dirinya sendiri mencoba menghubungi sahabat masa kecilnya itu, dan tidak juga mendapat tanggapan, membuat dirinya mulai merasa cemas. Ryan memilih untuk pulang terlebih dulu, dan akan datang lagi setelah ada kepastian tanggal pernikahan adiknya. Sepanjang perjalanan, Rita terus mecoba menghubungi Lisa, meski respon yang ia terima tidak berubah. Berulang kali dirinya melirik Alleya, berharap putrinya itu berhasil menghubungi Aditya, tapi kenyataannya tetap sama. "Tenang, Ma. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Abraham. Sebentar lagi, Papa akan menghujani pria itu dengan beratus pukulan, karena sudah berani membuat kita semua khawatir." Mobil Rudy akhirnya, berhenti tepat di depan gerbang bercat putih yang tinggi menjulang. Pintu gerbang itu terbuka, me