“Masri…sudah kukatakan, kita sekarang bukan orang lain, kamu jatuhnya kemenakanku sekarang, melalui Bana Harnady dan pastinya ipar kamu, Celica anakku tersebut. Asal kamu tahu, aku pun di tipu Bana Harnady hingga 100 miliaran..!” cetus Olly Bantano dengan wajah serius.Masri kaget, tapi hanya sesaat dia malah tertawa kecil mendengar ucapan Olly Bantano yang dianggapnya mulai ngelantur ini.“Entah sandiwara apalagi yang kamu lakukan saat ini, Roy Sumanjaya sudah sebut kamu terlibat pembunuhan orang tuaku, lalu kamu sebut dalang pelakunya Bana Harnady, kini kamu ngaku ditipu 100 miliar oleh orang yang kamu sebut keponakan tersebut.""Padahal kamu punya anak buah, bahkan nekat-nekat, kenapa tak kamu rampas saja uang itu. Apalagi dia juga keponakan kamu sendiri?” dengus Masri seakan ejek si tua yang dia anggap penuh manipulatif ini. Secara tak terduga Olly Bantano menghela nafas panjang, lalu wajahnya kini kembali serius.“Aku sudah berkali-kali mencoba, tapi hasilnya…!” Tiba-tiba Olly
“Tapi…aku khawatir di sana akan sangat berbahaya Wi?” Masri masih sangsi, dia takut terjadi apa-apa dengan si cantik ini.“Tenang Bang, aku janji bisa jaga diri, mungkin juga aku berguna kelak buat Abang!” janji Dewi, Masri pun tak bisa berbuat apa-apa Dewi tetap ngotot sekali.Malam itu juga Dewi menelpon kakeknya, dan bilang saat ini sedang bersama keluarga ‘sendiri’, yang juga paman adiknya. Mendengar ini, Masri senyum saja, rasa sayang sudah ada padanya.“Soal mencari Erwin, kita sambil jalan yaa, aku akan minta anak buahku di Polres untuk terus lacak di mana Erwin bersembunyi,” janji Masri, karena dia sudah terlanjur berjanji akan bantu Dewi.Untuk melacak di mana Paman-nya tersebut bersembunyi, usai membunuh dan merampas sertifikat serta tabungan neneknya.Setelah mengatur akan ke Papua secepatnya, keduanya tidur di kamar masing-masing. Masri sengaja ambil dua kamar di hotel ini, dia tak ingin ‘khilaf’ dengan kaka keponakannya tersebut.Melihat Dewi, Masri bisa melupakan Atiqah,
“Eh sebentar, nama kamu siapa dek?” Dewi tiba-tiba saja bertanya, sebelum beranjak dari kursinya menyusul Masri yang sudah duluan ke mobil.“Aldi kak, makasih ya Kak, juga buat Om tadi…selamat jalan hati-hati ya!” sahut Aldi dan hanya memperhatikan keduanya masuk ke dalam mobil dan meluncur menuju bandara.Masri terpaksa agak tergesa-gesa, karena waktu mereka mepet, untuk terbang transit ke Jakarta, lalu ke Makasar, dan kelak ke Papua.Aldi tentu saja melongo dan geleng-geleng kepala melihat banyaknya uang yang diberikan Masri.Dan inilah juga kesalahan Aldi, kenapa dia tak cerita kalau dulu pernah di tolong Masri.“Hebat sekali Om Masri ini, uangnya banyak betul, enteng banget ngasih uang tak sedikit ini.” gumam Aldi, yang tak menyangka akan dapat rejek nomplok lagi.Lalu berkali-kali ucap syukur.“Alhamdulillah, mungkin berkat zikir yang selalu aku lakukan setiap saat, Allah beri aku rejeki yang terduga melalui Om Masri.” batin Aldi, sambil meraba tasbeh kecilnya di saku baju.Remaj
Begitu balik ke kamar, Masri kembali harus meredakan nafsunya, dengan santainya Dewi duduk sambil rebahan di kasur melihat tayangan TV.Pahanya yang mulus dan berbulu halus terpampang jelas. Dewi benar-benar menurun 100% kecantikan Tante Renita saat muda, yang membuat seorang Gibran pun sampai mabuk kepayang.Masri lupa dengan semua wanita yang pernah dekat dengannya, Dewi memilik aura kecantikan yang memabukan dirinya saat ini.Tapi...Dewi bukanlah sebangsa wanita yang mudah ditaklukan, salah besar kalau Masri berpikiran begitu..!Begitu melihat Masri hanya pakai handukan, giliran Dewi yang kagum melihat body Masri yang kekar dengan perut bersekal-sekal.Ditunjang tubuh tinggi menjulang, di mata Dewi sosok Masri adalah pria sempurna, idaman semua wanita, bonusnya lagi. Masri memiliki kekayaan tak berseri lagi, nilai plusnya, aparat pula.“Badan kamu bagus banget, berotot tapi nggak segede gaban kayak atlet binaraga. Kalau gede kayak mereka, wuihh eneg aku lihatnya. Badan kamu kayak b
Begitu mendarat di Papua, hanya istirahat makan siang, Masri langsung sewa sebuah mobil 4X4 yang masih terlihat baru dan menuju ke lokasi tambang emas milik Bana Harnady.Bukan jalan yang mudah, selain sangat jauh, faktor keamanan juga menjadi tantangan bagi Masri dan Dewi saat ini.“Hati-hatilah, tempat yang tuan dan nyonyah tuju sangat berbahaya, sewaktu-waktu kalian berdua bisa jadi akan bertemu kaum pemberontak dan di culik,” kata si pemilik mobil mengingatkan, saat Masri membayar sewanya.Dia mengira keduanya pasangan suami istri yang sedang 'berbulan madu' ke daerah ekstrem.Masri pun berterima kasih sudah diperingatkan, saat berada dalam mobil, Masri kagum juga, Dewi ternyata tak ada takut-takutnya, malah antusias sekali.Dewi heran, saat Masri singgah di sebuah pasar dan memenuhi bak mobil di belakang dengan sembako, lalu di tutup terpal dan diikat kuat, yang di bantu pemilik toko sembako.“Kelak ini akan sangat berguna dan lebih berharga daripada uang dan emas, bahkan senjata
Masri pun mengintip dan di gelapan malam, dia melihat saling tembak menembak antara pasukan anak buah Kapten Lau dengan puluhan pasukan bersenjata.Masri tak mau berpangka tangan, setelah meminta Dewi jangan kemana-mana dan tetap tiarap bersembunyi. Dia pun keluar dan berindap-indap, lalu mulai membidik 3 orang sekaligus.Dor…dorr…dorr...3X tembakan Masri lepaskan dan 3 orang itu terjengkang, karena dahi mereka sudah berlubang.Saat melihat ada lagi 2 orang yang aseek menembaki tentara, kembali pistol Masri menyalak dan 2 orang itu nasibnya sama, dahi mereka tertembus peluru.Tiba-tiba terdengar seperti siulan dan pasukan penyerang ini bak hantu saja menghilang ke hutan dan sengaja tinggalkan jasad 5 orang temannya. Tembakan maut Masri bikin pasukan penyerang ini ciut, tak mereka sangka ada penembak jitu di tempat ini.Masri…dengan cueknya kembali masuk ke tempat ini dan merebahkan diri di tempat semula. Dewi yang tadi sempat ketakutan, kini lega dan ikut merebahkan di sisi tubuh Mas
3 anak buah si pemimpin ini langsung membuka bak mobil tersebut dan mereka bersorak saat melihat sembako yang di bawa Masri, tentu paling mereka inginkan saat ini adalah…rokok dan kopi plus gula pasirnya.Masri senyum saja melihat kelakuan para penculiknya ini, sikap sang pemimpin pun yang tadinya sangar, kini mulai berubah lebih ramah.Setelah mengenalkan diri, Masri dan Dewi kini malah di jamu bak 'tamu besar', tapi lebih separu sembako sudah diturunkan dan otomatis jadi milik pasukan bersenjata ini.“Abang hebat, tanpa bersilat lidah tak perlu, cukup sembako semua berubah,” bisik Dewi makin geleng-geleng kepala.Sambil melihat anggota pasukan yang berjumlah hampir 100 orang ini aseek menikmati rokok dan sekaligus rame bikin kopi yang dibawa Masri tadi.Sang pemimpin yang bernama Apus ini berkurang curiganya dengan Masri. Masri pun beruntung, dia juga tak di geledah badannya, sehingga pemuda ini lega, senjatanya aman-aman saja ditubuhnya.“Enak juga rokok dan kopi orang kota,” cetus
Masri cabut dompetnya dan keluarkan kartu anggota klub menembak dan di sana tertulis pekerjaan Masri adalah pengusaha.Melihat ini, Apus menganggukan kepala, kembali rasa curiganya berkurang.“Hmm…baiklah, aku percaya kamu bukan aparat, tapi aku ingin tes kamu, apakah bisa gunakan senjata berat? Ayo ikut aku!” Apus berdiri diikuti anak buahnya, lalu menuju ke sebuah lapangan.Dewi tak mau jauh-jauh dari Masri, dia gelondotan saja di lengan pemuda ini, ngeri melihat pandangan anak buah Apus yang bak menelannya bulat-bulat.Bagaimana tidak melotot mata mereka, melihat ’bidadari’ nyelonong di tengah hutan belantara Papua. Walaupun ada juga puluhan wanita di kelompok ini, tapi tentu saja Dewi berbeda jauh.Bagi mereka Dewi benar-benar bidadari yang turun ke hutan!Lagi-lagi Apus dan anak buahnya melongo, Masri dengan entengnya bongkar pasang senjata berat dan saat melakukan bidikan, semua nya makin terheran-heran saking kagumnya dengan kemampuan Masri lakukan tembakan.Bidikan Masri tepat