Sonya ternyata tak menolak ikut mobil yang disewa Gibran. “Kamu tinggal di mana Sonya?” pancing Gibran sambil pegang setiran.“Tuan Dyan sendiri nginap di hotel mana..?” Sonya malah balik bertanya. Sambil wajah pemuda ini.“Aku di hotel Soppeng Indah,” sahut Gibran apa adanya, karena dia memang nginap di salah satu hotel termewah berbintang 4 di kota ini.“Kalau tuan Dyan tak keberatan, boleh nggak aku ikut mampir ke hotel tuan?” pancing Sonya, sambil menoleh ke arah Gibran yang kini konsen ke jalanan.“Boleh…!” Gibran cepat, dia pun membelokan mobilnya dan kini menuju ke hotel tempatnya nginap. Inilah yang sebenarnya dia ingginkan.“Awal yang baik,” pikir Gibran, yang berencana akan korek keterangan tentang pria yang bernama Alex itu melalui Sonya ini.Setelah ambil kunci di resepsionest, Sonya tanpa ragu ikuti Gibran ke kamar hotel pemuda ini.Sonya kagum juga, Gibran ternyata nginap di kamar yang bertipe Presiden Suite, atau kamar termahal di hotel ini.Kali ini Sonya mulai yakin.
“Hmm…benaran nih mau kasih aku bonus…kalau Abang mau, aku bisa arahkan ke sebuah perusahaan yang benar-benar menambang emas.""Perusahaan mereka ini legal dan aku yakin kalau kelak mereka dapat investor, pasti akan menguntungkan. Kalau Abang ragu, bisa nanti Abang cek ke pemerintah daerah terkait, soal perusahaan itu, aku nggak bohong..?”Sonya menawarkan sebuah perusahaan tambang emas di daerah ini. Kali ini Gibran mulai tertarik.Gibran pun mengangguk. Lalu dia minta Sonya sebutkan nama perusahaan itu, Sonya pun menyebutkan dan Gibran cek melalui ponselnya, ternyata perusahaan yang Sonya sebut memang benar ada, legal alias resmi lagi.“Sonya…kalau kamu emank benar mau berhenti dari tuan Alex, aku akan angkat kamu sebagai staf penghubung perusahaanku dengan perusahaan ini, aku akan gaji kamu 5X lipat lebih besar dari gajimu sekarang,” janji Gibran.“Oh yaa…benarkah…kalau Abang serius, berani nggak Abang beri aku gaji di muka sekarang juga?” tantang Sonya dengan wajah berbinar.Tanpa
Tiga hari kemudian, baru saja Gibran selesai sarapan pagi di restoran hotel ini, dia kaget saat membaca chat dari Sonya.Sonya sebelumnya dua malam bersamanya memadu cinta panas. Tak di nyana, ketika pulang dan sesampainya di rumah, Sonya sudah di hadang Alex dan anak buahnya.“Bang, aku di sekap Tuan Alex dan anak buahnya, dia marah aku minta resign, tolong aku!” demikian bunyi chat itu.Sonya juga sempat beri alamatnya melalui aplikasi chat ini, Gibran terdiam sesaat, dia tak mau bertindak gegabah.“Hmm…musuh mulai main kayu, kasian juga Sonya.” Pikir Gibran pun menatap alamat yang diberikan Sonya melalui ponselnya.Gibran lalu balik ke kamar hotelnya, dia sembunyikan pistol pinjaman dari Ipda Drajat di sepatunya. Kini dia bergerak menuju di mana Sonya di sekap Tuan Alex dan anak buahnya.Tak ada ketakutan dalam dirinya, dia sudah siap dengan segala kemungkinan, walaupun Gibran juga sadar, pasti musuhnya tak bakal tinggal diam.Gibran terdiam sesaat ketika dekat dengan alamat yang d
“Ha-ha-ha tak di cari malah muncul sendiri, kamu memang punya nyawa rangkap tuan Gibran,” bentak Alex, sekaligus mengejek Gibran yang berani muncul dihadapannya terang-terangan.“Sabar dulu tuan Alex, aku punya tawaran lebih menarik dari tawaran yang selama ini kamu terima dari tuan Sherman yang mencoba membunuhku, melalui anak buahmu itu,” kali ini Gibran tak mau berbasa-basi lagi.“Hehh…darimana kamu tahu aku kenal tuan Sherman itu dan anak buahku pelakunya!” bentak Alex, yang tak mengira kedoknya sudah terbuka.Saking kagetnya, Alex bahkan kini mulai keluarkan pistolnya seakan menggertak Gibran. Dia pikir kalau musuh sudah tau, artinya posisinya dalama bahaya.“Hemm…tak bisakah kita bicara sebagai mitra tuan Alex, aku lupakan soal rencana pembunuhan itu. Masa aku dibiarkan berdiri,” pancing Gibran tenang.Walaupun urat syaraf di tubuhnya langsung menegang, melihat Alex keluarkan senjata itu. Tentu saja Gibran tak mau mati konyol di tembak pentolan preman yang naik pangkat jadi waki
Gibran kini berangkat menuju ke kampung Kakek Telo, setelah dua malam bersama Sonya dan keduanya kembali menjalin cinta panas, hingga Sonya kelelahan dan tak sanggup lagi meladeni keperkasaan pemuda ini.Gibran tersenyum saja kalau ingat Sonya, dari sekian wanita yang pernah kencan, Sonya paling heboh saat bercinta. Juga paling apa adanya dengan bilang tak ‘berani’ jadi istri Gibran.“Bisa kurus kering aku kamu bikin, siang malam di permak mulu,” canda Sonya tertawa.Kali ini Gibran kembali ikut kapal sungai dan perjalanan panjang selama 4 jam menuju ke desa Norah kembali, untungnya Gibraan menikmati perjalanan via sungai ini.Ada rasa kangen juga melanda hatinya, kalau ingat Norah. Entah kenapa, diam-diam dia mulai ada rasa beda dengan janda mungil ini.Setelah tiba di dermaga, Gibran minta tolong dua pekerja di dermaga kecil itu. Untuk angkut oleh-oleh yang sengaja dia beli di kota kabupaten buat Kakek Telo, Norah dan Aldi.Norah tentu saja pangling melihat penampilan Gibran yang b
Gibran menatap laporan yang di buat Arman, laporan yang lumayan tebal itu membuatnya mengeryitkan dahi.Namun bukan itu yang membuatnya senyum sinis, tapi melihat video yang di rekam salah satu stafnya, yang mendampingi Arman dan Irina, yang dilakukan atas permintaannya.Di video itu terlihat jelas bagaimana Sekretarisnya ini bersama Arman terlihat mesra dan tidur di kamar hotel yang sama.“Hmm…sudah kuduga sejak awal, tapi aku tak menyalahkan Irina, dia sudah dewasa dan Arman juga bukan lelaki jelek…mungkin Irina ingin kepastian seorang pria dan Arman meladeninya…aku…belum kepikiran ber RT, kalaupun mau ambil istri…pasti Norah atau…Atiqah!” batin Gibran.Ingat Atiqah, melihat kedekatan Arman dan Irina, Gibran sudah bisa memastikan, Arman jelas memilih Irina dan meninggalkan Atiqah.Apalagi dia ingat keluarga Atiqah sudah ‘mentah’ dengan pemuda itu, karena berani batalkan pertunangan satu hari sebelum hari H, ini bikin malu keluarga Atiqah.Gibran lalu memanggil salah satu sekretaris
Gibran bersuara sambil perlahan mengangkat kepalanya. “Hmm…siapa suruh kamu nyelonong masuk…ehh kamu?” Gibran yang tadinya ingin marah sambil mengangkat wajahnya, kini mendadak kaget.Gibran langsung bangkit dari kursinya dan memeluk erat pemuda bertubuh kurus tegap berkepala plontos ini.“Gila kamu, ke sini nggak kasih kabar!” tepuk Gibran, karena pemuda ini adalah adik kandungnya sendiri, Masri Harnady.Terlalu asek sebagai pemilik perusahaan Harnady Group, Gibran sampai lupa kalau adiknya ini sudah lulus pendidikan polisi. Wqaktu 4 tahun memang tak terasa.“Abang kok pemarah banget, jangan-jangan anak buah Abang di kantor ini pada takut kalau ketemu sang big bos ini,” olok Masri sambil tertawa. Kedua pemuda sama tinggi dan sama tampannya ini tertawa barengan, Gibran langsung ajak adiknya duduk di kursi tamu yang luas dan mewah.“Kamu kurusan, tapi badan kamu keras kayak binaraga, kapan sih wisudanya dan nyandang pangkat Inpektur Dua?”“Minggu depan Bang, peresmiannya di Istana Neg
Masri untuk sementara masih bertugas di Mabes, sambil menunggu penempatannya kelak. Satu bulan kemudian, ketampanan Masri makin naik berlipat-lipat, setelah rambutnya mulai tebal.Di tambah brewoknya yang tumbuh lebat, tapi selalu dia pangkas dan dirapikan. Juga tubuhnya tak lagi kurus jangkung, tapi sudah lebih berisi dan ideal dengan tubuh jangkungnya.Masri tak lagi harus ikuti aturan ketat seperti di Akpol, kini dia banyak waktu santai dan tentu saja badannya makin berisi.Tak ada juga yang tahu, Masri aslinya seorang penembak jitu, tembakannya jarang meleset, inilah salah satu yang membuatnya lulusan terbaik di angkatannya. Dan kini dia ditempatkan di sebuah Polsek Metro Jakarta, dengan tugas di bagian reserse. Karena di reserse, otomatis dia jarang pakai seragam polri, tapi lebih sering berbaju preman.Bahkan tak ada juga yang tahu, diam-diam inilah yang Masri tunggu-tunggu, dia sudah tahu siapa itu Sherman dan Roy Sumanjaya, juga Olly Bantano, musuh keluarganya dari cerita Gib