Jingga povAku menghela nafas dengan bosan. Biasa bekerja dan tiba-tiba menganggur tentu saja membuatku hampir mati kebosanan. Apalagi saat ini aku masih tinggal di Jakarta, tempat yang aku tidak pernah kunjungi sebelumnya dan saat ini aku tengah diam di rumah bersama kang Ahmad yang sedari tadi tengah sibuk sendiri dengan laptopnya. Sementara Emak, sehabis makan tadi langsung kembali pulang ke rumah teh Ayu. Katanya dua cucunya itu mau dianterin sekolah sama nenek kesayangan mereka. Saat ini, rasa bosan benar-benar menghatui perasaanku. Ingin melakukan sesuatu, tapi bingung apa yang harus aku lakukan. Biasanya di Jam segini aku masih berada di pondok bersama para kelinci-kelinciku."Huaaa," mulutku terbuka lebar, menguap begitu saja seakan rasa bosan ini sudah benar-benar berada di zona merah. Kedua mataku kembali melihat kang Ahmad yang masih asik duduk lesehan bersama laptopnya, dengan memberanikan diri aku mendekat kearahnya."Kang," seruku memanggilnya dengan hati-hati.Kang a
"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .Glek.Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani."Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal."Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku."Boro-boro bulan madu, dekat dengan k
Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.***Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh."Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya."Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela nafa
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k
"Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,
Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Jingga povAku menghela nafas dengan bosan. Biasa bekerja dan tiba-tiba menganggur tentu saja membuatku hampir mati kebosanan. Apalagi saat ini aku masih tinggal di Jakarta, tempat yang aku tidak pernah kunjungi sebelumnya dan saat ini aku tengah diam di rumah bersama kang Ahmad yang sedari tadi tengah sibuk sendiri dengan laptopnya. Sementara Emak, sehabis makan tadi langsung kembali pulang ke rumah teh Ayu. Katanya dua cucunya itu mau dianterin sekolah sama nenek kesayangan mereka. Saat ini, rasa bosan benar-benar menghatui perasaanku. Ingin melakukan sesuatu, tapi bingung apa yang harus aku lakukan. Biasanya di Jam segini aku masih berada di pondok bersama para kelinci-kelinciku."Huaaa," mulutku terbuka lebar, menguap begitu saja seakan rasa bosan ini sudah benar-benar berada di zona merah. Kedua mataku kembali melihat kang Ahmad yang masih asik duduk lesehan bersama laptopnya, dengan memberanikan diri aku mendekat kearahnya."Kang," seruku memanggilnya dengan hati-hati.Kang a
Jingga povBibirku tak berhenti membentuk lengkungan saat melihat kang Ahmad dengan begitu cekatan memasakan sarapan untukku pagi ini, meski dengan menu sederhana namun aku bahagia hari ini. Terik matahari yang sudah menyinari halaman depan rumah menambah semangat dalam setiap gerakan tangannya. Suara gemericik air yang mengalir dari kran, aroma bawang yang sedang ditumis, semuanya terasa begitu familiar dan menenangkan.Aku duduk di meja makan, menyaksikan bagaimana ia begitu telaten, dengan berbagai peralatan dan bahan masaknya. Tangannya bergerak gesit, mulai dari menumis hingga mengaduk mie yang sedang digodok. Sesekali ia melirikku dengan senyum ringan, seolah-olah memastikan aku mengamati setiap detil yang ia lakukan."Taraaaa, mie nyemek pedas ala chef Ahmad sudah jadi ..." Suara kang Ahmad menggema begitu semangat memecah lamunanku. Aku menoleh dengan senyum lebar. Pemandangan mie nyemek yang baru saja disajikan itu tampak begitu menggoda. Paduan warna oranye kecokelatan dari
"akang dimana? Pulang ya kang, Jingga udah buatkan sandwich buat akang buat sarapan pagi ini" Dahiku mengernyit bingung saat membaca pesan dari Jingga. Apa katanya? Dia sudah membuatkan sarapan pagi ini? Sandwich? Darimana pula dia bisa dapat bahan-bahannya? Bukankah tidak ada bahan makanan satu pun di dapur? Kok bisa? Bukannya ia tengah mengisolasi diri saat ini?"Mad, kenapa kamu? Kok kaya kebingungan gitu, teh Ayu kirim kamu pesan apa lagi?" tanya Emak saat ia kembali memasuki mobil setelah kami selesai berbelanja. Aku menoleh, menyimpan ponsel kembali diatas dasboard tanpa berniat untuk membalas pesannya. Toh, sekarang juga aku pulang. "Bukan mak, Jingga. Dia menyuruhku pulang, katanya dia sudah buatkan sarapan untuk Ahmad," jawabku seadanya.Emak mengangguk, wajahnya seketika tersenyum cerah saat aku meliriknya dari kaca mobil. "Ih kenapa mak, bahagia banget. Aneh, padahal udah buanh duit" sindirku. "Gak salah kamu pilih istri Mad, Jingga itu pengertian. Meski kamu semenyeba
"Kamu tega Mad, biarin emak desak-desakan di pasar?" tanya Emak dengan raut tak percayanya saat aku baru saja menancap pedal rem mobil tepat di sebrang pasar. Aku menoleh dengan bingung. "Kan biasanya juga emak suka ke pasar, kok dramatis banget mak ngomongnya?" tanyaku heran, tak biasanya emak protes seperti itu.Emak berdecak, kedua tangannya bersidekap dada. "Mikir weh atuh Mad, ini teh bukan tempat emak. Ini kota besar, pasarnya luas. Mana ini masih pagi, kali-kali atuh bawa emak ke mall kaya teteh mu itu."Aku mengernyitkan dahi, masih belum paham dengan maksud emak. "Emak mau ke mall? Emang, kenapa?" tanyaku, mencoba memahami apa yang emak bicarakan.Emak menatapku dengan tatapan yang agak tajam, "eleh pake nanya lagi. Ayo antar emak ke mall aja, biar belanjanya nyaman" Aku terdiam, berpikir sejenak kemudian merogoh saku celana. Mengambil dompet, lalu membukanya. Aku meringis saat melihat isi dompetku yang begitu tipis. "Ahmad harus hemat mak, pengobatan Jingga butuh biaya yan
Mood ku pagi ini benar-benar berantakan, begitu kacau gara-gara mimpi dan percakapanku bersama si mamang tadi. Sementara itu, Jingga tak tau apa-apa terus menguntit untuk bertanya prihal apa yang terjadi. "Masak sana, saya lapar!" teriakku ketika Jingga mendekat kembali, duduk di sebelah. Ia terperanjat kaget. "Bahan-bahannya gak ada atuh kang, Jingga bingung harus nyari ke mana" keluhnya dengan menunduk."Ya ke pasar lah!" jawabku setengah membentak membuatnya beringsut ketakutan. "Tapi kang, ini Jakarta. Jingga gak tau jalan, lagi pula Jingga gak mau keluar takutnya semua orang terganggu dengan bau badan Jingga" jawabnya dengan lirihan.Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi itu malah membuatku semakin merasa sesak. Suasana pagi ini terasa semakin kacau dengan rasa frustrasi yang semakin menumpuk. Aku hanya ingin sedikit kedamaian, tapi entah kenapa, semuanya terasa seperti badai."Kamu tuh terlalu stres! Gak usahlah di pikirin tentang sindrom kamu itu! Semakin kamu
Rasanya panik bukan main saat kesadaranku kembali seutuhnya, kedua tangan ini dengan cepat meraba seluruh tubuh lalu menyadari jika pakaian masih melekat di tubuhku. Ah, masih utuh. Seraya menunduk, aku meraba retsleting celanaku. Siapa tau sudah tidak terbuka? Tidak, semuanya masih seperti semula! Lalu Jingga? Dengan keraguan tubuh ini bergerak, merubah posisi menjadi miring. Kulihat Jingga nampak masih tertidur pulas di bawah sofa dengan beralaskan karpet beludru. Tunggu dulu, lalu? Bukannya tadi pas setelah kumandang adzan subuh itu, Jingga berada di atasku? Kami sudah melakukannya, dan diakhiri dengan pengakuanku? Bayangan-bayangan saat aku memeluk Jingga dan meminta hak ku masih terngiang di pikiranku. Suara-suara permintaan maaf serta penyesalan masih terngiang-ngiang ditelingaku. Perlahan aku bangkit, mencoba mengatur napasku yang masih terengah-engah. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku justru semakin kacau. Aku mencoba untuk fokus, memeriksa setiap inci tubuhku se
Aku mengerjap saat dada terasa begitu sesak, tubuh rasanya tertimpa beban ribuan kilo. Berat! Namun ceruk leherku rasanya begitu hangat. Ah, apa yang terjadi padaku. Suara kumandang adzan subuh terdengar begitu nyaring, saat aku memaksa membuka mata yang masih terasa berat, namun tubuhku yang seperti tertimpa beban ini rasanya begitu sulit untuk di gerakkan memaksa aku untuk segera membuka mata. Aku mendengus, saat mendapati tubuh Jingga berada diatasku dengan kedua tangan tengah memelukku. Sementara kepalanya bertengger di dada bidangku dengan deru napas yang terasa begitu hangat pada ceruk leherku. Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna situasi yang tak biasa ini. Apa yang terjadi semalam, benar-benar di luar dugaanku. Tak pernah dalam bayanganku, kami akan berada dalam posisi seperti ini. Apalagi saat aku merasakan hangatnya tubuhnya yang terbenam begitu dekat, begitu intim. Sungguh, tak pernah. Entah bagaimana caranya, padahal semalam kami habiskan dengan obrolan ringan s
Jingga povDini hari, aku terjaga dari tidur. Mataku mengerjap pelan karena terusik dengan rasa haus yang menggerogoti kerongkongan. Aku menoleh karah nakas, berharap segelas air putih yang biasa ku sediakan ada disana. Namun saya, entah karena aku lupa atau apa segelas air yang biasanya tersedia kali ini tidak ada sama sekali. Mau tak mau aku akhirnya memaksakan diri beranjak dari ranjang, menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat keluar kamar, aku di kejutkan dengan sosok kang Ahmad yang masih terjaga tengah terduduk di ruang tamu dengan menatap laptop yang menyala di hadapannya. Kesepuluh jari tangan kang Ahmad nampak sibuk, menari diatas tooth keyboard laptop, dengan sesekali matanya memicing seolah memeriksa sesuatu. Rupanya, pria itu tengah tenggelam dengan kesibukannya hingga tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi berdiri diambang pintu kamar. Berusaha untuk tak peduli, aku berjalan pelan menuju dapur. "Mau kemana?" Langkahku terhenti saat suara tak asing menyapa ru
"Apa yang dokter Anwar katakan, Mad?" Emak bertanya saat kami baru saja tiba di rumah kontrakan sore hari ini. Entah sejak kapan emak menunggu, yang pasti ku lihat penampilannya sudah sedari lama. Aku menghela napas berat, melirik ke arah Jingga yang begitu murung. Wajah bermuram durjana."Jingga, kenapa nak? Cerita sama emak ya" tutur emak lembut mendekati Jingga. Jingga tetap terdiam, matanya yang sendu menatap lantai, seolah takut menatap emak yang begitu penasaran akan apa yang Jingga alami selama ini. Raut wajahnya begitu lelah, seperti ada beban berat yang ingin dia lepaskan, tapi kata-kata tidak kunjung keluar.Aku menarik emak dengan lembut, kedua netra ini mengkode agar emak tetap membiarkan Jingga untuk pergi ke kamar. Biarkan dia beristirahat sejenak. "Kenapa mad, jelaskan. Emak gak mau kalian menutup-nutupi penyakitnya. Mas abi tadi telpon, kalau kalian,""Emak pasti sudah tau jawabannya dari mas Abi dan teh Ayu" potongku cepat, enggan menjelaskan.Emak menatapku dengan