"mang Juned menghubungi mas sama teteh tadi" aku melirik kearah pria yang tiba-tiba berada di kontrakanku diwaktu yang nyaris tengah malam kini berada. "Mang Juned sudah ngomong sesuatu?" tanyaku dengan hembusan napas lelah. Sialnya, aku lupa kalau mang Juned. Adik bungsunya si emak itu orangnya bawel. Punya mulut lemesnya kaya perempuan. Ada anggukan samar yang mas Abi berikan sebelum ia menjawab. "Emak marah, kenapa kamu meminta pinjaman sebesar itu sama bank? Ngapain juga kamu berhenti ngajar?" tanyanya menatapku dalam. Kabar berhembus begitu cepat, bak angin lalu. Ini juga apa-apaan Mas abi pulang dinas bukannya langsung pulang ke rumah, malah mampir ke kontrakan dan bertanya seperti itu. Apa dia mau ikut campur urusanku? Ah, itu pasti!"Sudah ku pikirkan matang-matang sebelumnya mas. Bapak juga setuju," jawabku apa adanya. Ya memang rencana ini ku atur selain melibatkan adiknya jingga, bapak juga termasuk. Bahkan ia mendukung penuh strategi yang aku buat itu. Mas manggut-man
"kondisi istrimu sudah cukup baik Mad, baunya juga sudah berkurang" aku dan Jingga saling pandang dengan senyuman saat dokter Anwar memberitahu bagaimana kondisi Jingga sekarang. "Mentalnya di jaga, jangan buat dia stres ya Mad," ucapnya lagi dengan diselingi tawa renyah. Aku mengangguk cepat. "Tentu itu dok," jawabku malu-malu. Dokter Anwar menggeleng dengan kekehan. "Kalian tidak perlu sering kesini, lagi pula penyakitnya bukan penyakit yang parah. Kuncinya sih jaga pola makan dan rubah pola hidup, jangan stres. Hindari aktivitas yang menyebabkan keringat berlebih" pesan dokter Anwar. "Penggunaan sabun dan shampo juga sudah benar itu," lanjutnya. Kami mengangguk, "jadi dok penyakit ini bisa sembuh?" tanya Jingga dengan cepat. Dokter Anwar terdiam cukup lama, seolah tengah memilah-milih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Jingga. Aku tau, sindrom bau ikan ini tidak dipastikan sembuhnya, bahkan obatnya sampai saat ini juga belum di temukan secara pasti. "Ada kemungkinan,
Hari ini aku dan Jingga memutuskan untuk berkunjung kerumah teh Ayu sebelum kami memutuskan untuk kembali ke kampung, menata masa depan kami. Bau tubuh Jingga yang sudah hampir tidak tercium, membuat Jingga percaya diri untuk bertemu sang kakak ipar. Aku tersenyum, menatap Jingga yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Senang lihatnya melihat Jingga yang sudah seceria ini dan bahkan ia juga sudah bisa bersolek sekarang. Grep. Aku memeluk ia dari belakang, dengan kepala ku benamkan dibahunya, mencium aro parfum yang baru saja ia semprotkan sehabis mandi ini. "Kang," tegurnya memukul lenganku yang melingkar di tubuhnya. "Kenapa ih? Biarkan seperti ini, wanginya enak" jujurku. Jingga mendengus, ia berbalik hingga kami saling berhadapan. Kepalanya mendongak, menatapku dalam. "Sejak kapan suami aku ini jadi manja kaya gini?" tanyanya dengan kekehan geli. Beberapa kali ia mengucup bibirku gemas."Jangan mancing, kalau kamu gak mau keramas lagi" tuturku frontal membuat ia tersipu
Sepanjang perjalanan, senyum Jingga tak henti-hentinya terbit menghiasi wajah Ayu. Aku hampir terkekeh sendiri melihat bagaimana bahagianya Jingga saat ini, bahkan beberapa kali ia menyenandungkan lagu yang tidak pernah ku dengar sebelumnya. Ah, sebahagia itu rupanya. Perjalanan hampir memakan waktu setengah hari, dengan santai aku mengemudikan mobil ditemani music yang sengaja ku putar mengalun lembut, menemani perjalanan kami. "Kang, mau gantian?" tawarnya Jingga saat aku beberapa kali menguap. Aku menoleh, lalu menggeleng sebagai penolakan. "Kita istirahat dulu aja ya, sambil beli makanan. Kamu bosan kan dari tadi gak ngemil, biar saya belikan dulu" ujarku sembari menatap lurus, fokus pada jalanan dengan harapan ketemu rest area setelah ini. "Boleh kang, tapi kalau akang lelah, juga gak papa biar aku aja yang nyetir" tawarnya lagi yang cepat ku tolak. "Tuan putri duduk manis aja, gak usah mau di repotin sama pangeran" kekehku yang membuatnya bersemu merah. Aku tertawa pelan m
Aku menghambuskan napas jengah saat menatap punggung mamang yang tengah memasuki mobil kesayangannya yang baru kami pakai itu dengan emosi yang tak teratur, bahkan pintu mobil yang ia naiki pun dengan kesalnya ia banting. Beberapa kali bapak mengusap dada dengan gelengan diiringi istighfar, sementara Mail ia dengan segala emosinya terduduk lemas. "Mulai sekarang, kalian jadi tanggung jawab saya!" Putusku berujar pada Mail yang tengah berusaha memperbaiki moodnya. Bapak mengangguk, ia menepuk pundakku dengan bangga. "Bapak dukung," ujarnya."Yasudah, masuk dulu deh. Kamu baru sampai pasti capek" lanjut bapak. Aku mengangguk, mengusap wajah kasar dan berjalan beriring memasuki rumah. Pertengkaranku dengan mamangnya Jingga benar-benar menguras emosiku. "Mak, Jingga mana?" tanyaku ketika tak mendapati Jingga di ruang tamu, hanya emak dan tontonan tv yang menyala. Emak menunjuk ragu pada lantai dua, "mungkin di kamar, tadi pamitnya mau istirahat dulu sebentar" jawabnya. Oke, aku ber
"Kang, tadi sore Jingga dengar ibu kaya marah-marah. Ada apa?" Jingga bertanya ketika aku baru saja membaringkan tubuh di sebelahnya malam ini setelah urusanku dengan pihak selesai tadi. Mata yang tadinya memaksa untuk di pejamkan, kini berubah segar seakan ada cipratan air yang menyadarkan.Aku menoleh, kearah Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambut panjangnya basah, menandakan kalau ia baru saja selesai mandi. Aku menarik napas, bangun dari pembaringan lalu tangan ini bergerak mengambil haidrayer. "Sini, biar akang bantu keringkan rambutnya" titahku pada Jingga agar ia duduk di bawah karpet sementara aku duduk di atas ranjang. Jingga terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar dengan menuruti perintahku. Aku mulai menyeka rambut Jingga yang masih basah itu dengan lembut. Wangi shampo terdengar kuat di indra penciumanku. "Pipinya udah gak perih lagikan?" tanyaku khawatir. Jingga tergelak, "jingga kebal kang. Gak papa kok, cuma kelihatan ya masih mera
"Rencana pembangunannya kapan kang?" Setelah saling memadu kasih, aku disajikan dengan pertanyaan yang lontar dari mulut Jingga. Perempuan ini benar-benar tidak ada kata lelahnya, padahal setelah ini ingin rasanya aku tertidur sebentar sebelum kembali memikirkan proyek yang hendak aku jalankan di pagi harinya. "Besok rencananya sudah mulai, tadi sore keluar sekalian beli bahan bangunannya. Rumahnya sederhana gak sebesar rumah kamu atau rumah ini, gak papa kan?" jawabku diakhiri pertanyaan.Jingga terdiam, tangannya masih saja nakal dengan mengelus-elus perut sixpack yang mungkin sebentar lagi akan buncit. Khas bapak-bapak, mungkin."Gak papa kok, yang penting nyaman" ujarnya, kali ini tangannya merayap, mengusap peluh di dahiku. Aku merengkuhnya kedalam pelukan, tangan besarku ini berusaha menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikannya yang tak pernah membuatku bosan. "Konsep rumahnya kaya rumah panggung seperti di pondok, gak papa kan?" tanyaku lagi memastikan. Aku harap
Banyaknya orang yang lalu lalang sepagi ini dengan mengangkut banyak barang bahan bangunan, membuat aku tersenyum cerah. Enaknya hidup di pedesaan itu seperti ini loh, budaya gotong royongnya masih kentara. Semua warga bahkan berbondong-bondong ikut serta membantu bahkan dalam hal sekecil apa pun. Ini hari pertama pembangunan proyek yang aku rencanakan, namun semua warga tanpa dimintai tolong pun dengan antusias membantu. "Itulah gunanya manusia Mad, mahluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya" ujar bapak menepuk pundakku. Ia menghirup napas udara pagi ini dengan banyak dan tersenyum penuh syukur. "Zaman sekarang, jarang sekali manusia membantu dengan keikhlasan. Semuanya butuh uang, tapi hidup di pedesaan? Hal itu masih sangat jarang, mereka masih dengan suka rela membantu satu sama lain. Bersyukurlah kamu masih hidup di desa," Aku mengangguk, meneguk secangkir kopi panas yang ku buat tadi. "Iya pak, Ahmad bersyukur. Terimakasih juga ya pak, sudah mau mendukung impian Ahmad"
Pagi ini, aku sudah berdiri di depan pintu ruangan seorang direktur utama pt. Niasagari. Perusahaan terbesar di bidang industri, tani, ternak dan pertelevisian yang bernama Mr. Jhon. Yang ku dapati infonnya dari mas Abi dan teh Ayu kemarin saat aku dan Mail memutuskan untuk menginap dirumahnya. Beruntung aku memiliki kakak dan kakak ipar yang mendukung penuh apa yang aku lakukan meski awalnya mereka meragukan kemampuanku. Mereka mendukung, sekaligus membantu aku mengenalkan beberapa perusahaan teman-teman mereka yang berpotensi besar yang akan membantuku membangun proyek agrowisata di kampung halamanku sendiri. Tanganku tiba-tiba berkeringat gugup, saat aku dan Mail ditemani karyawan yang mengantarkanku menunu ruangan ini hendak mengetukan pintunya."Masuk!" Seru seseorang dari dalam sana. Tanpa berpikir panjang, karyawan yang ku ketahui namanya bernama Clara itu mempersilahkan aku dan Mail untuk mengikutinya masuk. Aku dan Mail berjalan mengekori, mengikuti langkahnya masuk kedala
Banyaknya orang yang lalu lalang sepagi ini dengan mengangkut banyak barang bahan bangunan, membuat aku tersenyum cerah. Enaknya hidup di pedesaan itu seperti ini loh, budaya gotong royongnya masih kentara. Semua warga bahkan berbondong-bondong ikut serta membantu bahkan dalam hal sekecil apa pun. Ini hari pertama pembangunan proyek yang aku rencanakan, namun semua warga tanpa dimintai tolong pun dengan antusias membantu. "Itulah gunanya manusia Mad, mahluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya" ujar bapak menepuk pundakku. Ia menghirup napas udara pagi ini dengan banyak dan tersenyum penuh syukur. "Zaman sekarang, jarang sekali manusia membantu dengan keikhlasan. Semuanya butuh uang, tapi hidup di pedesaan? Hal itu masih sangat jarang, mereka masih dengan suka rela membantu satu sama lain. Bersyukurlah kamu masih hidup di desa," Aku mengangguk, meneguk secangkir kopi panas yang ku buat tadi. "Iya pak, Ahmad bersyukur. Terimakasih juga ya pak, sudah mau mendukung impian Ahmad"
"Rencana pembangunannya kapan kang?" Setelah saling memadu kasih, aku disajikan dengan pertanyaan yang lontar dari mulut Jingga. Perempuan ini benar-benar tidak ada kata lelahnya, padahal setelah ini ingin rasanya aku tertidur sebentar sebelum kembali memikirkan proyek yang hendak aku jalankan di pagi harinya. "Besok rencananya sudah mulai, tadi sore keluar sekalian beli bahan bangunannya. Rumahnya sederhana gak sebesar rumah kamu atau rumah ini, gak papa kan?" jawabku diakhiri pertanyaan.Jingga terdiam, tangannya masih saja nakal dengan mengelus-elus perut sixpack yang mungkin sebentar lagi akan buncit. Khas bapak-bapak, mungkin."Gak papa kok, yang penting nyaman" ujarnya, kali ini tangannya merayap, mengusap peluh di dahiku. Aku merengkuhnya kedalam pelukan, tangan besarku ini berusaha menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikannya yang tak pernah membuatku bosan. "Konsep rumahnya kaya rumah panggung seperti di pondok, gak papa kan?" tanyaku lagi memastikan. Aku harap
"Kang, tadi sore Jingga dengar ibu kaya marah-marah. Ada apa?" Jingga bertanya ketika aku baru saja membaringkan tubuh di sebelahnya malam ini setelah urusanku dengan pihak selesai tadi. Mata yang tadinya memaksa untuk di pejamkan, kini berubah segar seakan ada cipratan air yang menyadarkan.Aku menoleh, kearah Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambut panjangnya basah, menandakan kalau ia baru saja selesai mandi. Aku menarik napas, bangun dari pembaringan lalu tangan ini bergerak mengambil haidrayer. "Sini, biar akang bantu keringkan rambutnya" titahku pada Jingga agar ia duduk di bawah karpet sementara aku duduk di atas ranjang. Jingga terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar dengan menuruti perintahku. Aku mulai menyeka rambut Jingga yang masih basah itu dengan lembut. Wangi shampo terdengar kuat di indra penciumanku. "Pipinya udah gak perih lagikan?" tanyaku khawatir. Jingga tergelak, "jingga kebal kang. Gak papa kok, cuma kelihatan ya masih mera
Aku menghambuskan napas jengah saat menatap punggung mamang yang tengah memasuki mobil kesayangannya yang baru kami pakai itu dengan emosi yang tak teratur, bahkan pintu mobil yang ia naiki pun dengan kesalnya ia banting. Beberapa kali bapak mengusap dada dengan gelengan diiringi istighfar, sementara Mail ia dengan segala emosinya terduduk lemas. "Mulai sekarang, kalian jadi tanggung jawab saya!" Putusku berujar pada Mail yang tengah berusaha memperbaiki moodnya. Bapak mengangguk, ia menepuk pundakku dengan bangga. "Bapak dukung," ujarnya."Yasudah, masuk dulu deh. Kamu baru sampai pasti capek" lanjut bapak. Aku mengangguk, mengusap wajah kasar dan berjalan beriring memasuki rumah. Pertengkaranku dengan mamangnya Jingga benar-benar menguras emosiku. "Mak, Jingga mana?" tanyaku ketika tak mendapati Jingga di ruang tamu, hanya emak dan tontonan tv yang menyala. Emak menunjuk ragu pada lantai dua, "mungkin di kamar, tadi pamitnya mau istirahat dulu sebentar" jawabnya. Oke, aku ber
Sepanjang perjalanan, senyum Jingga tak henti-hentinya terbit menghiasi wajah Ayu. Aku hampir terkekeh sendiri melihat bagaimana bahagianya Jingga saat ini, bahkan beberapa kali ia menyenandungkan lagu yang tidak pernah ku dengar sebelumnya. Ah, sebahagia itu rupanya. Perjalanan hampir memakan waktu setengah hari, dengan santai aku mengemudikan mobil ditemani music yang sengaja ku putar mengalun lembut, menemani perjalanan kami. "Kang, mau gantian?" tawarnya Jingga saat aku beberapa kali menguap. Aku menoleh, lalu menggeleng sebagai penolakan. "Kita istirahat dulu aja ya, sambil beli makanan. Kamu bosan kan dari tadi gak ngemil, biar saya belikan dulu" ujarku sembari menatap lurus, fokus pada jalanan dengan harapan ketemu rest area setelah ini. "Boleh kang, tapi kalau akang lelah, juga gak papa biar aku aja yang nyetir" tawarnya lagi yang cepat ku tolak. "Tuan putri duduk manis aja, gak usah mau di repotin sama pangeran" kekehku yang membuatnya bersemu merah. Aku tertawa pelan m
Hari ini aku dan Jingga memutuskan untuk berkunjung kerumah teh Ayu sebelum kami memutuskan untuk kembali ke kampung, menata masa depan kami. Bau tubuh Jingga yang sudah hampir tidak tercium, membuat Jingga percaya diri untuk bertemu sang kakak ipar. Aku tersenyum, menatap Jingga yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Senang lihatnya melihat Jingga yang sudah seceria ini dan bahkan ia juga sudah bisa bersolek sekarang. Grep. Aku memeluk ia dari belakang, dengan kepala ku benamkan dibahunya, mencium aro parfum yang baru saja ia semprotkan sehabis mandi ini. "Kang," tegurnya memukul lenganku yang melingkar di tubuhnya. "Kenapa ih? Biarkan seperti ini, wanginya enak" jujurku. Jingga mendengus, ia berbalik hingga kami saling berhadapan. Kepalanya mendongak, menatapku dalam. "Sejak kapan suami aku ini jadi manja kaya gini?" tanyanya dengan kekehan geli. Beberapa kali ia mengucup bibirku gemas."Jangan mancing, kalau kamu gak mau keramas lagi" tuturku frontal membuat ia tersipu
"kondisi istrimu sudah cukup baik Mad, baunya juga sudah berkurang" aku dan Jingga saling pandang dengan senyuman saat dokter Anwar memberitahu bagaimana kondisi Jingga sekarang. "Mentalnya di jaga, jangan buat dia stres ya Mad," ucapnya lagi dengan diselingi tawa renyah. Aku mengangguk cepat. "Tentu itu dok," jawabku malu-malu. Dokter Anwar menggeleng dengan kekehan. "Kalian tidak perlu sering kesini, lagi pula penyakitnya bukan penyakit yang parah. Kuncinya sih jaga pola makan dan rubah pola hidup, jangan stres. Hindari aktivitas yang menyebabkan keringat berlebih" pesan dokter Anwar. "Penggunaan sabun dan shampo juga sudah benar itu," lanjutnya. Kami mengangguk, "jadi dok penyakit ini bisa sembuh?" tanya Jingga dengan cepat. Dokter Anwar terdiam cukup lama, seolah tengah memilah-milih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Jingga. Aku tau, sindrom bau ikan ini tidak dipastikan sembuhnya, bahkan obatnya sampai saat ini juga belum di temukan secara pasti. "Ada kemungkinan,
"mang Juned menghubungi mas sama teteh tadi" aku melirik kearah pria yang tiba-tiba berada di kontrakanku diwaktu yang nyaris tengah malam kini berada. "Mang Juned sudah ngomong sesuatu?" tanyaku dengan hembusan napas lelah. Sialnya, aku lupa kalau mang Juned. Adik bungsunya si emak itu orangnya bawel. Punya mulut lemesnya kaya perempuan. Ada anggukan samar yang mas Abi berikan sebelum ia menjawab. "Emak marah, kenapa kamu meminta pinjaman sebesar itu sama bank? Ngapain juga kamu berhenti ngajar?" tanyanya menatapku dalam. Kabar berhembus begitu cepat, bak angin lalu. Ini juga apa-apaan Mas abi pulang dinas bukannya langsung pulang ke rumah, malah mampir ke kontrakan dan bertanya seperti itu. Apa dia mau ikut campur urusanku? Ah, itu pasti!"Sudah ku pikirkan matang-matang sebelumnya mas. Bapak juga setuju," jawabku apa adanya. Ya memang rencana ini ku atur selain melibatkan adiknya jingga, bapak juga termasuk. Bahkan ia mendukung penuh strategi yang aku buat itu. Mas manggut-man