Setelah puas bermain dengan kelinci, kedua anak itu tak kenal lelah menyusuri jalan setapak, melihat-lihat pondok. Sesekali, tangan mungil Kakang memetik buah tomat yang masih hijau.“Om, ini boleh dimakan?” tanyanya.Aku berdecak, mengambil tomat hijau dari tangannya. “Ini belum matang, Dek. Kalau adek mau, pilih yang merah.”“Enggak ah, adek gak suka tomat. Masam,” ujarnya menolak. Kalau tahu rasanya masam, untuk apa nanya? Dasar bocah.Tangan ini mengusap dada beberapa kali. Sabar, dia masih memiliki hubungan darah denganku, kalau tidak sudah ku potek mulutnya. Sementara itu, Niko sudah menghampiri ibu-ibu yang tengah memanen tomat dengan keantusiasannya.“Om, Aa mau bantu ibu-ibu panen tomat boleh?” izinnya.“Boleh, asal topinya dipakai. Cuacanya panas banget, biar kamu gak sakit. Habis ini, kita tunggu Tante Jingga di rumah panggung, ya,” ujarku menunjuk rumah panggung yang tak jauh dari sana.Niko mengangguk dan berlari menghampiri ibu-ibu itu. Aku memperhatikan, Niko cepat akra
"Serius kang. Jingga akan balik nama surat tanah ini, atas nama akang. Tapi, Jingga pengen punya anak kang, buat nerusin usaha Jingga. Selain mail dan anak kita, Jingga tidak mau ada orang lain yang menjadi pewaris kekayaan ini, apalagi mamang dan keluarganya. Sudah cukup kang, Jingga gak mau membiarkan mamang dan keluarganya lebih lama menikmati kekayaan yang orang tua kami tinggalkan"Aku mendengus saat ucapan Jingga seminggu yang lalu, terus saja berputar berulang-ulang bak seperti kaset kusut di kepalaku malam ini saat aku tengah asik duduk di ranjang sembari menatap layar laptop yang tengah menampilkan bahan ajar untuk ku praktekan besok pada anak didiku. Jingga dipikir ulang, tawaran Jingga itu menarik. Siapa yang tidak tergoda dengan kekayaan milik istriku itu, harga tanah jaman sekarang itu mahal apalagi luasnya berhektar-hektar tapi rasanya tidak etis jika aku harus mengorbankan keperjakaanku pada gadis yang belum aku cintai bahkan aku masih belum berani menyentuhnya, tubuhn
Kejam, mungkin satu kata itu pantas tersemat pada diriku malam ini. Saat aku ke kamar mandi tadi, terdengar suara isak tangis yang menyayat bak seperti tengah merasakan pesakitan, biar ku tebak orangnya. Jingga, yap istriku sendiri. Saat lima menit berlalu, setelah tak ada lagi suara Jingga yang menggoda. Aku suara tangisannya, entah apa yang membuatnya sedih tapi firasatku mengatakan jika tangisannya akibat ulahku yang menolak permintaannya. Tapi yasudahlah, toh nyatanya emang aku belum siap.Clek. Bersamaan dengan knop pintu kamar mandi yang ku putar, suara tangis pun bak menghilang begitu saja. Kulirik sekilas wanita yang tengah berbaring itu memunggungiku dengan selimut tebalnya yang menutupi seluruh tubuhnya. Aku menghela nafas pendek saat melihat punggung itu bergetar, seolah tengah menangis. Ku putuskan untuk berjalan mendekati, lalu duduk disampingnya."Maaf," lirihku dengan tangan menyentuh bahu yang bergetar itu. "Enggak papa kang, jingga paham kok. Maaf Jingga terkesan
Setelah kesepakatan malam itu, Jingga benar-benar menenuhi permintaanku. Surat tanah yang begitu luasnya atas nama dirinya sendiri kini beralih nama menjadi atas nama diriku, Ahmad. Entah harus senang atau sedih, yang jelas aku bingung saat melihat namaku tercetak di kertas tersebut. "Akang jangan bengong aja, ayo kang tandatangani" ujar Jingga memperingatkan dengan menyinggunkan sikutnya ke tanganku. Sementar Ujang yang ku suruh untuk menamaniku bertemu Jingga di kantor pengacaranya nampak senyam senyum dengan mata yang menggoda. "Ayo Mad, ente udah benar itu. Lo teman gue ini mah asli, nurut banget sih saran gue" bisiknya yang duduk di sebelah kiriku. "Tapi gue gak niat morotin dia, sumpah jang" aku membalas berbisik lirih padanya berusaha agar tidak terdengar oleh Jingga yang tengah duduk di sebelah kananku sembari berbicara pada pengacaranya yang duduk berhadapan dengan kami. "Bodo amad dah gue mah, itu udah benar sih. Toh nanti kalau emang lo gak niat, kagak bakalan di jual
"Jangan tidur dulu atuh kang, kita ngobrol ya"Tanganku terhenti, saat selimut ini hendak ku naikan hingga menutupi dada. Tubuh yang tadinya meronta ingin di rebahkan, kini terpaksa kembali bangun, duduk selonjoran dengan punggu bersandar di sandaran kasur, seperti yang tengah Jingga lakukan saat ini. "Mau ngobrol apa? Kan tiap hari ketemu, kita juga tiap hari ngobrol. Gak bosan apa?" tanyaku menggerutu. Jingga menggeleng, ia berbalik menghadap kearahku. "Apa aja kita obrolin. Pokoknya malam sebelum tidur kita usahain buat ngobrol, kalau kata si Mail mah ya namanya tuh pilow tok."Aku menatapnya bingung. "Deep tok? Apaan itu, saya baru dengar" kekehku sembari memikirkan apa artinya pilow tok. Ada-ada saja. Jingga berdecak, "itu loh kang, percakapan pasangan sebelum tidur" kesalnya.Aku terkekeh hampur ingin menyemburkan tawa saat mendengar penjelasan Jingga, agak bingung sih, tapi juga sedikit geli. "Oh, jadi maksudmu itu 'pillow talk' yang biasa orang-orang bilang? Kalau gitu kena
Pagi harinya, Jingga begitu terlihat sibuk ku lihat. Mulai dari menyapu, cuci piring, cuci baju hingga membantu memerah sapi-sapi miliknya seperti biasa bersama asistennya. Siapa lagi kalau bukan si Yudi, laki-laki kegatalan itu hampir setiap subuh selalu mengetuk pintu rumah panggung ini dengan alasan mengambil ember lah, vitamin lah, air panas lah padahal semua itu sudah selalu tersedia di dalam kandang. Namun, Jingga selalu saja meladeni, dengan senyuman hangat dan sabar, seolah tak pernah lelah. Padahal, aku tahu betul, dia lebih sering terlihat lelah daripada bahagia. Yudi, si laki-laki kegatalan itu tak hanya sibuk dengan alasan-alasan kecil untuk mendekati Jingga, tetapi juga selalu berusaha mencari celah untuk menunjukkan perhatian lebih pada istriku itu. Hey, dulu kemana aja lu saat aku belum menikahinya? Apa sikapnya seperti saat ini, kegatelan? Kalau lu cinta sama si Jingga, kenapa gak lu nikahin dari dulu? Gedeg banget dah, gak gentle man lu. "Neng jingga, udah gak usah
"Mau beli apa lagi sih, ini udah banyak loh?" aku bertanya sembari mendorong troli yang terisi penuh dengan barang belajaan kami, saat kami tengah menelusuri lorong mini market siang ini.Jingga menoleh, "simpan dulu itu trolinya kang, biar Jingga ambil lagi troli baru" ujarnya berjalan mendekat, menyimpan beberapa cemilan kedalam troli yang ku dorong sudah terisi penuh. "Udah ya, kita pulang. Kamu beki barang sebanyak ini emang ada uang? Saya kan cuma ngasih kamu delapan ratus ribu sebulan, mana cukup" pintaku memelas. Ada rasa menyesal terlintas dalam diri, mengapa aku mau menemaninya belanja siang ini? Kalau tau ujungnya begini, aku lebih baik tidak pulang dari sekolah, beristirahat di ruang guru akan terasa menyenangkan barangkali. Jingga hanya terkekeh, senyum nakalnya tampak jelas di wajahnya. "Akang lupa? Jingga ini siapa?""Juragan," gumamku menghembuskan nafas lelah. Senyum nakalnya masih ia sunggingkan, tangannya mengambil alih troli ini dariku. "Nah itu akang tahu, jingga
Kedua manik mata hitam itu berbinar kala aku memasuki mobil pick up nya dengan membawa dua cup es kelapa muda yang di pintanya tadi.Sudah seminggu ini sejak kami memutuskan untuk menjadi teman senyum Jingga bahkan tak pernah luntur, wajahnya berseri bak seperti orang yang tengah jatuh cinta. Beda denganku yang semakin hari malah semakin kusut gak karuan karena memaksakan bersikap untuk lebih perhatian padanya sebagai balas budi."Makasih kang," ujarnya saat aku memberikan satu cup es kelapa muda itu padanya. Aku mengangguk lalu kembali keluar untuk memastikan semua belanjaan sudah berada di mobil tanpa kelewat satu pun. "Oke, aman" gumamku setelah memastikannya dan kembali lagi memasuki kemudi mobil pick up tersebut. "Kang, habis ini kita mampir dulu ya ke tukang bakso langgananku"Aku menghela nafas dalam saat suara Jingga kembali terdengar menyambut kedatanganku. "Dimana?" tanyaku agak ketus. Bukan apa, takutnya cibiran yang keluar dari mulut karyawan mini market tadi kembali t
Jingga povAku menghela nafas dengan bosan. Biasa bekerja dan tiba-tiba menganggur tentu saja membuatku hampir mati kebosanan. Apalagi saat ini aku masih tinggal di Jakarta, tempat yang aku tidak pernah kunjungi sebelumnya dan saat ini aku tengah diam di rumah bersama kang Ahmad yang sedari tadi tengah sibuk sendiri dengan laptopnya. Sementara Emak, sehabis makan tadi langsung kembali pulang ke rumah teh Ayu. Katanya dua cucunya itu mau dianterin sekolah sama nenek kesayangan mereka. Saat ini, rasa bosan benar-benar menghatui perasaanku. Ingin melakukan sesuatu, tapi bingung apa yang harus aku lakukan. Biasanya di Jam segini aku masih berada di pondok bersama para kelinci-kelinciku."Huaaa," mulutku terbuka lebar, menguap begitu saja seakan rasa bosan ini sudah benar-benar berada di zona merah. Kedua mataku kembali melihat kang Ahmad yang masih asik duduk lesehan bersama laptopnya, dengan memberanikan diri aku mendekat kearahnya."Kang," seruku memanggilnya dengan hati-hati.Kang a
Jingga povBibirku tak berhenti membentuk lengkungan saat melihat kang Ahmad dengan begitu cekatan memasakan sarapan untukku pagi ini, meski dengan menu sederhana namun aku bahagia hari ini. Terik matahari yang sudah menyinari halaman depan rumah menambah semangat dalam setiap gerakan tangannya. Suara gemericik air yang mengalir dari kran, aroma bawang yang sedang ditumis, semuanya terasa begitu familiar dan menenangkan.Aku duduk di meja makan, menyaksikan bagaimana ia begitu telaten, dengan berbagai peralatan dan bahan masaknya. Tangannya bergerak gesit, mulai dari menumis hingga mengaduk mie yang sedang digodok. Sesekali ia melirikku dengan senyum ringan, seolah-olah memastikan aku mengamati setiap detil yang ia lakukan."Taraaaa, mie nyemek pedas ala chef Ahmad sudah jadi ..." Suara kang Ahmad menggema begitu semangat memecah lamunanku. Aku menoleh dengan senyum lebar. Pemandangan mie nyemek yang baru saja disajikan itu tampak begitu menggoda. Paduan warna oranye kecokelatan dari
"akang dimana? Pulang ya kang, Jingga udah buatkan sandwich buat akang buat sarapan pagi ini" Dahiku mengernyit bingung saat membaca pesan dari Jingga. Apa katanya? Dia sudah membuatkan sarapan pagi ini? Sandwich? Darimana pula dia bisa dapat bahan-bahannya? Bukankah tidak ada bahan makanan satu pun di dapur? Kok bisa? Bukannya ia tengah mengisolasi diri saat ini?"Mad, kenapa kamu? Kok kaya kebingungan gitu, teh Ayu kirim kamu pesan apa lagi?" tanya Emak saat ia kembali memasuki mobil setelah kami selesai berbelanja. Aku menoleh, menyimpan ponsel kembali diatas dasboard tanpa berniat untuk membalas pesannya. Toh, sekarang juga aku pulang. "Bukan mak, Jingga. Dia menyuruhku pulang, katanya dia sudah buatkan sarapan untuk Ahmad," jawabku seadanya.Emak mengangguk, wajahnya seketika tersenyum cerah saat aku meliriknya dari kaca mobil. "Ih kenapa mak, bahagia banget. Aneh, padahal udah buanh duit" sindirku. "Gak salah kamu pilih istri Mad, Jingga itu pengertian. Meski kamu semenyeba
"Kamu tega Mad, biarin emak desak-desakan di pasar?" tanya Emak dengan raut tak percayanya saat aku baru saja menancap pedal rem mobil tepat di sebrang pasar. Aku menoleh dengan bingung. "Kan biasanya juga emak suka ke pasar, kok dramatis banget mak ngomongnya?" tanyaku heran, tak biasanya emak protes seperti itu.Emak berdecak, kedua tangannya bersidekap dada. "Mikir weh atuh Mad, ini teh bukan tempat emak. Ini kota besar, pasarnya luas. Mana ini masih pagi, kali-kali atuh bawa emak ke mall kaya teteh mu itu."Aku mengernyitkan dahi, masih belum paham dengan maksud emak. "Emak mau ke mall? Emang, kenapa?" tanyaku, mencoba memahami apa yang emak bicarakan.Emak menatapku dengan tatapan yang agak tajam, "eleh pake nanya lagi. Ayo antar emak ke mall aja, biar belanjanya nyaman" Aku terdiam, berpikir sejenak kemudian merogoh saku celana. Mengambil dompet, lalu membukanya. Aku meringis saat melihat isi dompetku yang begitu tipis. "Ahmad harus hemat mak, pengobatan Jingga butuh biaya yan
Mood ku pagi ini benar-benar berantakan, begitu kacau gara-gara mimpi dan percakapanku bersama si mamang tadi. Sementara itu, Jingga tak tau apa-apa terus menguntit untuk bertanya prihal apa yang terjadi. "Masak sana, saya lapar!" teriakku ketika Jingga mendekat kembali, duduk di sebelah. Ia terperanjat kaget. "Bahan-bahannya gak ada atuh kang, Jingga bingung harus nyari ke mana" keluhnya dengan menunduk."Ya ke pasar lah!" jawabku setengah membentak membuatnya beringsut ketakutan. "Tapi kang, ini Jakarta. Jingga gak tau jalan, lagi pula Jingga gak mau keluar takutnya semua orang terganggu dengan bau badan Jingga" jawabnya dengan lirihan.Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi itu malah membuatku semakin merasa sesak. Suasana pagi ini terasa semakin kacau dengan rasa frustrasi yang semakin menumpuk. Aku hanya ingin sedikit kedamaian, tapi entah kenapa, semuanya terasa seperti badai."Kamu tuh terlalu stres! Gak usahlah di pikirin tentang sindrom kamu itu! Semakin kamu
Rasanya panik bukan main saat kesadaranku kembali seutuhnya, kedua tangan ini dengan cepat meraba seluruh tubuh lalu menyadari jika pakaian masih melekat di tubuhku. Ah, masih utuh. Seraya menunduk, aku meraba retsleting celanaku. Siapa tau sudah tidak terbuka? Tidak, semuanya masih seperti semula! Lalu Jingga? Dengan keraguan tubuh ini bergerak, merubah posisi menjadi miring. Kulihat Jingga nampak masih tertidur pulas di bawah sofa dengan beralaskan karpet beludru. Tunggu dulu, lalu? Bukannya tadi pas setelah kumandang adzan subuh itu, Jingga berada di atasku? Kami sudah melakukannya, dan diakhiri dengan pengakuanku? Bayangan-bayangan saat aku memeluk Jingga dan meminta hak ku masih terngiang di pikiranku. Suara-suara permintaan maaf serta penyesalan masih terngiang-ngiang ditelingaku. Perlahan aku bangkit, mencoba mengatur napasku yang masih terengah-engah. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku justru semakin kacau. Aku mencoba untuk fokus, memeriksa setiap inci tubuhku se
Aku mengerjap saat dada terasa begitu sesak, tubuh rasanya tertimpa beban ribuan kilo. Berat! Namun ceruk leherku rasanya begitu hangat. Ah, apa yang terjadi padaku. Suara kumandang adzan subuh terdengar begitu nyaring, saat aku memaksa membuka mata yang masih terasa berat, namun tubuhku yang seperti tertimpa beban ini rasanya begitu sulit untuk di gerakkan memaksa aku untuk segera membuka mata. Aku mendengus, saat mendapati tubuh Jingga berada diatasku dengan kedua tangan tengah memelukku. Sementara kepalanya bertengger di dada bidangku dengan deru napas yang terasa begitu hangat pada ceruk leherku. Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna situasi yang tak biasa ini. Apa yang terjadi semalam, benar-benar di luar dugaanku. Tak pernah dalam bayanganku, kami akan berada dalam posisi seperti ini. Apalagi saat aku merasakan hangatnya tubuhnya yang terbenam begitu dekat, begitu intim. Sungguh, tak pernah. Entah bagaimana caranya, padahal semalam kami habiskan dengan obrolan ringan s
Jingga povDini hari, aku terjaga dari tidur. Mataku mengerjap pelan karena terusik dengan rasa haus yang menggerogoti kerongkongan. Aku menoleh karah nakas, berharap segelas air putih yang biasa ku sediakan ada disana. Namun saya, entah karena aku lupa atau apa segelas air yang biasanya tersedia kali ini tidak ada sama sekali. Mau tak mau aku akhirnya memaksakan diri beranjak dari ranjang, menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat keluar kamar, aku di kejutkan dengan sosok kang Ahmad yang masih terjaga tengah terduduk di ruang tamu dengan menatap laptop yang menyala di hadapannya. Kesepuluh jari tangan kang Ahmad nampak sibuk, menari diatas tooth keyboard laptop, dengan sesekali matanya memicing seolah memeriksa sesuatu. Rupanya, pria itu tengah tenggelam dengan kesibukannya hingga tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi berdiri diambang pintu kamar. Berusaha untuk tak peduli, aku berjalan pelan menuju dapur. "Mau kemana?" Langkahku terhenti saat suara tak asing menyapa ru
"Apa yang dokter Anwar katakan, Mad?" Emak bertanya saat kami baru saja tiba di rumah kontrakan sore hari ini. Entah sejak kapan emak menunggu, yang pasti ku lihat penampilannya sudah sedari lama. Aku menghela napas berat, melirik ke arah Jingga yang begitu murung. Wajah bermuram durjana."Jingga, kenapa nak? Cerita sama emak ya" tutur emak lembut mendekati Jingga. Jingga tetap terdiam, matanya yang sendu menatap lantai, seolah takut menatap emak yang begitu penasaran akan apa yang Jingga alami selama ini. Raut wajahnya begitu lelah, seperti ada beban berat yang ingin dia lepaskan, tapi kata-kata tidak kunjung keluar.Aku menarik emak dengan lembut, kedua netra ini mengkode agar emak tetap membiarkan Jingga untuk pergi ke kamar. Biarkan dia beristirahat sejenak. "Kenapa mad, jelaskan. Emak gak mau kalian menutup-nutupi penyakitnya. Mas abi tadi telpon, kalau kalian,""Emak pasti sudah tau jawabannya dari mas Abi dan teh Ayu" potongku cepat, enggan menjelaskan.Emak menatapku dengan