"Mau beli apa lagi sih, ini udah banyak loh?" aku bertanya sembari mendorong troli yang terisi penuh dengan barang belajaan kami, saat kami tengah menelusuri lorong mini market siang ini.Jingga menoleh, "simpan dulu itu trolinya kang, biar Jingga ambil lagi troli baru" ujarnya berjalan mendekat, menyimpan beberapa cemilan kedalam troli yang ku dorong sudah terisi penuh. "Udah ya, kita pulang. Kamu beki barang sebanyak ini emang ada uang? Saya kan cuma ngasih kamu delapan ratus ribu sebulan, mana cukup" pintaku memelas. Ada rasa menyesal terlintas dalam diri, mengapa aku mau menemaninya belanja siang ini? Kalau tau ujungnya begini, aku lebih baik tidak pulang dari sekolah, beristirahat di ruang guru akan terasa menyenangkan barangkali. Jingga hanya terkekeh, senyum nakalnya tampak jelas di wajahnya. "Akang lupa? Jingga ini siapa?""Juragan," gumamku menghembuskan nafas lelah. Senyum nakalnya masih ia sunggingkan, tangannya mengambil alih troli ini dariku. "Nah itu akang tahu, jingga
Kedua manik mata hitam itu berbinar kala aku memasuki mobil pick up nya dengan membawa dua cup es kelapa muda yang di pintanya tadi.Sudah seminggu ini sejak kami memutuskan untuk menjadi teman senyum Jingga bahkan tak pernah luntur, wajahnya berseri bak seperti orang yang tengah jatuh cinta. Beda denganku yang semakin hari malah semakin kusut gak karuan karena memaksakan bersikap untuk lebih perhatian padanya sebagai balas budi."Makasih kang," ujarnya saat aku memberikan satu cup es kelapa muda itu padanya. Aku mengangguk lalu kembali keluar untuk memastikan semua belanjaan sudah berada di mobil tanpa kelewat satu pun. "Oke, aman" gumamku setelah memastikannya dan kembali lagi memasuki kemudi mobil pick up tersebut. "Kang, habis ini kita mampir dulu ya ke tukang bakso langgananku"Aku menghela nafas dalam saat suara Jingga kembali terdengar menyambut kedatanganku. "Dimana?" tanyaku agak ketus. Bukan apa, takutnya cibiran yang keluar dari mulut karyawan mini market tadi kembali t
Huh hah huh hah ...Aku mendelik tajam mendengar suara desahan jingga begitu mengganggu telinga, segera tangan ini terulur untuk mengambil gelas kosong yang berada di tangannya, lalu ku isikan dengan air putih hangat. "Minum dulu, kebiasaan kamu mah ah. So so an paling jago makan pedas," omelku. Jingga segera merebut segelas air hangat di tanganku, lalu meneguknya dengan cepat. "Pelan-pelan, takutnya tersedak. Ini juga sampe keringatan gini," kekehku dengan pelan menyusut keringat di dahinya. Jingga terdiam, ia menatapku begitu lama. Lalu mendengus sebal menepis tanganku dari dahinya. "Gak usah so perhatian deh kang, kalau ujung-ujungnya gak ngasih kepastian" cibirnya kesal. Wajah terlihat memerah bak seperti rebusan tomat. Menggemaskan. "Gak boleh emang, kan sama istri sendiri. Udah jadi teman pula," aku tertawa kecil, berusaha memberikannya perhatian. Obrolan kami di mobil tadi cukup membuatku tersentil, wanita dihadapanku ini hanya ingin merasa di cintai tidak lebih. Ia tak pe
Aku menelan ludah dengan susah payah, saat mendapati diriku kini terjebak dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Jingga, perempuan itu cukup berani sekali terhadapku. Jingga tersenyum nakal, tangannya mulai merangkul tubuhku untuk ia rapatkan pada tubuhnya. Segera kedua tangan ini ku pakai untuk menutup hidung, mencoba sekuat tenaga agar bau di tubuhnya tak ku hirup semakin dalam. "Tangannya awasin atuh kang, biar Jingga aja yang mulai. Akang mah payah, gak berani. Kan kita udah sah, gak papa atuh cuma ciuman doang siapa tau nanti ketagihan sampe ke hal yang lebih jauh" ujarnya dengan suara yang kini terdengar lebih manja, dan penuh godaan.Tolong ... Jauh kan hamba dari godaan setan yang terkutuk ini. Aku menarik napas panjang, wajah ini seketika memanas menahan cemas. Benar-benar ya dia gak punya harga dirinya. "Jangan disini," pintaku lirih, dengan rasa gugup yang menyeruak begitu kentara.Jingga tersenyum sumeringah. "Oh, ayo kekamar kang. Akang gendong jingga ya" ujarnya
Senja hari ini begitu indah, seakan semesta telah berkompromi pada sang pemilik alam untuk aktivitasku dan Jingga yang sudah di agendakan jauh-jauh hari oleh Jingga. Ya, hari ini tepat hari dimana Jingga kehilangan kedua orang tuanya yang sudah bertahun-tahun lama. Untuk memperingati kepergian orang tuanya, setiap tahunnya Jingga dan sang adik selalu mengadakan doa di panti asuhan yang dimana semasa hidup kedua orang tuanya itu merupakan donasi terbesar disana dan sampai saat ini mungkin, bahkan bisa di bilang begitu. Kedua mata ini, masih ku perhatikan gerak-gerik Jingga yang kini tengah berdiri di depan cermin seolah tengah menatap wajahnya sendiri. Mata yang sembab, hidung memerah, kantung mata yang terlihat begitu jelasnya serta wajah yang terlihat lelahnya seolah mempresentasikan suasana hatinya. Rencananya, hari ini aku tidak akan ikut karena si Ujang tidak mau menggantikan rapat agenda tahunan sekolah tetapi melihat kondisi Jingga yang memutuskan untuk memaksa si Ujang mengga
Kehilangan memang sesuatu hal yang tidak pernah kita inginkan, tetapi sesuatu hal itu pasti terjadi. Cepat mau pun lambat. Namun pantaskah kita berlarut-larut dalam kesedihan atas kehilangan itu? Tentu tidak, bukan. Hal itu lah yang kini terjadi pada kakak beradik itu, sudah bertahun-tahun lamanya tanpa kedua orang tua membuat keduanya begitu tegar. Bahkan kini saat memperingati hari kepergiannya, mereka nampak tidak berlarut dalam kesedihan tetapi senyuman manis mereka kini terpancar nyata bersama kebahagiaan anak-anak panti disini.Emak dan kedua ponakanku juga turut serta memberikan kebahagiaan, si kecil kakang bahkan nampak akrab dengan beberapa anak panti disini ditemani oleh kakanya, Niko yang begitu overprotektif terhadap sang adik. "Akang, ngapain senyum-senyum. Ayo sini gabung," suara Jingga yang mengintrupsi didepanku itu seketika membuatku buru-buru memasang wajah datar. Aku berjalan mendekati mereka, dan duduk disebelahnya. Jingga tersenyum menatapku dengan tangannya yan
Aku memperhatikan Jingga yang kini tengah asik bermain dengan anak-anak panti sekaligus kedua keponakanku di taman selepas acara tahlil mengenang kepergian kedua orang tuanya berakhir. Sementara emak masih asik mengobrol dengan pemilik panti. Semakin di perhatikan, semakin membuatku merasa heran sendiri. Mengapa anak-anak panti bisa sedekat itu dengan Jingga, padahal bau ditubuhnya pasti cukup mengganggu indra penciumannya dan jelas hal tersebut bisa membuat siapa pun yang dekat dengannya tidak akan pernah tahan, kecuali emak, aku, mail dan keluarganya yang sudah terbiasa dengan bau tersebut. Entahlah, tapi kenyataannya anak-anak pada senang dekat dengannya. Aku menatap Jingga lebih lama. Wajahnya tampak serius, saat ia tengah menceritakan kisah salah satu tokoh pahlawan dalam islam, yaitu tentang Usamah bin Zaid yang merupakan komandan perang di zaman Rasulullah SAW yang paling muda. Beliau diangkat menjadi komandan perang oleh Rasulullah SAW di saat usianya 18 tahun. Jingga berbi
Seusai acara tahlil dan bermain dengan anak panti, kami memutuskan untuk pulang ke rumah emak. Malam ini, emak memaksa aku dan Jingga untuk pulang ke rumahnya, katanya emak kangen sama menantu juragannya ini. Padahal setiap hari juga ketemu, cuma gak di rumahnya. Maklum, menghindari teh Ayu biar gak kena penyakit lagi, soalnya indra penciuman teh Ayu terlalu sensitif. Tapi malam ini, mumpung teh Ayu tengah menginap di rumah Sinta, sahabat kecilku sekaligus sodara jauh kami yang kebetulan pulang ke kampung untuk sekedar mengisi hari libur mungkin. Kami pun berangkat, dengan Jingga yang terlihat sibuk memastikan kedua keponakan ku yang tengah asik tertidur lelap di pangkuanku dan pangkuannya. Sementara emak dan mail begitu asik bercerita di dengan duduk berdampingan di kursi kemudi. "Jang, kamu juga nginep atuh sesekali di rumah emak. Gak papa rumah kecil juga, yang penting bisa tidur" aku mendengar di depan kursi yang aku duduki, emak meminta agar Mail juga ikut bermalam bersama kam
Aku mengerjap saat dada terasa begitu sesak, tubuh rasanya tertimpa beban ribuan kilo. Berat! Namun ceruk leherku rasanya begitu hangat. Ah, apa yang terjadi padaku. Suara kumandang adzan subuh terdengar begitu nyaring, saat aku memaksa membuka mata yang masih terasa berat, namun tubuhku yang seperti tertimpa beban ini rasanya begitu sulit untuk di gerakkan memaksa aku untuk segera membuka mata. Aku mendengus, saat mendapati tubuh Jingga berada diatasku dengan kedua tangan tengah memelukku. Sementara kepalanya bertengger di dada bidangku dengan deru napas yang terasa begitu hangat pada ceruk leherku. Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna situasi yang tak biasa ini. Apa yang terjadi semalam, benar-benar di luar dugaanku. Tak pernah dalam bayanganku, kami akan berada dalam posisi seperti ini. Apalagi saat aku merasakan hangatnya tubuhnya yang terbenam begitu dekat, begitu intim. Sungguh, tak pernah. Entah bagaimana caranya, padahal semalam kami habiskan dengan obrolan ringan s
Jingga povDini hari, aku terjaga dari tidur. Mataku mengerjap pelan karena terusik dengan rasa haus yang menggerogoti kerongkongan. Aku menoleh karah nakas, berharap segelas air putih yang biasa ku sediakan ada disana. Namun saya, entah karena aku lupa atau apa segelas air yang biasanya tersedia kali ini tidak ada sama sekali. Mau tak mau aku akhirnya memaksakan diri beranjak dari ranjang, menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat keluar kamar, aku di kejutkan dengan sosok kang Ahmad yang masih terjaga tengah terduduk di ruang tamu dengan menatap laptop yang menyala di hadapannya. Kesepuluh jari tangan kang Ahmad nampak sibuk, menari diatas tooth keyboard laptop, dengan sesekali matanya memicing seolah memeriksa sesuatu. Rupanya, pria itu tengah tenggelam dengan kesibukannya hingga tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi berdiri diambang pintu kamar. Berusaha untuk tak peduli, aku berjalan pelan menuju dapur. "Mau kemana?" Langkahku terhenti saat suara tak asing menyapa ru
"Apa yang dokter Anwar katakan, Mad?" Emak bertanya saat kami baru saja tiba di rumah kontrakan sore hari ini. Entah sejak kapan emak menunggu, yang pasti ku lihat penampilannya sudah sedari lama. Aku menghela napas berat, melirik ke arah Jingga yang begitu murung. Wajah bermuram durjana."Jingga, kenapa nak? Cerita sama emak ya" tutur emak lembut mendekati Jingga. Jingga tetap terdiam, matanya yang sendu menatap lantai, seolah takut menatap emak yang begitu penasaran akan apa yang Jingga alami selama ini. Raut wajahnya begitu lelah, seperti ada beban berat yang ingin dia lepaskan, tapi kata-kata tidak kunjung keluar.Aku menarik emak dengan lembut, kedua netra ini mengkode agar emak tetap membiarkan Jingga untuk pergi ke kamar. Biarkan dia beristirahat sejenak. "Kenapa mad, jelaskan. Emak gak mau kalian menutup-nutupi penyakitnya. Mas abi tadi telpon, kalau kalian,""Emak pasti sudah tau jawabannya dari mas Abi dan teh Ayu" potongku cepat, enggan menjelaskan.Emak menatapku dengan
"Gimana, Mad. Pemeriksaanya sudah selesaikan? Hasilnya bagaimana?"Aku menggeleng kaku, saat mas Abimanyu bertanya menghampiriku yang tengah duduk kebingungan menunggu Jingga di dalam tengah melalukan pemeriksaan lebih lanjut. "Dugaannya sih kelainan metabolisme, Mas" jawabku lesu.Mas Abi menghembuskan napas lelahnya, duduk di sebelahku. Kemudian ia menepuk pundakku pelan, seolah menyalurkan kekuatan. "Yang sabar ya, Mad. Lagi pula itu masih dugaan, semoga saja meleset" ujarnya, dari suaranya terdengar tak begitu menenangkan.Aku mendongak, melihat wajahnya yang penuh khawatir membuat rasa was-was ku semakin menjadi. "Kelainan metabolisme itu apa, Mas? Apa itu suatu penyakit yang parah?" tanyaku penasaran.Mas Abimanyu terlihat terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. Ia menghela napas, lalu menatapku dengan tatapan serius. "Kelainan metabolisme itu sebenarnya berhubungan dengan cara tubuh mengolah makanan dan energi, Mad. Biasanya, itu disebabkan ol
"Kang, Jingga takut" lirihnya saat kami diarahkan untuk menuju ruang obeservasi untuk melakukan serangkaian tes yang diperlukan demi mengetahui penyebab bau badannya yang tak kunjung hilang.Aku menggenggam tangan Jingga lebih erat, berusaha menyalurkan ketenangan dalam hatinya, meski bibir ini terkatup rapat serta wajah yang ku yakini berubah menjadi pias sekarang. Ah, mengapa ekhawatiran kembali muncul untuknya?Aku terdiam tak menjawab perkataannya, membawanya melangkah pelan menuju ruang observasi, di mana serangkaian tes harus dilakukan. Bau tubuh Jingga yang tak kunjung hilang itu seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi.Setelah dokter anwar mengarahkan kami ke ruangan sunyi, seorang perawat dengaan massker putihnya datang menghampiri kami, bisa ku lihat dari binar matanya ia tersenyum kearah kami. Tidak, ku perhatikan sedari tadi binar matanya mengarah pada Jingga saja. "Selamat datang, saya Aldo. Kalian berdua bisa duduk di sini. Tes akan segera d
Seusai sarapan pagi, aku menunggu Jingga untuk bersiap. Kami bergegas menuju mobil, mengarah ke rumah sakit cipto mangun kusumo. Tempat dimana teh Ayu dan mas Abimanyu praktek. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, pagi akan mengunjungi dokter Anwar, dokter terbaik di rumah sakit tersebut.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit yang cukup besar itu. Pagi masih terasa sejuk, namun langkah kami terasa cepat dan tergesa-gesa. Di ruang tunggu, suasana penuh dengan orang-orang yang menunggu giliran. Jingga duduk di sampingku, tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, ku perhatikan semua orang di sekeliling agak menjauh dari kami dengan tangan secepat mungkin menutup hidungnya, terdengar beberapa orang berbisik membicarakan kami dengan suara pelan. "Kang, maaf. Akang pasti malu" bisik Jingga, matanya melirik ke sekeliling, merasa cemas.Aku menatap sejenak orang-orang yang mulai mencuri pandang. Beberapa dari mereka menutupi hidung dengan maske
"kamar Jingga dimana ini kang?" Jingga bertanya saat emak dan mas Abi baru saja pulang setelah mengantarkan kami ke rumah kontrakan yang sudah di sediakan mereka. Aku mengusap wajah kasar, menatapnya dengan malas. "Kita suami istri ya, jangan harap pisah ranjang!" ujarku sembari melaluinya masuk kedalam rumah. Terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga, kaki ia hentakan membuat bunyian kekesalan. Aku tak peduli, yang ku pikirkan saat ini. Aku ingin beristirahat sejenak. Rasanya begitu lelah setelah menempuh perjalanan yang memakai waktu berjam-jam. Aku terduduk di sebuah sofa ruang tamu, begitu empuk. Netraku menatap sekeliling dengan pandangan kosong. Ruangan yang tidak bisa di bilang sederhana menurutku, meskipun tidak besar, namun cukup nyaman. Dindingnya yang berwarna putih dengan sedikit cat yang mengelupas memberi kesan usang, namun ada nuansa hangat dari lampu gantung yang redup. Di sudut ruangan, ada meja kayu kecil dengan beberapa bunga plastik yang sudah sedikit p
"Assalamualaikum," aku, Jingga dan mas Abimanyu kompak beruluk salam saat kami membuka pintu ruang tamu. Nampak emak yang tengah asik bermain dengan kedua cucunya, tersenyum cerah menoleh ke arah kami."Om amad! Tante baik!" Kedua keponakanku berseru kegirangan ketika menyadari kehadiran kami. Aku tersenyum cerah, merentangkan kedua tangan ini menyambut keduanya. "Waalaikumsalam!" jawab emak dengan senyuman yang tak pernah pudar, sambil bangkit dari duduknya untuk menyambut kami. Kedua cucunya, yang sudah berlari mendekat, melompat ke pelukanku. Aku tertawa, merangkul mereka dengan hangat.Si abang niko, sibuk melingkarkan tangannya di leherku, sementara si kecil kakang, sibuk menarik-narik tangan Jingga dengan antusias. "Tante, tante. Kelinci kami udah gemuk loh sekarang, udah mau bertelul juga loh" adunya yang tak risih dengan bau tubuh Jingga. Sementara itu Jingga bukannya menyambut, malah agak menjauh."Kang, tolong jauhin aku sama mereka. Takutnya mereka yang jadi sakit," bisi
"Jingga!" Aku mengguncang lengan Jingga cukup kuat sampai wanita itu terbangun. Jingga langsung menyibak selimut, menepis sentuhanku dan memperbaiki posisi duduknya. "Sudah sampai," ucapku memberitahunya. Jingga mengangguk, "ini sampai di halaman rumah siapa kang?" tanyanya setengah linglung, matanya tak berhenti melihat kesana kemari, memperhatikan sekitar halaman rumah yang lumayan luas. "Teh ayu, kita mampir dulu sebentar. Emak sudah menunggu disana" jawabku. Raut wajah Jingga seketika berubah masam, "langsung aja ke kontrakan gak sih kang? Takutnya teh Ayu gak mau nerima tamu kaya aku yang bau ini," pintanya dengan mata berkaca-kaca.Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Jingga, hatiku sedikit tergetar. Akhir-akhir ini Jingga memang selalu begitu, terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Aku bisa melihat betapa cemasnya dia. "Jingga," ucapku lembut sambil menepuk bahunya, "gak ada yang salah dengan kamu. Emak, mas abi sama anak-anak sudah menunggu.