Share

bahan gibah?

last update Last Updated: 2024-11-14 00:21:31

Senja hari ini begitu indah, seakan semesta telah berkompromi pada sang pemilik alam untuk aktivitasku dan Jingga yang sudah di agendakan jauh-jauh hari oleh Jingga. Ya, hari ini tepat hari dimana Jingga kehilangan kedua orang tuanya yang sudah bertahun-tahun lama. Untuk memperingati kepergian orang tuanya, setiap tahunnya Jingga dan sang adik selalu mengadakan doa di panti asuhan yang dimana semasa hidup kedua orang tuanya itu merupakan donasi terbesar disana dan sampai saat ini mungkin, bahkan bisa di bilang begitu.

Kedua mata ini, masih ku perhatikan gerak-gerik Jingga yang kini tengah berdiri di depan cermin seolah tengah menatap wajahnya sendiri. Mata yang sembab, hidung memerah, kantung mata yang terlihat begitu jelasnya serta wajah yang terlihat lelahnya seolah mempresentasikan suasana hatinya.

Rencananya, hari ini aku tidak akan ikut karena si Ujang tidak mau menggantikan rapat agenda tahunan sekolah tetapi melihat kondisi Jingga yang memutuskan untuk memaksa si Ujang mengga
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Istriku Seorang Juragan    Pangerannua puteri jingga

    Kehilangan memang sesuatu hal yang tidak pernah kita inginkan, tetapi sesuatu hal itu pasti terjadi. Cepat mau pun lambat. Namun pantaskah kita berlarut-larut dalam kesedihan atas kehilangan itu? Tentu tidak, bukan. Hal itu lah yang kini terjadi pada kakak beradik itu, sudah bertahun-tahun lamanya tanpa kedua orang tua membuat keduanya begitu tegar. Bahkan kini saat memperingati hari kepergiannya, mereka nampak tidak berlarut dalam kesedihan tetapi senyuman manis mereka kini terpancar nyata bersama kebahagiaan anak-anak panti disini.Emak dan kedua ponakanku juga turut serta memberikan kebahagiaan, si kecil kakang bahkan nampak akrab dengan beberapa anak panti disini ditemani oleh kakanya, Niko yang begitu overprotektif terhadap sang adik. "Akang, ngapain senyum-senyum. Ayo sini gabung," suara Jingga yang mengintrupsi didepanku itu seketika membuatku buru-buru memasang wajah datar. Aku berjalan mendekati mereka, dan duduk disebelahnya. Jingga tersenyum menatapku dengan tangannya yan

    Last Updated : 2024-11-14
  • Istriku Seorang Juragan    Kebiadaan!

    Aku memperhatikan Jingga yang kini tengah asik bermain dengan anak-anak panti sekaligus kedua keponakanku di taman selepas acara tahlil mengenang kepergian kedua orang tuanya berakhir. Sementara emak masih asik mengobrol dengan pemilik panti. Semakin di perhatikan, semakin membuatku merasa heran sendiri. Mengapa anak-anak panti bisa sedekat itu dengan Jingga, padahal bau ditubuhnya pasti cukup mengganggu indra penciumannya dan jelas hal tersebut bisa membuat siapa pun yang dekat dengannya tidak akan pernah tahan, kecuali emak, aku, mail dan keluarganya yang sudah terbiasa dengan bau tersebut. Entahlah, tapi kenyataannya anak-anak pada senang dekat dengannya. Aku menatap Jingga lebih lama. Wajahnya tampak serius, saat ia tengah menceritakan kisah salah satu tokoh pahlawan dalam islam, yaitu tentang Usamah bin Zaid yang merupakan komandan perang di zaman Rasulullah SAW yang paling muda. Beliau diangkat menjadi komandan perang oleh Rasulullah SAW di saat usianya 18 tahun. Jingga berbi

    Last Updated : 2024-11-15
  • Istriku Seorang Juragan    Fakta baru

    Seusai acara tahlil dan bermain dengan anak panti, kami memutuskan untuk pulang ke rumah emak. Malam ini, emak memaksa aku dan Jingga untuk pulang ke rumahnya, katanya emak kangen sama menantu juragannya ini. Padahal setiap hari juga ketemu, cuma gak di rumahnya. Maklum, menghindari teh Ayu biar gak kena penyakit lagi, soalnya indra penciuman teh Ayu terlalu sensitif. Tapi malam ini, mumpung teh Ayu tengah menginap di rumah Sinta, sahabat kecilku sekaligus sodara jauh kami yang kebetulan pulang ke kampung untuk sekedar mengisi hari libur mungkin. Kami pun berangkat, dengan Jingga yang terlihat sibuk memastikan kedua keponakan ku yang tengah asik tertidur lelap di pangkuanku dan pangkuannya. Sementara emak dan mail begitu asik bercerita di dengan duduk berdampingan di kursi kemudi. "Jang, kamu juga nginep atuh sesekali di rumah emak. Gak papa rumah kecil juga, yang penting bisa tidur" aku mendengar di depan kursi yang aku duduki, emak meminta agar Mail juga ikut bermalam bersama kam

    Last Updated : 2024-11-16
  • Istriku Seorang Juragan    Akang serius?

    Brugh ...Aku menjatuhkan tubuh ini begitu saja pada kasur yang sudah tak ku tempati beberapa minggu ini. Rasanya begitu nyaman bahkan rasa lelah ini ingin segera ku manjakan di ranjang kesayanganku ini. Setibanya di kamar, sungguh tubuhku rasanya begitu pegal sekali, apalagi tangan. Ah, rasanya tak karuan gara-gara sepanjanh perjalanan aku menggendong si gendut Niko, keponakanku yang super aktif dan cerdas itu. Kali ini, untuk meredakan rasa pegal aku memejamkan mata sejenak, berusaha menikmati empuknya kasur yang sudah lama tak ku tempati ini. Grep!Seketika kedua netra ini terbuka saat merasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Indra penciumanku kembang kempis, merasakan bau tak sedap kembali terisap. Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang begitu dekat denganku. "Kamu ngapain peluk-peluk saya?" tanyaku sembari menepis tangannya dari tubuku, lalu bergeser sedikit menjauh darinya. Jingga merenggut kesal, tubuhnya kembali ia dekatkan dengan tubuhku. "Yaelah kang, jingga cuma p

    Last Updated : 2024-11-17
  • Istriku Seorang Juragan    Pijat plus-plus

    Alisku terangkat sebelah, saat ekor mata ini tak sengaja melihat wajah Jingga malam ini yang begitu berseri-seri mendekat kearahku yang tengah menyalakan beberapa lilin aroma terapy. Pikiranku semakin dibuat heran saat Jingga mengikuti kemana pun aku melangkah meletakan beberapa lilin aroma terapy yang baru saja ku nyalakan itu. "Kenapa lu?" tanyaku heran dengan berbalik tubuh menatapnya. Jingga tersenyum cerah menatapku, bau keringat tubuhnya kini agak memudar digantikan dengan aroma parfum milikku yang sengaja aku menyuruhnya untuk ia pakai sehabis mandi di tambah lilin aroma terapi yang lumayan bisa menyamarkan bau badannya. "Katanya tadi mau mijitin Jingga kang," ujarnya cengengesan. Kedua tangan ku lipat di dada. "Terus?""Ish," Jingga merengut kesal, bibir tipisnya mengerucut dengan mata yang mendelik. "Yaudah, ambilkan minyak urutnya di lemari sana" suruhku dengan dagu bergerak kedepan menunjukan dimana letak minyak urut yang selalu ku pakai itu. Jingga mengangguk, denga

    Last Updated : 2024-11-18
  • Istriku Seorang Juragan    Nurut sama suami!

    Aku terbangun dengan wajah sedikit terkejut saat menoleh ke sisi tempat tidur yang menampakan wajah cemberut Jingga sepagi ini.Tanganku yang entah sejak kapan melingkar diperutnya, kini ku lepaskan dengan terburu-buru. "Kenapa?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur saat terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga. Jingga mengedikan bahu, lalu membalikan tubuhnya membelakangiku. Aku merubah posisi tubuh ini menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar sembari memikirkan kesalahan apa yang semalam ku perbuat padanya hingga pagi ini sudah disuguhi wajah masam darinya. Biar ku ingat-ingat lagi, perasaan semalam aku tak melakukan kesalahan apa pun padanga. Bahkan aku dengan mati-matian menahan nafsuku saat memberikan pijatan lembut pada tubuh Jingga, tapi hal yang diinginkan olehnya tak terjadi semalam gara-gara Jingga sendiri yang sudah tertidur pulas meski belum sampai lima menit aku memijatnya. Apa karena itu? Ah, padahalkan salahnya sendiri. Mengapa harus menyalahk

    Last Updated : 2024-11-19
  • Istriku Seorang Juragan    Kena pelet?

    Saat aku baru saja menginjakan kaki di ruang makan, nampak Sinta dan teh Ayu tengah asik membantu emak memasak di dapur, sementara Jingga aku tinggalkan tadi di kamar dengan sengaja. Berharap dia mengerti akan permintaanku, agar ia tak pergi ke pondok peternakannya hari ini. "Selamat pagi," sapaku ramah kepada tiga wanita yang berharga dihidupku. Ketiganya kompak menoleh, menjawab bersamaan sapaanku yang membuat aku merasa geli dan terkekeh. "Masak apa nih, pagi-pagi sekali. Wanginya bikin cacing di perut Ahmad meronta-ronta" kekehku dengan menarik satu kursi di meja pantri menghadap kearah dapur. "Masak rendang kesukaan kamu kang," jawab Sinta, wajah berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sinta memang tahu betul apa yang membuat hatiku senang. Rendang selalu jadi hidangan favoritku, apalagi Sinta yang memasaknya. "Ah, dari dulu kamu memang tau caranya membuatku terharu ya Sin. Bisa aja deh," kataku sambil duduk, menatap piring kosong di meja yang seakan s

    Last Updated : 2024-11-20
  • Istriku Seorang Juragan    Apakah pantas?

    "apa?" Kedua perempuan beda usia yang tengah beradu argumen itu menatap Sinta tajam, saat gerakan tangannya menunjuk kebelakangku yang kini tengah menghela nafas panjang, begitu lelah mendengarkan keduan perempuan di hadapanku itu. "Teh, mak debatnya ditunda dulu atuh. Itu orangnya datang, sama anak-anak lagi" tegur Sinta dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Eh?" Emak menoleh ke arah Sinta, rasa kesalnya begitu kentara di wajahnya namun namun matanya sudah mulai melunak, mengikuti arah tangan Sinta yang menunjuk ke belakangku. Sementara itu teh Ayu segera bungkam, tangannya dengan cepat menutup hidung mancungnya. Ah, aku paham sekarang. "Selamat pagi ..." teriakan kedua keponakanku membuat atensiku beralih, segera tubuh ini berbalik ke arah suara. Nampak, Jingga tersenyum manis menyapa kami dibelakanngnya. "Mad, jangan biarkan teteh masuk UGD lagi. Sudah sana, ajak istrimu menjauh" suara teh Ayu terdengar tegas, meski senyum manisnya masih mengembang di bibir. Matanya yan

    Last Updated : 2024-11-21

Latest chapter

  • Istriku Seorang Juragan    pegangan!

    "Jingga!" Aku mengguncang lengan Jingga cukup kuat sampai wanita itu terbangun. Jingga langsung menyibak selimut, menepis sentuhanku dan memperbaiki posisi duduknya. "Sudah sampai," ucapku memberitahunya. Jingga mengangguk, "ini sampai di halaman rumah siapa kang?" tanyanya setengah linglung, matanya tak berhenti melihat kesana kemari, memperhatikan sekitar halaman rumah yang lumayan luas. "Teh ayu, kita mampir dulu sebentar. Emak sudah menunggu disana" jawabku. Raut wajah Jingga seketika berubah masam, "langsung aja ke kontrakan gak sih kang? Takutnya teh Ayu gak mau nerima tamu kaya aku yang bau ini," pintanya dengan mata berkaca-kaca.Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Jingga, hatiku sedikit tergetar. Akhir-akhir ini Jingga memang selalu begitu, terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Aku bisa melihat betapa cemasnya dia. "Jingga," ucapku lembut sambil menepuk bahunya, "gak ada yang salah dengan kamu. Emak, mas abi sama anak-anak sudah menunggu.

  • Istriku Seorang Juragan    jangan nolak

    Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup

  • Istriku Seorang Juragan    Titip teteh ya, A.

    "Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y

  • Istriku Seorang Juragan    Harapan

    Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.

  • Istriku Seorang Juragan    Jangan kwras kepala!

    Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca

  • Istriku Seorang Juragan    Jangan egois kang!

    "pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk

  • Istriku Seorang Juragan    Tapi saya suami kamu!

    Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga

  • Istriku Seorang Juragan    Terus akunya enggak?

    "Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea

  • Istriku Seorang Juragan    Akan terus bersama

    Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan

DMCA.com Protection Status