"apa?" Kedua perempuan beda usia yang tengah beradu argumen itu menatap Sinta tajam, saat gerakan tangannya menunjuk kebelakangku yang kini tengah menghela nafas panjang, begitu lelah mendengarkan keduan perempuan di hadapanku itu. "Teh, mak debatnya ditunda dulu atuh. Itu orangnya datang, sama anak-anak lagi" tegur Sinta dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Eh?" Emak menoleh ke arah Sinta, rasa kesalnya begitu kentara di wajahnya namun namun matanya sudah mulai melunak, mengikuti arah tangan Sinta yang menunjuk ke belakangku. Sementara itu teh Ayu segera bungkam, tangannya dengan cepat menutup hidung mancungnya. Ah, aku paham sekarang. "Selamat pagi ..." teriakan kedua keponakanku membuat atensiku beralih, segera tubuh ini berbalik ke arah suara. Nampak, Jingga tersenyum manis menyapa kami dibelakanngnya. "Mad, jangan biarkan teteh masuk UGD lagi. Sudah sana, ajak istrimu menjauh" suara teh Ayu terdengar tegas, meski senyum manisnya masih mengembang di bibir. Matanya yan
"apa yang kamu lakukan, Sin?"Aku nyaris saja menjatuhkan kotak makan yang diberikan Sinta, saat suara Jingga mengintrupsi dengan setengah berteriak. Sontak saja aku memutarkan tubuh menghadapnya.Dengan wajah yang memerah, Jingga berjalan mendekati kami. "Kang?" Jingga bertanya, matanya menuntut sebuah penjelasan.Emak mendekat, dengan satu rantang di tangannya. "Emak tidak mau ikut campur, kalian selesaikanlah dulu maksudnya apa. Sin, tolong jaga sikap sekarang kalian sudah dewasa. Sudah memiliki pasangan masing-masing, kalian bukan anak kecil lagi" seru Emak.Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri meskipun perasaan kesal mulai meruak. Jingga terus menatapku, seolah menunggu jawaban."Kang, kalian sebenarnya ada hubungan apa?" tanyanya Jingga.Aku menggeleng, sebagai jawaban atas pertanyaan Jingga."Sin, kamu udah punya suami loh. Kenapa cium kang ahmad?" tanyanya Jingga semakin mendekat.Uhuk ...uhuk ...Teh Ayu yang sedari tadi memperhatikan kini terbatuk-batuk, aku menoleh
"semua akan baik-baik saja, tak ada yang menyakiti dan tersakiti!"Itulah kalimat afirmasi positif yang ku gaungkan dalam hati akhir-akhir ini setelah pernyataan Jingga yang begitu dalam itu. Entahlah, sudah ku katakan, aku bingung! Tak tau harus bahagia atau sedih. Semua terasa rumit setelah pernyataan itu. Semesta rasanya seolah bercanda, aku menikahinya karena keterpaksaan dari sebuah nadzar yang tak seharusnya kuucapkan dulu dan aku tak pernah sedikit pun memiliki rasa cinta untuknya. Ku harap ia pun begitu padaku, agar aku tidak merasakan rasa bersalah padanya. Tapi nyatanya? Oh my god, aku salah prihal ini. Rupanya pesonaku telah menyihir hatinya, menggerakan energi cintanya padaku. Kalau sudah begini, aku harus apa? Bukan aku yang salah prihal ini, tapi salahkan ketampananku, karismaku hingga terpesona sebegitu dalamnya. Dan aku tidak menyukai pernyataannya. Tidak salah prihal mencintai, yang salah Jingga! Mengapa ia harus mencintaiku? Bukan aku tak mau dicintai, bukan aku
"akhir-akhir ini, emak perhatikan istrimu mandinya sering banget. Pernah emak hitung sampai lima kali coba," tiba-tiba saja emak membuka suara saat aku dan emak kini tengah asik berkebun di samping rumah. Aku mengernyit heran, tangan yang tadinya sibuk mencampurkan tanah dan pupuk, kini ku hentikan beberapa saat. Ah, sepertinya kasih sayang emak sama Jingga udah sedalam itu, rupanya emak memperhatikan dia sedetail itu. Beda dengan aku yang kadang emak lupakan. "Kamu jangan sering-seringlah ngegempurnya, kasihan dia. Capek pasti," tegurnya menepuk pundakku pake tangan kotornya. Aku tersentak, menatapnya dengan terkejut. "Ngegempur apaan mak?" tanyaku heran, emang aku ini apaan? Bom? Yang bisa merusak Jingga selamanya?Emak mendelik, tangannya ia turunkan dan kembali keaktivitasnya menanam kangkung. "Itu loh, ah masa kamu gak tau sih. Kalian sudah baikan kan, masalah yang kamu di cium sama si sinta seminggu lalu udah baikan kan?"Aku mengangguk sebagai jawaban. Ya, memang setelah pe
Wajah manis itu kini bermuram durjana saat kedua bola matanya begitu awas melihat Sinta yang begitu asik membantu emak, lalu matanya bergantian menatap tanganku yang sudah kotor. "Ngapain?" tanya Jingga dengan tatapan mengintimidasi. "Nanam kangkung," jawabku enteng. Ia mendengus, mata tajamnya mendelik sebal. "Bukan akang, perempuan itu ngapain kesini lagi? Godain akang lagi, iya?"Jingga terlihat semakin kesal, bibirnya terkatup rapat, tetapi napasnya yang berat mengisyaratkan ketidakpuasannya. Sementara itu, aku hanya mengangkat bahu, mencoba untuk tetap tenang meskipun aku tahu ada sesuatu yang tak beres di antara mereka."Apa sih sensi banget deh, dia cuma bantuin emak. Gak usah berlebihan!" tegurku saat tatapan tajam jingga seperti hunusan pedang tajam tepat ke ulu hati. Namun, Jingga masih melirik tajam ke arah Sinta, matanya penuh curiga. "Bantu emak? Atau malah mau nyamperin akang? Jangan kira aku bodoh," jawabnya ketus, suara berat penuh amarah yang terkendali."Gak usah
"sini peluk," aku menarik lengan Jingga yang kini tengah berada di sisi ranjang tengah asik memainkan gawainya padahal malam sudah menunjukan pukul 21:00. Biasanya ia akan menduselkan tubuhnya padaku, bahkan tangannya selalu memelukku erat, dan aku? Mati-matian menahan napas agar tak mencium bau badanya. Tapi, akhir-akhir ini, hidungku sudah terbiasa dengan baunya bahkan kami sudah terbiasa tidur dengan berpelukan. Tapi, sayang. Dua hari ini, sikap Jingga agak aneh padaku. Terkesan agak menjauh, entah karena apa.Jingga menoleh, ia menepis tanganku dengan kasar. "Kalau tidur ya tidur aja," Aku mengerinyit, tak biasanya ia menolak dengan nada agak sedikit meninggi."Kamu kenapa? Biasanya juga kamu kan, yang maksa aku buat meluk kamu?" tanyaku bergeser kearahnya."Enggak papa," jawabnya dengan tergesa-gesa beranjak dari sisiku. "Mau kemana?" Aku bertanya dengan cepat, tangan ini entah mengapa memaksaku untuk menarik lengannya. Ia menepis dengan kasar, matanya tak berani menatapku. A
"Byur!"Setengah malam begini, tidurku terganggu akan suara beberapa kali guyuran air. Tanpa lupa rincik-rinciknya pun terdengar begitu kuat di telinga.Byur!Mataku seketika terbuka sempurna saat kembali mendengar seperti seseorang tengah mandi di dalam kamar mandi yang ada di kamarku. Tapi siapa? Kulihat jam baru menunjukan setengah dua belas malam, ini waktunya jam melek. Pasti semua orang sudah tertidur pulas malam ini. Dengan hati yang gelisah, aku menarik selimutku lebih tinggi, berusaha menenangkan diri. Tapi, suara guyuran air itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Aku merasakan jantungku berdegup kencang, menciptakan kegelisahan yang tak tertahankan.Byur!Aku melirik ke arah pintu kamar mandi yang berada persis di pojok kamar. Pintu itu tertutup rapat. Tak ada seorang pun di sana, atau setidaknya itu yang aku pikirkan. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba meyakinkan diri bahwa aku hanya terbayang-bayang karena baru saja tidur.Namun, suara itu kembali. Lebih kera
Hari demi hari perubahan Jingga begitu kentara, entah kenapa. Namun, semua yang aku inginkan selalu terkabul, Jingga selalu tau bagaimana cara membahagiakan hati ini. Seperti kemarin sore, aku baru saja melihat sepatu di toko oren yang ku mau. Tiba-tiba saja, hari ini datang atas nama Jingga. Ajaib sih, tanpa diminta pun Jingga selalu tau apa yang aku inginkan. "Sepatu baru, alhamdulillah" ujang menyindirku saat aku datang ke sekolah dengan senyum mengembang menghampirinya. "Minta yang mahal dikit ke Mad, kaya mobil gitu" ujarnya lagi. Aku mendengus, "ini juga sepatu mahal kali Jang, lima juta. Berapa bulan dari gaji kita" kesalku.Si Ujang berdecak, merangkul pundakku. "Percuma mau semahal apa pun, kalau yang lu beli itu sepatu ya pasti akan di injak juga" celetuknya.Aku menatap Ujang dengan tatapan bingung, entah kenapa kata-katanya terasa seperti petuah bijak, meski terdengar agak nyeleneh. Tapi, ada benarnya juga. Sepatu seharga lima juta itu, meskipun mewah dan baru, tetap s
"Jingga!" Aku mengguncang lengan Jingga cukup kuat sampai wanita itu terbangun. Jingga langsung menyibak selimut, menepis sentuhanku dan memperbaiki posisi duduknya. "Sudah sampai," ucapku memberitahunya. Jingga mengangguk, "ini sampai di halaman rumah siapa kang?" tanyanya setengah linglung, matanya tak berhenti melihat kesana kemari, memperhatikan sekitar halaman rumah yang lumayan luas. "Teh ayu, kita mampir dulu sebentar. Emak sudah menunggu disana" jawabku. Raut wajah Jingga seketika berubah masam, "langsung aja ke kontrakan gak sih kang? Takutnya teh Ayu gak mau nerima tamu kaya aku yang bau ini," pintanya dengan mata berkaca-kaca.Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Jingga, hatiku sedikit tergetar. Akhir-akhir ini Jingga memang selalu begitu, terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Aku bisa melihat betapa cemasnya dia. "Jingga," ucapku lembut sambil menepuk bahunya, "gak ada yang salah dengan kamu. Emak, mas abi sama anak-anak sudah menunggu.
Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup
"Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y
Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.
Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca
"pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk
Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan