"Byur!"Setengah malam begini, tidurku terganggu akan suara beberapa kali guyuran air. Tanpa lupa rincik-rinciknya pun terdengar begitu kuat di telinga.Byur!Mataku seketika terbuka sempurna saat kembali mendengar seperti seseorang tengah mandi di dalam kamar mandi yang ada di kamarku. Tapi siapa? Kulihat jam baru menunjukan setengah dua belas malam, ini waktunya jam melek. Pasti semua orang sudah tertidur pulas malam ini. Dengan hati yang gelisah, aku menarik selimutku lebih tinggi, berusaha menenangkan diri. Tapi, suara guyuran air itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Aku merasakan jantungku berdegup kencang, menciptakan kegelisahan yang tak tertahankan.Byur!Aku melirik ke arah pintu kamar mandi yang berada persis di pojok kamar. Pintu itu tertutup rapat. Tak ada seorang pun di sana, atau setidaknya itu yang aku pikirkan. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba meyakinkan diri bahwa aku hanya terbayang-bayang karena baru saja tidur.Namun, suara itu kembali. Lebih kera
Hari demi hari perubahan Jingga begitu kentara, entah kenapa. Namun, semua yang aku inginkan selalu terkabul, Jingga selalu tau bagaimana cara membahagiakan hati ini. Seperti kemarin sore, aku baru saja melihat sepatu di toko oren yang ku mau. Tiba-tiba saja, hari ini datang atas nama Jingga. Ajaib sih, tanpa diminta pun Jingga selalu tau apa yang aku inginkan. "Sepatu baru, alhamdulillah" ujang menyindirku saat aku datang ke sekolah dengan senyum mengembang menghampirinya. "Minta yang mahal dikit ke Mad, kaya mobil gitu" ujarnya lagi. Aku mendengus, "ini juga sepatu mahal kali Jang, lima juta. Berapa bulan dari gaji kita" kesalku.Si Ujang berdecak, merangkul pundakku. "Percuma mau semahal apa pun, kalau yang lu beli itu sepatu ya pasti akan di injak juga" celetuknya.Aku menatap Ujang dengan tatapan bingung, entah kenapa kata-katanya terasa seperti petuah bijak, meski terdengar agak nyeleneh. Tapi, ada benarnya juga. Sepatu seharga lima juta itu, meskipun mewah dan baru, tetap s
Aku memasuki rumah dengan tergesa-gesa, mencari keberadaan Jingga yang entah dimana. Tak ku lihat batang hidungnya.Sepulang dari sekolah, aku memang sengaja memutuskan pulang menemui istriku, ketimbang dengan menemui si Ujang yang semakin kesini, terlihat semakin serius untuk Jingga dariku.Tidak. Ini tidak boleh terjadi, meski Jingga memiliki kekurangan yang sangat menyebalkan (bau badannya) aku tidak akan melepaskannya. Dia sepertu aset berharga bagi, yang setiap keinginanku secara duniawi bisa ia kabulkan.Ku perhatikan, sekeliling rumah nampak sepi. Apalagi sejak tadi pagi, saat teh Ayu pamit untuk kembali ke Jakarta, memulai kembali aktivitas seperti biasanya.Dan aku sekarang, begitu bebas menempati rumah ini tanpa harus capek-capek main petak umpet dengan kakaku itu."Jingga!" Aku berteriak, memeriksa setiap sudut ruangan, di rumah sederhana kedua orang tuaku yang berlantai dua."Jingga!" Aku kembali berteriak saat Jingga masih tak kunjung ku temukan.Keringat mulai mengalir d
"Jangan sentuh aku! Aku jijik, kamu tidak akan suka!" Aku terkejut saat Jingga kini menangis meronta-ronta, tangannya begitu kuat mendorong dada bidangku saat tubuh ini nyaris tak berjarak dengan tubuhnya.Hiks ... Hiks ...Aku terdiam membisu saat tangisnya tak kunjung reda, kuperhatikan keadaannya sekarang. Begitu kacau, padahal aku baru mau menyentuhnya, belum sampai melakukan hubungan suami istri begitu jauh."Kamu kenapa? Saya gak ngapa-ngapain loh, cuma memenuhi hak kamu, apa itu salah?" tanyaku heran.Sikap Jingga terlalu aneh sejauh ini, sudah seminggu tidur kami terpisah dan Jingga begitu menjaga jarak denganku. Mandi yang sehari hampir enam kali ku hitung, membuat wajahnya terlihat pucat. Mungkin ia sakit sekarang dan saat aku ingin memberikan haknya, harusnya dia senang. Bukankah itu yang dia inginkan selama ini? Tapi kali ini? Dia begitu ketakutan.Jingga tak menjawab, disela tangisnya ia beranjak. Bergegas membawa handuk kimononya lalu memasuki kamar mandi.Aku berdiri di
Aku menggeleng keras, saat permintaan cerai yang keluar dari mulut Jingga kembali terdengar diiringi isak tangisnya."Saya tidak akan menceraikanmu!"Suaraku terdengar tegas, meskipun hatiku terasa hancur melihat kesedihannya yang begitu mendalam. Ah, mengapa aku sesedih ini? Harusnya aku bahagia, bukan? Seharusnya, aku bisa merasa lega, karena akhirnya ada kejelasan di tengah semua kebuntuan yang kami rasakan. Namun entah mengapa, kata-kata itu justru semakin memperburuk keadaan.Aku berdiri diam, menatapnya yang terisak, merasakan berat di dadaku. "Dengar aku!" pintaku duduk tepat disampingnya. Ku angkat wajahnya untuk menatapku."Lepasin aku kang, jangan dekat-dekat. Nanti kamu sakit,"katanya dengan suara terisak, menatapku penuh kepedihan. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam suaranya, seolah ia menyerah sebelum sempat berjuang lagi.Aku menarik napas panjang, sulit untuk menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Cengeng! Mengapa aku jadi seperti ini? Mengapa hatiku begitu tak re
Sejak dimana aku mengatakan bahwa aku akan menemaninya, menerima apa adanya. Sejak itu pula aku putuskan untuk belajar mencintainya. Aku berusaha untu membantunya menghilangkan bau badan di tubuhnya, bagaimana pun caranya. "Kamu yakin Jang, kita ke dukun sesuai rencana awal lu?" tanyaku. Si ujang berdecak, "iya, gue bakalan bantu kalian. Tapi lu harus kasih gue pinjaman dulu lima puluh juta"Aku dan Jingga saling pandang saat si Ujang minta pinjaman sebesar itu. Mata kami bertemu sejenak, ada rasa ragu dan bingung. Lima puluh juta bukan angka yang kecil, apalagi dengan kondisi Jingga yang kini tidak baik-baik saja."Gila kamu Jang, ku kira kamu main kesini mau bantuin kami!" Kesalku dengan hidung kembang kempis menahan gejolak amarah. Si Ujang hanya tertawa kecil, seolah tidak terpengaruh dengan amarahku. "Gue bantuin, tapi semua ada harga, kan? Kalau kalian nggak bisa bayar, ya gue nggak bisa bantu lebih jauh."Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Bingung antara marah dan ce
Meja makan sudah dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk kesukaanku dan Jingga. Pagi ini emak memasak lumayan banyak menu, entah mengapa. Tetapi wajahnya begitu menyiratkan keceriaan, sementara bapak ia hanya terkekeh melihat kelakuan ibu pagi ini. "Bahagia bener mak, kenapa?" tanyaku sembari menarik salah satu kursi meja makan di samping bapak. "Ibumu mau jengukin teteh katanya, panen padi kali ini alhamdulillah banyak." Jawab bapak dengan dagu terangkat menunjuk ibu yang tengah asik menata sarapan pagi ini. Aku hanya mengangguk, ber oh ria sebagai jawaban. "Istrimu mana, Mad? Suruh turun gih, emak udah masak makanan kesukaan dia" Aku menarik napas dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Tangan ini segera meraih segelas air putih, lalu ku teguk kasar. "Kenapa, kayaknya ada masalah berat nih?" tanya bapak yang begitu peka terhadap ekspresiku.Aku meletakkan gelas itu pelan, seolah memberi jeda untuk memikirkan jawabanku. Bapak selalu bisa membaca ekspresiku, dan kali ini, dia benar.
Tok ... Tok ... Tok ...Emak mengetuk pintu kamarku secara berkala, saat Jingga sampai siang ini masih belum juga keluar dari kamar. Tadi pagi saat aku memohon pada emak untuk membantuku membujuknya, emak dengan sigap mengangguk. Katanya demi putra satu-satunya ini, apa yang enggak hingga ia rela untuk menunda keberangkatannya ke Jakarta, menemui putri tercintanya. "Neng, ini emak. Buka ya pintunya?" ucap emak dengan setengah berteriak, hingga aku dan bapak yang berada di sebelah kanan dan kirinya kompak menutup telinga. "Mak, pelanin suaranya," tegurku yang malah dihadiahi tatapan tajam darinya. "Maneh teh gimana mad, masa iya emak harus ngomong pelang. Mana ada kedengaran sama juragan atuh," protesnya dengan tangan kembali terayun mengetuk pintunya. "Diam aja mad, gak usah protes. Serahin semuanya ke emak" tegur bapak. Aku mengangguk, kembali terdiam memperhatikan emak yang masih berusaha mengetuk pintu, membujuk Jingga untuk keluar dari kamarku. Prank!Terdengar suara pecahan
Tepat pukul tiga pagi, kami baru sampai di rumah. Nampak, terdengar suara lantunan ayat suci al-qur'an saat aku hendak membuka pintu kamar. Hatiku rasanya begitu damai, ada ketenangan yang tak bisa ku jelaskan di sini. Dengan pelan, aku membuka pintu berharap kedatanganku tak mengacaukan ke khusuannya. Aroma lilin terapi yang sangat ku rindukan menguar begitu aku melangkah memasuki kamar dengan mengendap-endap.Ku duduk di tepi ranjang dengan tersenyum bahagia menatap tubuh kecil wanitaku yang tengah memunggungiku, dengan khusu bersama al-qur'an kesayangannya. Mendengar suaranya yang begitu merdu membuat kantukku rasanya semakin berat, tanpa sadar aku mulai terlelap.Usapan tangan diwajahku membuat aku menggeliat. Tidurku terganggu, siapa sih yang berani mengganggu kenyamananku bergelung selimut saat ini?Aku berdecak, hendak membuka kedua kelopak mataku saat usapan di wajahku kini merambat pada dada bidangku. "Kang, bangun. Subuhan dul
Pagi ini, aku sudah berdiri di depan pintu ruangan seorang direktur utama pt. Niasagari. Perusahaan terbesar di bidang industri, tani, ternak dan pertelevisian yang bernama Mr. Jhon. Yang ku dapati infonnya dari mas Abi dan teh Ayu kemarin saat aku dan Mail memutuskan untuk menginap dirumahnya. Beruntung aku memiliki kakak dan kakak ipar yang mendukung penuh apa yang aku lakukan meski awalnya mereka meragukan kemampuanku. Mereka mendukung, sekaligus membantu aku mengenalkan beberapa perusahaan teman-teman mereka yang berpotensi besar yang akan membantuku membangun proyek agrowisata di kampung halamanku sendiri. Tanganku tiba-tiba berkeringat gugup, saat aku dan Mail ditemani karyawan yang mengantarkanku menunu ruangan ini hendak mengetukan pintunya."Masuk!" Seru seseorang dari dalam sana. Tanpa berpikir panjang, karyawan yang ku ketahui namanya bernama Clara itu mempersilahkan aku dan Mail untuk mengikutinya masuk. Aku dan Mail berjalan mengekori, mengikuti langkahnya masuk kedala
Banyaknya orang yang lalu lalang sepagi ini dengan mengangkut banyak barang bahan bangunan, membuat aku tersenyum cerah. Enaknya hidup di pedesaan itu seperti ini loh, budaya gotong royongnya masih kentara. Semua warga bahkan berbondong-bondong ikut serta membantu bahkan dalam hal sekecil apa pun. Ini hari pertama pembangunan proyek yang aku rencanakan, namun semua warga tanpa dimintai tolong pun dengan antusias membantu. "Itulah gunanya manusia Mad, mahluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya" ujar bapak menepuk pundakku. Ia menghirup napas udara pagi ini dengan banyak dan tersenyum penuh syukur. "Zaman sekarang, jarang sekali manusia membantu dengan keikhlasan. Semuanya butuh uang, tapi hidup di pedesaan? Hal itu masih sangat jarang, mereka masih dengan suka rela membantu satu sama lain. Bersyukurlah kamu masih hidup di desa," Aku mengangguk, meneguk secangkir kopi panas yang ku buat tadi. "Iya pak, Ahmad bersyukur. Terimakasih juga ya pak, sudah mau mendukung impian Ahmad"
"Rencana pembangunannya kapan kang?" Setelah saling memadu kasih, aku disajikan dengan pertanyaan yang lontar dari mulut Jingga. Perempuan ini benar-benar tidak ada kata lelahnya, padahal setelah ini ingin rasanya aku tertidur sebentar sebelum kembali memikirkan proyek yang hendak aku jalankan di pagi harinya. "Besok rencananya sudah mulai, tadi sore keluar sekalian beli bahan bangunannya. Rumahnya sederhana gak sebesar rumah kamu atau rumah ini, gak papa kan?" jawabku diakhiri pertanyaan.Jingga terdiam, tangannya masih saja nakal dengan mengelus-elus perut sixpack yang mungkin sebentar lagi akan buncit. Khas bapak-bapak, mungkin."Gak papa kok, yang penting nyaman" ujarnya, kali ini tangannya merayap, mengusap peluh di dahiku. Aku merengkuhnya kedalam pelukan, tangan besarku ini berusaha menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikannya yang tak pernah membuatku bosan. "Konsep rumahnya kaya rumah panggung seperti di pondok, gak papa kan?" tanyaku lagi memastikan. Aku harap
"Kang, tadi sore Jingga dengar ibu kaya marah-marah. Ada apa?" Jingga bertanya ketika aku baru saja membaringkan tubuh di sebelahnya malam ini setelah urusanku dengan pihak selesai tadi. Mata yang tadinya memaksa untuk di pejamkan, kini berubah segar seakan ada cipratan air yang menyadarkan.Aku menoleh, kearah Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambut panjangnya basah, menandakan kalau ia baru saja selesai mandi. Aku menarik napas, bangun dari pembaringan lalu tangan ini bergerak mengambil haidrayer. "Sini, biar akang bantu keringkan rambutnya" titahku pada Jingga agar ia duduk di bawah karpet sementara aku duduk di atas ranjang. Jingga terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar dengan menuruti perintahku. Aku mulai menyeka rambut Jingga yang masih basah itu dengan lembut. Wangi shampo terdengar kuat di indra penciumanku. "Pipinya udah gak perih lagikan?" tanyaku khawatir. Jingga tergelak, "jingga kebal kang. Gak papa kok, cuma kelihatan ya masih mera
Aku menghambuskan napas jengah saat menatap punggung mamang yang tengah memasuki mobil kesayangannya yang baru kami pakai itu dengan emosi yang tak teratur, bahkan pintu mobil yang ia naiki pun dengan kesalnya ia banting. Beberapa kali bapak mengusap dada dengan gelengan diiringi istighfar, sementara Mail ia dengan segala emosinya terduduk lemas. "Mulai sekarang, kalian jadi tanggung jawab saya!" Putusku berujar pada Mail yang tengah berusaha memperbaiki moodnya. Bapak mengangguk, ia menepuk pundakku dengan bangga. "Bapak dukung," ujarnya."Yasudah, masuk dulu deh. Kamu baru sampai pasti capek" lanjut bapak. Aku mengangguk, mengusap wajah kasar dan berjalan beriring memasuki rumah. Pertengkaranku dengan mamangnya Jingga benar-benar menguras emosiku. "Mak, Jingga mana?" tanyaku ketika tak mendapati Jingga di ruang tamu, hanya emak dan tontonan tv yang menyala. Emak menunjuk ragu pada lantai dua, "mungkin di kamar, tadi pamitnya mau istirahat dulu sebentar" jawabnya. Oke, aku ber
Sepanjang perjalanan, senyum Jingga tak henti-hentinya terbit menghiasi wajah Ayu. Aku hampir terkekeh sendiri melihat bagaimana bahagianya Jingga saat ini, bahkan beberapa kali ia menyenandungkan lagu yang tidak pernah ku dengar sebelumnya. Ah, sebahagia itu rupanya. Perjalanan hampir memakan waktu setengah hari, dengan santai aku mengemudikan mobil ditemani music yang sengaja ku putar mengalun lembut, menemani perjalanan kami. "Kang, mau gantian?" tawarnya Jingga saat aku beberapa kali menguap. Aku menoleh, lalu menggeleng sebagai penolakan. "Kita istirahat dulu aja ya, sambil beli makanan. Kamu bosan kan dari tadi gak ngemil, biar saya belikan dulu" ujarku sembari menatap lurus, fokus pada jalanan dengan harapan ketemu rest area setelah ini. "Boleh kang, tapi kalau akang lelah, juga gak papa biar aku aja yang nyetir" tawarnya lagi yang cepat ku tolak. "Tuan putri duduk manis aja, gak usah mau di repotin sama pangeran" kekehku yang membuatnya bersemu merah. Aku tertawa pelan m
Hari ini aku dan Jingga memutuskan untuk berkunjung kerumah teh Ayu sebelum kami memutuskan untuk kembali ke kampung, menata masa depan kami. Bau tubuh Jingga yang sudah hampir tidak tercium, membuat Jingga percaya diri untuk bertemu sang kakak ipar. Aku tersenyum, menatap Jingga yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Senang lihatnya melihat Jingga yang sudah seceria ini dan bahkan ia juga sudah bisa bersolek sekarang. Grep. Aku memeluk ia dari belakang, dengan kepala ku benamkan dibahunya, mencium aro parfum yang baru saja ia semprotkan sehabis mandi ini. "Kang," tegurnya memukul lenganku yang melingkar di tubuhnya. "Kenapa ih? Biarkan seperti ini, wanginya enak" jujurku. Jingga mendengus, ia berbalik hingga kami saling berhadapan. Kepalanya mendongak, menatapku dalam. "Sejak kapan suami aku ini jadi manja kaya gini?" tanyanya dengan kekehan geli. Beberapa kali ia mengucup bibirku gemas."Jangan mancing, kalau kamu gak mau keramas lagi" tuturku frontal membuat ia tersipu
"kondisi istrimu sudah cukup baik Mad, baunya juga sudah berkurang" aku dan Jingga saling pandang dengan senyuman saat dokter Anwar memberitahu bagaimana kondisi Jingga sekarang. "Mentalnya di jaga, jangan buat dia stres ya Mad," ucapnya lagi dengan diselingi tawa renyah. Aku mengangguk cepat. "Tentu itu dok," jawabku malu-malu. Dokter Anwar menggeleng dengan kekehan. "Kalian tidak perlu sering kesini, lagi pula penyakitnya bukan penyakit yang parah. Kuncinya sih jaga pola makan dan rubah pola hidup, jangan stres. Hindari aktivitas yang menyebabkan keringat berlebih" pesan dokter Anwar. "Penggunaan sabun dan shampo juga sudah benar itu," lanjutnya. Kami mengangguk, "jadi dok penyakit ini bisa sembuh?" tanya Jingga dengan cepat. Dokter Anwar terdiam cukup lama, seolah tengah memilah-milih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Jingga. Aku tau, sindrom bau ikan ini tidak dipastikan sembuhnya, bahkan obatnya sampai saat ini juga belum di temukan secara pasti. "Ada kemungkinan,