Tok ... Tok ... Tok ...Emak mengetuk pintu kamarku secara berkala, saat Jingga sampai siang ini masih belum juga keluar dari kamar. Tadi pagi saat aku memohon pada emak untuk membantuku membujuknya, emak dengan sigap mengangguk. Katanya demi putra satu-satunya ini, apa yang enggak hingga ia rela untuk menunda keberangkatannya ke Jakarta, menemui putri tercintanya. "Neng, ini emak. Buka ya pintunya?" ucap emak dengan setengah berteriak, hingga aku dan bapak yang berada di sebelah kanan dan kirinya kompak menutup telinga. "Mak, pelanin suaranya," tegurku yang malah dihadiahi tatapan tajam darinya. "Maneh teh gimana mad, masa iya emak harus ngomong pelang. Mana ada kedengaran sama juragan atuh," protesnya dengan tangan kembali terayun mengetuk pintunya. "Diam aja mad, gak usah protes. Serahin semuanya ke emak" tegur bapak. Aku mengangguk, kembali terdiam memperhatikan emak yang masih berusaha mengetuk pintu, membujuk Jingga untuk keluar dari kamarku. Prank!Terdengar suara pecahan
Aku bergerak gelisah saat menunggu dokter memeriksa Jingga di dalam saat setelah aku memeluknya tiba-tiba Jingga pingsan di pelukanku dengan hidung mengeluarkan darah segar. Pikiranku kacau saat sudah cukup lama aku dan orangtuaku menunggu sejak Jingga memasuki ruangan ugd puskesmas terdekat. Aku tidak tau apa yang menyebabkan Jingga tiba-tiba pingsan dan mengeluarkan darah segar dari hidungnya. Mungkinkah ia selama ini memiliki penyakit yang serius? Apakah umur hidupnya tidak lama lagi? Kalau iya, itu mungkin lebih baik biar harta warisannya aku yang kuasai semua. Eh tidak! Apaan-apaan kamu Ahmad? Itu istri kamu, apa iya kamu mau jadi duda secepat ini? Tidak, bukan.Suara pintu terbuka membuat aku buru-buru mendekat, di susul emak sama bapak. "Bagaimana keadaannya dok? Apakah terjadi sesuatu yang serius padanya?" tanyaku cepat. Dokter yang baru saja keluar dengan membuka masker nya dan menghirup udara sebanyak-sebanyaknya di depanku itu menatap kami ragu. "Apakah kalian benar-bena
"kamu jangan diam aja dong, kelihatan banget stresnya!" Aku menegur dengan agak kesal saat suana hening menyelimuti kami berdua. Sejak kepergian kedua orang tuaku, Jingga memilih untuk berbaring namun matanya tak pernah ia pejamkan. Beberapa kali helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya, kedua bola matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Jingga masih tak bergeming, ia masih tetap sama. Berbaring kaku, menatap langit-langit ruang ugd. Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu, membuatku beranjak dari duduk. Dua suster yang nampak berbalut masker berjalan menghampiri. "Pak Ahmad, istrinya sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat ya setelah mengurus administrasinya.""Sus, saya perlu kamar vvip saja biar nyaman. Kalau perlu ruangannya yang kedap suara dan ...""Jingga, mana ada ruang vvip disini. Lagi pula cuma sebentar juga, yang biasa aja ya" bisikku menegurnya.Jingga menghela napas panjang. "Tapi kang, Jingga gak nyaman kalau harus seruangan sama orang-orang takut
ClekAku tersentak saat suara knop pintu terdengar bersamaan dengan dorangan kuat menghentikan aktivitas kami. Aku lebih tepatnya."Hah ... Hah ..." Jingga menarik nafas sebanyak-banyaknya, sementara aku buru-buru agak sedikit menjauh darinya dengan tangan mengusap bibir ini.Manis.Ah, apa yang aku lakukan. Tak seharusnya aku seperti ini. Ini, sungguh menjijikan Ahmad. Bukannya aku tidak menyukainya? Lalu mengapa sikapku seolah bertolak belakang dengan perasaan ini.Tapi, aku adalah pria dewasa yang memiliki hasrat sudah lama kali ku tahan. Jujur saja, Jingga itu menarik dan mungkin saja kalau bau di tubuhnya itu tidak ada mungkin aku akan selalu meminta hak ku padanya, apalagi Jingga itu agresif semakin membuatku tertarik tetapi sayangnya gara-gara bau ditubuhnya aku bukannya betah berlama-lama malah mual dan sangat membencinya. Seiring berjalannya waktu, rasa benci itu kian terkikis oleh sikap Jingga yang begitu perhatian padaku. Segala hal yang aku inginkan pasti dia akan memenuhi
Setelah kepergian Mail, kini aku hanya berdua ditemani sisa-sisa kecanggungan akibat ulah kebodohanku yang menciumnya tiba-tiba. Hening menyelimuti, kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Jingga masih diam dengan tak berani menatapku, sementara aku memilih untuk duduk disampingnya sembari memainkan ponsel yang tak menyenangkan sama sekali ku rasa. Kruk ... Kruk ...Aku terhenti memainkan ponsel saat suara keroncongan begitu nyaring terdengar ditelingaku. Aku menoleh ke arah Jingga, yang tampak terkejut dengan suara perutnya yang bergemuruh. Wajahnya merah, seakan-akan mencoba menutupi rasa malu yang mulai memancar dari dirinya. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, dan seketika itu juga aku merasa agak canggung."Maaf..." ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh rasa malu yang tak terucapkan. "Aku... lapar."Aku tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana yang semakin kaku."makannya, jangan so soan gak mau makan, laparkan" tegurku berusaha menghalau kecanggungan. Jingga
*Pov Juragan Jingga*Malam semakin sunyi, semakin sepi. Bahkan diantara kantuk dan beratnya mata terbuka, aku merasakan sesuatu di keningku, basah tapi juga tidak hangat selain itu perutku terasa berat seperti ada sesuatu yang menindih perutku.Ku buka mata yang masih benar-benar berat dan menemukan wajah seseorang diantara remang pencahayaan lampu tidur.Bibirku menarik seulas senyum saat menemukan see seseorang tertidur di sisi ranjang pesakitan dengan melingkar di perutku seolah ia tengah memelukku."Saya tulus, jangan terlalu berpikiran negatif mulu. Udah makan lagi, mumpung saya baik. Ingat, saya tulus!"Jujur saja, kata-kanya tadi siang selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Benarkah apa yang diucapkannya memang tulus? Bahkan aku tak paham dengan perubahannya kini yang begitu peduli padaku. Agak aneh, biasanya juga kalau ia peduli itu ada maunya saja itu pun gak sampai meluk dan rela berkorban apa pun.Ini? Dia bahkan mencium bibirku. Kami berciuman tadi. Eh, benarkah itu? Aku te
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca
"pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk
Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan
*Pov Juragan Jingga*Malam semakin sunyi, semakin sepi. Bahkan diantara kantuk dan beratnya mata terbuka, aku merasakan sesuatu di keningku, basah tapi juga tidak hangat selain itu perutku terasa berat seperti ada sesuatu yang menindih perutku.Ku buka mata yang masih benar-benar berat dan menemukan wajah seseorang diantara remang pencahayaan lampu tidur.Bibirku menarik seulas senyum saat menemukan see seseorang tertidur di sisi ranjang pesakitan dengan melingkar di perutku seolah ia tengah memelukku."Saya tulus, jangan terlalu berpikiran negatif mulu. Udah makan lagi, mumpung saya baik. Ingat, saya tulus!"Jujur saja, kata-kanya tadi siang selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Benarkah apa yang diucapkannya memang tulus? Bahkan aku tak paham dengan perubahannya kini yang begitu peduli padaku. Agak aneh, biasanya juga kalau ia peduli itu ada maunya saja itu pun gak sampai meluk dan rela berkorban apa pun.Ini? Dia bahkan mencium bibirku. Kami berciuman tadi. Eh, benarkah itu? Aku te
Setelah kepergian Mail, kini aku hanya berdua ditemani sisa-sisa kecanggungan akibat ulah kebodohanku yang menciumnya tiba-tiba. Hening menyelimuti, kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Jingga masih diam dengan tak berani menatapku, sementara aku memilih untuk duduk disampingnya sembari memainkan ponsel yang tak menyenangkan sama sekali ku rasa. Kruk ... Kruk ...Aku terhenti memainkan ponsel saat suara keroncongan begitu nyaring terdengar ditelingaku. Aku menoleh ke arah Jingga, yang tampak terkejut dengan suara perutnya yang bergemuruh. Wajahnya merah, seakan-akan mencoba menutupi rasa malu yang mulai memancar dari dirinya. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, dan seketika itu juga aku merasa agak canggung."Maaf..." ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh rasa malu yang tak terucapkan. "Aku... lapar."Aku tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana yang semakin kaku."makannya, jangan so soan gak mau makan, laparkan" tegurku berusaha menghalau kecanggungan. Jingga
ClekAku tersentak saat suara knop pintu terdengar bersamaan dengan dorangan kuat menghentikan aktivitas kami. Aku lebih tepatnya."Hah ... Hah ..." Jingga menarik nafas sebanyak-banyaknya, sementara aku buru-buru agak sedikit menjauh darinya dengan tangan mengusap bibir ini.Manis.Ah, apa yang aku lakukan. Tak seharusnya aku seperti ini. Ini, sungguh menjijikan Ahmad. Bukannya aku tidak menyukainya? Lalu mengapa sikapku seolah bertolak belakang dengan perasaan ini.Tapi, aku adalah pria dewasa yang memiliki hasrat sudah lama kali ku tahan. Jujur saja, Jingga itu menarik dan mungkin saja kalau bau di tubuhnya itu tidak ada mungkin aku akan selalu meminta hak ku padanya, apalagi Jingga itu agresif semakin membuatku tertarik tetapi sayangnya gara-gara bau ditubuhnya aku bukannya betah berlama-lama malah mual dan sangat membencinya. Seiring berjalannya waktu, rasa benci itu kian terkikis oleh sikap Jingga yang begitu perhatian padaku. Segala hal yang aku inginkan pasti dia akan memenuhi
"kamu jangan diam aja dong, kelihatan banget stresnya!" Aku menegur dengan agak kesal saat suana hening menyelimuti kami berdua. Sejak kepergian kedua orang tuaku, Jingga memilih untuk berbaring namun matanya tak pernah ia pejamkan. Beberapa kali helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya, kedua bola matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Jingga masih tak bergeming, ia masih tetap sama. Berbaring kaku, menatap langit-langit ruang ugd. Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu, membuatku beranjak dari duduk. Dua suster yang nampak berbalut masker berjalan menghampiri. "Pak Ahmad, istrinya sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat ya setelah mengurus administrasinya.""Sus, saya perlu kamar vvip saja biar nyaman. Kalau perlu ruangannya yang kedap suara dan ...""Jingga, mana ada ruang vvip disini. Lagi pula cuma sebentar juga, yang biasa aja ya" bisikku menegurnya.Jingga menghela napas panjang. "Tapi kang, Jingga gak nyaman kalau harus seruangan sama orang-orang takut