"sini peluk," aku menarik lengan Jingga yang kini tengah berada di sisi ranjang tengah asik memainkan gawainya padahal malam sudah menunjukan pukul 21:00. Biasanya ia akan menduselkan tubuhnya padaku, bahkan tangannya selalu memelukku erat, dan aku? Mati-matian menahan napas agar tak mencium bau badanya. Tapi, akhir-akhir ini, hidungku sudah terbiasa dengan baunya bahkan kami sudah terbiasa tidur dengan berpelukan. Tapi, sayang. Dua hari ini, sikap Jingga agak aneh padaku. Terkesan agak menjauh, entah karena apa.Jingga menoleh, ia menepis tanganku dengan kasar. "Kalau tidur ya tidur aja," Aku mengerinyit, tak biasanya ia menolak dengan nada agak sedikit meninggi."Kamu kenapa? Biasanya juga kamu kan, yang maksa aku buat meluk kamu?" tanyaku bergeser kearahnya."Enggak papa," jawabnya dengan tergesa-gesa beranjak dari sisiku. "Mau kemana?" Aku bertanya dengan cepat, tangan ini entah mengapa memaksaku untuk menarik lengannya. Ia menepis dengan kasar, matanya tak berani menatapku. A
"Byur!"Setengah malam begini, tidurku terganggu akan suara beberapa kali guyuran air. Tanpa lupa rincik-rinciknya pun terdengar begitu kuat di telinga.Byur!Mataku seketika terbuka sempurna saat kembali mendengar seperti seseorang tengah mandi di dalam kamar mandi yang ada di kamarku. Tapi siapa? Kulihat jam baru menunjukan setengah dua belas malam, ini waktunya jam melek. Pasti semua orang sudah tertidur pulas malam ini. Dengan hati yang gelisah, aku menarik selimutku lebih tinggi, berusaha menenangkan diri. Tapi, suara guyuran air itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Aku merasakan jantungku berdegup kencang, menciptakan kegelisahan yang tak tertahankan.Byur!Aku melirik ke arah pintu kamar mandi yang berada persis di pojok kamar. Pintu itu tertutup rapat. Tak ada seorang pun di sana, atau setidaknya itu yang aku pikirkan. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba meyakinkan diri bahwa aku hanya terbayang-bayang karena baru saja tidur.Namun, suara itu kembali. Lebih kera
Hari demi hari perubahan Jingga begitu kentara, entah kenapa. Namun, semua yang aku inginkan selalu terkabul, Jingga selalu tau bagaimana cara membahagiakan hati ini. Seperti kemarin sore, aku baru saja melihat sepatu di toko oren yang ku mau. Tiba-tiba saja, hari ini datang atas nama Jingga. Ajaib sih, tanpa diminta pun Jingga selalu tau apa yang aku inginkan. "Sepatu baru, alhamdulillah" ujang menyindirku saat aku datang ke sekolah dengan senyum mengembang menghampirinya. "Minta yang mahal dikit ke Mad, kaya mobil gitu" ujarnya lagi. Aku mendengus, "ini juga sepatu mahal kali Jang, lima juta. Berapa bulan dari gaji kita" kesalku.Si Ujang berdecak, merangkul pundakku. "Percuma mau semahal apa pun, kalau yang lu beli itu sepatu ya pasti akan di injak juga" celetuknya.Aku menatap Ujang dengan tatapan bingung, entah kenapa kata-katanya terasa seperti petuah bijak, meski terdengar agak nyeleneh. Tapi, ada benarnya juga. Sepatu seharga lima juta itu, meskipun mewah dan baru, tetap s
Aku memasuki rumah dengan tergesa-gesa, mencari keberadaan Jingga yang entah dimana. Tak ku lihat batang hidungnya.Sepulang dari sekolah, aku memang sengaja memutuskan pulang menemui istriku, ketimbang dengan menemui si Ujang yang semakin kesini, terlihat semakin serius untuk Jingga dariku.Tidak. Ini tidak boleh terjadi, meski Jingga memiliki kekurangan yang sangat menyebalkan (bau badannya) aku tidak akan melepaskannya. Dia sepertu aset berharga bagi, yang setiap keinginanku secara duniawi bisa ia kabulkan.Ku perhatikan, sekeliling rumah nampak sepi. Apalagi sejak tadi pagi, saat teh Ayu pamit untuk kembali ke Jakarta, memulai kembali aktivitas seperti biasanya.Dan aku sekarang, begitu bebas menempati rumah ini tanpa harus capek-capek main petak umpet dengan kakaku itu."Jingga!" Aku berteriak, memeriksa setiap sudut ruangan, di rumah sederhana kedua orang tuaku yang berlantai dua."Jingga!" Aku kembali berteriak saat Jingga masih tak kunjung ku temukan.Keringat mulai mengalir d
"Jangan sentuh aku! Aku jijik, kamu tidak akan suka!" Aku terkejut saat Jingga kini menangis meronta-ronta, tangannya begitu kuat mendorong dada bidangku saat tubuh ini nyaris tak berjarak dengan tubuhnya.Hiks ... Hiks ...Aku terdiam membisu saat tangisnya tak kunjung reda, kuperhatikan keadaannya sekarang. Begitu kacau, padahal aku baru mau menyentuhnya, belum sampai melakukan hubungan suami istri begitu jauh."Kamu kenapa? Saya gak ngapa-ngapain loh, cuma memenuhi hak kamu, apa itu salah?" tanyaku heran.Sikap Jingga terlalu aneh sejauh ini, sudah seminggu tidur kami terpisah dan Jingga begitu menjaga jarak denganku. Mandi yang sehari hampir enam kali ku hitung, membuat wajahnya terlihat pucat. Mungkin ia sakit sekarang dan saat aku ingin memberikan haknya, harusnya dia senang. Bukankah itu yang dia inginkan selama ini? Tapi kali ini? Dia begitu ketakutan.Jingga tak menjawab, disela tangisnya ia beranjak. Bergegas membawa handuk kimononya lalu memasuki kamar mandi.Aku berdiri di
Aku menggeleng keras, saat permintaan cerai yang keluar dari mulut Jingga kembali terdengar diiringi isak tangisnya."Saya tidak akan menceraikanmu!"Suaraku terdengar tegas, meskipun hatiku terasa hancur melihat kesedihannya yang begitu mendalam. Ah, mengapa aku sesedih ini? Harusnya aku bahagia, bukan? Seharusnya, aku bisa merasa lega, karena akhirnya ada kejelasan di tengah semua kebuntuan yang kami rasakan. Namun entah mengapa, kata-kata itu justru semakin memperburuk keadaan.Aku berdiri diam, menatapnya yang terisak, merasakan berat di dadaku. "Dengar aku!" pintaku duduk tepat disampingnya. Ku angkat wajahnya untuk menatapku."Lepasin aku kang, jangan dekat-dekat. Nanti kamu sakit,"katanya dengan suara terisak, menatapku penuh kepedihan. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam suaranya, seolah ia menyerah sebelum sempat berjuang lagi.Aku menarik napas panjang, sulit untuk menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Cengeng! Mengapa aku jadi seperti ini? Mengapa hatiku begitu tak re
Sejak dimana aku mengatakan bahwa aku akan menemaninya, menerima apa adanya. Sejak itu pula aku putuskan untuk belajar mencintainya. Aku berusaha untu membantunya menghilangkan bau badan di tubuhnya, bagaimana pun caranya. "Kamu yakin Jang, kita ke dukun sesuai rencana awal lu?" tanyaku. Si ujang berdecak, "iya, gue bakalan bantu kalian. Tapi lu harus kasih gue pinjaman dulu lima puluh juta"Aku dan Jingga saling pandang saat si Ujang minta pinjaman sebesar itu. Mata kami bertemu sejenak, ada rasa ragu dan bingung. Lima puluh juta bukan angka yang kecil, apalagi dengan kondisi Jingga yang kini tidak baik-baik saja."Gila kamu Jang, ku kira kamu main kesini mau bantuin kami!" Kesalku dengan hidung kembang kempis menahan gejolak amarah. Si Ujang hanya tertawa kecil, seolah tidak terpengaruh dengan amarahku. "Gue bantuin, tapi semua ada harga, kan? Kalau kalian nggak bisa bayar, ya gue nggak bisa bantu lebih jauh."Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Bingung antara marah dan ce
Meja makan sudah dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk kesukaanku dan Jingga. Pagi ini emak memasak lumayan banyak menu, entah mengapa. Tetapi wajahnya begitu menyiratkan keceriaan, sementara bapak ia hanya terkekeh melihat kelakuan ibu pagi ini. "Bahagia bener mak, kenapa?" tanyaku sembari menarik salah satu kursi meja makan di samping bapak. "Ibumu mau jengukin teteh katanya, panen padi kali ini alhamdulillah banyak." Jawab bapak dengan dagu terangkat menunjuk ibu yang tengah asik menata sarapan pagi ini. Aku hanya mengangguk, ber oh ria sebagai jawaban. "Istrimu mana, Mad? Suruh turun gih, emak udah masak makanan kesukaan dia" Aku menarik napas dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Tangan ini segera meraih segelas air putih, lalu ku teguk kasar. "Kenapa, kayaknya ada masalah berat nih?" tanya bapak yang begitu peka terhadap ekspresiku.Aku meletakkan gelas itu pelan, seolah memberi jeda untuk memikirkan jawabanku. Bapak selalu bisa membaca ekspresiku, dan kali ini, dia benar.
"Jingga!" Aku mengguncang lengan Jingga cukup kuat sampai wanita itu terbangun. Jingga langsung menyibak selimut, menepis sentuhanku dan memperbaiki posisi duduknya. "Sudah sampai," ucapku memberitahunya. Jingga mengangguk, "ini sampai di halaman rumah siapa kang?" tanyanya setengah linglung, matanya tak berhenti melihat kesana kemari, memperhatikan sekitar halaman rumah yang lumayan luas. "Teh ayu, kita mampir dulu sebentar. Emak sudah menunggu disana" jawabku. Raut wajah Jingga seketika berubah masam, "langsung aja ke kontrakan gak sih kang? Takutnya teh Ayu gak mau nerima tamu kaya aku yang bau ini," pintanya dengan mata berkaca-kaca.Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Jingga, hatiku sedikit tergetar. Akhir-akhir ini Jingga memang selalu begitu, terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Aku bisa melihat betapa cemasnya dia. "Jingga," ucapku lembut sambil menepuk bahunya, "gak ada yang salah dengan kamu. Emak, mas abi sama anak-anak sudah menunggu.
Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup
"Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y
Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.
Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca
"pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk
Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan