Tanpa sadar, sudut bibirku mengulas senyum saat melihat Jingga akrab dengan dua keponakanku di meja makan. Si kecil Kakang menggelayut manja saat Jingga sabar menyuapi sarapan pagi untuknya dan Niko. Melihat kebersamaan mereka, hatiku terasa hangat.Namun, di balik itu semua, teringat tubuh Jingga yang kadang berbau membuatku ragu. Kakang tampaknya tak peduli, sedangkan Niko sedikit menjaga jarak, tetapi tetap ceria dengan celoteh tak sabar untuk pergi melihat kelinci yang dijanjikan Jingga."Gimana nasi gorengnya? Enak?" tanyaku, yakin masakanku jauh lebih baik dibandingkan siapa pun.Niko dan Kakang menoleh, mengacungkan dua jempol. "Om dari dulu emang paling jago masak nasi goreng," kata Niko."Mantap, Om," sambung Kakang, membuatku merasa bangga. Tak sia-sia aku bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Namun, aku masih ragu untuk mencicipi masakan Jingga, takut rasanya tak sebanding dengan masakanku dan khawatir terkena penyakit.Jingga menatapku dengan senyuman. "Tentu saja enak, in
Setelah puas bermain dengan kelinci, kedua anak itu tak kenal lelah menyusuri jalan setapak, melihat-lihat pondok. Sesekali, tangan mungil Kakang memetik buah tomat yang masih hijau.“Om, ini boleh dimakan?” tanyanya.Aku berdecak, mengambil tomat hijau dari tangannya. “Ini belum matang, Dek. Kalau adek mau, pilih yang merah.”“Enggak ah, adek gak suka tomat. Masam,” ujarnya menolak. Kalau tahu rasanya masam, untuk apa nanya? Dasar bocah.Tangan ini mengusap dada beberapa kali. Sabar, dia masih memiliki hubungan darah denganku, kalau tidak sudah ku potek mulutnya. Sementara itu, Niko sudah menghampiri ibu-ibu yang tengah memanen tomat dengan keantusiasannya.“Om, Aa mau bantu ibu-ibu panen tomat boleh?” izinnya.“Boleh, asal topinya dipakai. Cuacanya panas banget, biar kamu gak sakit. Habis ini, kita tunggu Tante Jingga di rumah panggung, ya,” ujarku menunjuk rumah panggung yang tak jauh dari sana.Niko mengangguk dan berlari menghampiri ibu-ibu itu. Aku memperhatikan, Niko cepat akra
"Serius kang. Jingga akan balik nama surat tanah ini, atas nama akang. Tapi, Jingga pengen punya anak kang, buat nerusin usaha Jingga. Selain mail dan anak kita, Jingga tidak mau ada orang lain yang menjadi pewaris kekayaan ini, apalagi mamang dan keluarganya. Sudah cukup kang, Jingga gak mau membiarkan mamang dan keluarganya lebih lama menikmati kekayaan yang orang tua kami tinggalkan"Aku mendengus saat ucapan Jingga seminggu yang lalu, terus saja berputar berulang-ulang bak seperti kaset kusut di kepalaku malam ini saat aku tengah asik duduk di ranjang sembari menatap layar laptop yang tengah menampilkan bahan ajar untuk ku praktekan besok pada anak didiku. Jingga dipikir ulang, tawaran Jingga itu menarik. Siapa yang tidak tergoda dengan kekayaan milik istriku itu, harga tanah jaman sekarang itu mahal apalagi luasnya berhektar-hektar tapi rasanya tidak etis jika aku harus mengorbankan keperjakaanku pada gadis yang belum aku cintai bahkan aku masih belum berani menyentuhnya, tubuhn
Kejam, mungkin satu kata itu pantas tersemat pada diriku malam ini. Saat aku ke kamar mandi tadi, terdengar suara isak tangis yang menyayat bak seperti tengah merasakan pesakitan, biar ku tebak orangnya. Jingga, yap istriku sendiri. Saat lima menit berlalu, setelah tak ada lagi suara Jingga yang menggoda. Aku suara tangisannya, entah apa yang membuatnya sedih tapi firasatku mengatakan jika tangisannya akibat ulahku yang menolak permintaannya. Tapi yasudahlah, toh nyatanya emang aku belum siap.Clek. Bersamaan dengan knop pintu kamar mandi yang ku putar, suara tangis pun bak menghilang begitu saja. Kulirik sekilas wanita yang tengah berbaring itu memunggungiku dengan selimut tebalnya yang menutupi seluruh tubuhnya. Aku menghela nafas pendek saat melihat punggung itu bergetar, seolah tengah menangis. Ku putuskan untuk berjalan mendekati, lalu duduk disampingnya."Maaf," lirihku dengan tangan menyentuh bahu yang bergetar itu. "Enggak papa kang, jingga paham kok. Maaf Jingga terkesan
Setelah kesepakatan malam itu, Jingga benar-benar menenuhi permintaanku. Surat tanah yang begitu luasnya atas nama dirinya sendiri kini beralih nama menjadi atas nama diriku, Ahmad. Entah harus senang atau sedih, yang jelas aku bingung saat melihat namaku tercetak di kertas tersebut. "Akang jangan bengong aja, ayo kang tandatangani" ujar Jingga memperingatkan dengan menyinggunkan sikutnya ke tanganku. Sementar Ujang yang ku suruh untuk menamaniku bertemu Jingga di kantor pengacaranya nampak senyam senyum dengan mata yang menggoda. "Ayo Mad, ente udah benar itu. Lo teman gue ini mah asli, nurut banget sih saran gue" bisiknya yang duduk di sebelah kiriku. "Tapi gue gak niat morotin dia, sumpah jang" aku membalas berbisik lirih padanya berusaha agar tidak terdengar oleh Jingga yang tengah duduk di sebelah kananku sembari berbicara pada pengacaranya yang duduk berhadapan dengan kami. "Bodo amad dah gue mah, itu udah benar sih. Toh nanti kalau emang lo gak niat, kagak bakalan di jual
"Jangan tidur dulu atuh kang, kita ngobrol ya"Tanganku terhenti, saat selimut ini hendak ku naikan hingga menutupi dada. Tubuh yang tadinya meronta ingin di rebahkan, kini terpaksa kembali bangun, duduk selonjoran dengan punggu bersandar di sandaran kasur, seperti yang tengah Jingga lakukan saat ini. "Mau ngobrol apa? Kan tiap hari ketemu, kita juga tiap hari ngobrol. Gak bosan apa?" tanyaku menggerutu. Jingga menggeleng, ia berbalik menghadap kearahku. "Apa aja kita obrolin. Pokoknya malam sebelum tidur kita usahain buat ngobrol, kalau kata si Mail mah ya namanya tuh pilow tok."Aku menatapnya bingung. "Deep tok? Apaan itu, saya baru dengar" kekehku sembari memikirkan apa artinya pilow tok. Ada-ada saja. Jingga berdecak, "itu loh kang, percakapan pasangan sebelum tidur" kesalnya.Aku terkekeh hampur ingin menyemburkan tawa saat mendengar penjelasan Jingga, agak bingung sih, tapi juga sedikit geli. "Oh, jadi maksudmu itu 'pillow talk' yang biasa orang-orang bilang? Kalau gitu kena
Pagi harinya, Jingga begitu terlihat sibuk ku lihat. Mulai dari menyapu, cuci piring, cuci baju hingga membantu memerah sapi-sapi miliknya seperti biasa bersama asistennya. Siapa lagi kalau bukan si Yudi, laki-laki kegatalan itu hampir setiap subuh selalu mengetuk pintu rumah panggung ini dengan alasan mengambil ember lah, vitamin lah, air panas lah padahal semua itu sudah selalu tersedia di dalam kandang. Namun, Jingga selalu saja meladeni, dengan senyuman hangat dan sabar, seolah tak pernah lelah. Padahal, aku tahu betul, dia lebih sering terlihat lelah daripada bahagia. Yudi, si laki-laki kegatalan itu tak hanya sibuk dengan alasan-alasan kecil untuk mendekati Jingga, tetapi juga selalu berusaha mencari celah untuk menunjukkan perhatian lebih pada istriku itu. Hey, dulu kemana aja lu saat aku belum menikahinya? Apa sikapnya seperti saat ini, kegatelan? Kalau lu cinta sama si Jingga, kenapa gak lu nikahin dari dulu? Gedeg banget dah, gak gentle man lu. "Neng jingga, udah gak usah
"Mau beli apa lagi sih, ini udah banyak loh?" aku bertanya sembari mendorong troli yang terisi penuh dengan barang belajaan kami, saat kami tengah menelusuri lorong mini market siang ini.Jingga menoleh, "simpan dulu itu trolinya kang, biar Jingga ambil lagi troli baru" ujarnya berjalan mendekat, menyimpan beberapa cemilan kedalam troli yang ku dorong sudah terisi penuh. "Udah ya, kita pulang. Kamu beki barang sebanyak ini emang ada uang? Saya kan cuma ngasih kamu delapan ratus ribu sebulan, mana cukup" pintaku memelas. Ada rasa menyesal terlintas dalam diri, mengapa aku mau menemaninya belanja siang ini? Kalau tau ujungnya begini, aku lebih baik tidak pulang dari sekolah, beristirahat di ruang guru akan terasa menyenangkan barangkali. Jingga hanya terkekeh, senyum nakalnya tampak jelas di wajahnya. "Akang lupa? Jingga ini siapa?""Juragan," gumamku menghembuskan nafas lelah. Senyum nakalnya masih ia sunggingkan, tangannya mengambil alih troli ini dariku. "Nah itu akang tahu, jingga
"apa?" Kedua perempuan beda usia yang tengah beradu argumen itu menatap Sinta tajam, saat gerakan tangannya menunjuk kebelakangku yang kini tengah menghela nafas panjang, begitu lelah mendengarkan keduan perempuan di hadapanku itu. "Teh, mak debatnya ditunda dulu atuh. Itu orangnya datang, sama anak-anak lagi" tegur Sinta dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Eh?" Emak menoleh ke arah Sinta, rasa kesalnya begitu kentara di wajahnya namun namun matanya sudah mulai melunak, mengikuti arah tangan Sinta yang menunjuk ke belakangku. Sementara itu teh Ayu segera bungkam, tangannya dengan cepat menutup hidung mancungnya. Ah, aku paham sekarang. "Selamat pagi ..." teriakan kedua keponakanku membuat atensiku beralih, segera tubuh ini berbalik ke arah suara. Nampak, Jingga tersenyum manis menyapa kami dibelakanngnya. "Mad, jangan biarkan teteh masuk UGD lagi. Sudah sana, ajak istrimu menjauh" suara teh Ayu terdengar tegas, meski senyum manisnya masih mengembang di bibir. Matanya yan
Saat aku baru saja menginjakan kaki di ruang makan, nampak Sinta dan teh Ayu tengah asik membantu emak memasak di dapur, sementara Jingga aku tinggalkan tadi di kamar dengan sengaja. Berharap dia mengerti akan permintaanku, agar ia tak pergi ke pondok peternakannya hari ini. "Selamat pagi," sapaku ramah kepada tiga wanita yang berharga dihidupku. Ketiganya kompak menoleh, menjawab bersamaan sapaanku yang membuat aku merasa geli dan terkekeh. "Masak apa nih, pagi-pagi sekali. Wanginya bikin cacing di perut Ahmad meronta-ronta" kekehku dengan menarik satu kursi di meja pantri menghadap kearah dapur. "Masak rendang kesukaan kamu kang," jawab Sinta, wajah berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sinta memang tahu betul apa yang membuat hatiku senang. Rendang selalu jadi hidangan favoritku, apalagi Sinta yang memasaknya. "Ah, dari dulu kamu memang tau caranya membuatku terharu ya Sin. Bisa aja deh," kataku sambil duduk, menatap piring kosong di meja yang seakan s
Aku terbangun dengan wajah sedikit terkejut saat menoleh ke sisi tempat tidur yang menampakan wajah cemberut Jingga sepagi ini.Tanganku yang entah sejak kapan melingkar diperutnya, kini ku lepaskan dengan terburu-buru. "Kenapa?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur saat terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga. Jingga mengedikan bahu, lalu membalikan tubuhnya membelakangiku. Aku merubah posisi tubuh ini menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar sembari memikirkan kesalahan apa yang semalam ku perbuat padanya hingga pagi ini sudah disuguhi wajah masam darinya. Biar ku ingat-ingat lagi, perasaan semalam aku tak melakukan kesalahan apa pun padanga. Bahkan aku dengan mati-matian menahan nafsuku saat memberikan pijatan lembut pada tubuh Jingga, tapi hal yang diinginkan olehnya tak terjadi semalam gara-gara Jingga sendiri yang sudah tertidur pulas meski belum sampai lima menit aku memijatnya. Apa karena itu? Ah, padahalkan salahnya sendiri. Mengapa harus menyalahk
Alisku terangkat sebelah, saat ekor mata ini tak sengaja melihat wajah Jingga malam ini yang begitu berseri-seri mendekat kearahku yang tengah menyalakan beberapa lilin aroma terapy. Pikiranku semakin dibuat heran saat Jingga mengikuti kemana pun aku melangkah meletakan beberapa lilin aroma terapy yang baru saja ku nyalakan itu. "Kenapa lu?" tanyaku heran dengan berbalik tubuh menatapnya. Jingga tersenyum cerah menatapku, bau keringat tubuhnya kini agak memudar digantikan dengan aroma parfum milikku yang sengaja aku menyuruhnya untuk ia pakai sehabis mandi di tambah lilin aroma terapi yang lumayan bisa menyamarkan bau badannya. "Katanya tadi mau mijitin Jingga kang," ujarnya cengengesan. Kedua tangan ku lipat di dada. "Terus?""Ish," Jingga merengut kesal, bibir tipisnya mengerucut dengan mata yang mendelik. "Yaudah, ambilkan minyak urutnya di lemari sana" suruhku dengan dagu bergerak kedepan menunjukan dimana letak minyak urut yang selalu ku pakai itu. Jingga mengangguk, denga
Brugh ...Aku menjatuhkan tubuh ini begitu saja pada kasur yang sudah tak ku tempati beberapa minggu ini. Rasanya begitu nyaman bahkan rasa lelah ini ingin segera ku manjakan di ranjang kesayanganku ini. Setibanya di kamar, sungguh tubuhku rasanya begitu pegal sekali, apalagi tangan. Ah, rasanya tak karuan gara-gara sepanjanh perjalanan aku menggendong si gendut Niko, keponakanku yang super aktif dan cerdas itu. Kali ini, untuk meredakan rasa pegal aku memejamkan mata sejenak, berusaha menikmati empuknya kasur yang sudah lama tak ku tempati ini. Grep!Seketika kedua netra ini terbuka saat merasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Indra penciumanku kembang kempis, merasakan bau tak sedap kembali terisap. Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang begitu dekat denganku. "Kamu ngapain peluk-peluk saya?" tanyaku sembari menepis tangannya dari tubuku, lalu bergeser sedikit menjauh darinya. Jingga merenggut kesal, tubuhnya kembali ia dekatkan dengan tubuhku. "Yaelah kang, jingga cuma p
Seusai acara tahlil dan bermain dengan anak panti, kami memutuskan untuk pulang ke rumah emak. Malam ini, emak memaksa aku dan Jingga untuk pulang ke rumahnya, katanya emak kangen sama menantu juragannya ini. Padahal setiap hari juga ketemu, cuma gak di rumahnya. Maklum, menghindari teh Ayu biar gak kena penyakit lagi, soalnya indra penciuman teh Ayu terlalu sensitif. Tapi malam ini, mumpung teh Ayu tengah menginap di rumah Sinta, sahabat kecilku sekaligus sodara jauh kami yang kebetulan pulang ke kampung untuk sekedar mengisi hari libur mungkin. Kami pun berangkat, dengan Jingga yang terlihat sibuk memastikan kedua keponakan ku yang tengah asik tertidur lelap di pangkuanku dan pangkuannya. Sementara emak dan mail begitu asik bercerita di dengan duduk berdampingan di kursi kemudi. "Jang, kamu juga nginep atuh sesekali di rumah emak. Gak papa rumah kecil juga, yang penting bisa tidur" aku mendengar di depan kursi yang aku duduki, emak meminta agar Mail juga ikut bermalam bersama kam
Aku memperhatikan Jingga yang kini tengah asik bermain dengan anak-anak panti sekaligus kedua keponakanku di taman selepas acara tahlil mengenang kepergian kedua orang tuanya berakhir. Sementara emak masih asik mengobrol dengan pemilik panti. Semakin di perhatikan, semakin membuatku merasa heran sendiri. Mengapa anak-anak panti bisa sedekat itu dengan Jingga, padahal bau ditubuhnya pasti cukup mengganggu indra penciumannya dan jelas hal tersebut bisa membuat siapa pun yang dekat dengannya tidak akan pernah tahan, kecuali emak, aku, mail dan keluarganya yang sudah terbiasa dengan bau tersebut. Entahlah, tapi kenyataannya anak-anak pada senang dekat dengannya. Aku menatap Jingga lebih lama. Wajahnya tampak serius, saat ia tengah menceritakan kisah salah satu tokoh pahlawan dalam islam, yaitu tentang Usamah bin Zaid yang merupakan komandan perang di zaman Rasulullah SAW yang paling muda. Beliau diangkat menjadi komandan perang oleh Rasulullah SAW di saat usianya 18 tahun. Jingga berbi
Kehilangan memang sesuatu hal yang tidak pernah kita inginkan, tetapi sesuatu hal itu pasti terjadi. Cepat mau pun lambat. Namun pantaskah kita berlarut-larut dalam kesedihan atas kehilangan itu? Tentu tidak, bukan. Hal itu lah yang kini terjadi pada kakak beradik itu, sudah bertahun-tahun lamanya tanpa kedua orang tua membuat keduanya begitu tegar. Bahkan kini saat memperingati hari kepergiannya, mereka nampak tidak berlarut dalam kesedihan tetapi senyuman manis mereka kini terpancar nyata bersama kebahagiaan anak-anak panti disini.Emak dan kedua ponakanku juga turut serta memberikan kebahagiaan, si kecil kakang bahkan nampak akrab dengan beberapa anak panti disini ditemani oleh kakanya, Niko yang begitu overprotektif terhadap sang adik. "Akang, ngapain senyum-senyum. Ayo sini gabung," suara Jingga yang mengintrupsi didepanku itu seketika membuatku buru-buru memasang wajah datar. Aku berjalan mendekati mereka, dan duduk disebelahnya. Jingga tersenyum menatapku dengan tangannya yan
Senja hari ini begitu indah, seakan semesta telah berkompromi pada sang pemilik alam untuk aktivitasku dan Jingga yang sudah di agendakan jauh-jauh hari oleh Jingga. Ya, hari ini tepat hari dimana Jingga kehilangan kedua orang tuanya yang sudah bertahun-tahun lama. Untuk memperingati kepergian orang tuanya, setiap tahunnya Jingga dan sang adik selalu mengadakan doa di panti asuhan yang dimana semasa hidup kedua orang tuanya itu merupakan donasi terbesar disana dan sampai saat ini mungkin, bahkan bisa di bilang begitu. Kedua mata ini, masih ku perhatikan gerak-gerik Jingga yang kini tengah berdiri di depan cermin seolah tengah menatap wajahnya sendiri. Mata yang sembab, hidung memerah, kantung mata yang terlihat begitu jelasnya serta wajah yang terlihat lelahnya seolah mempresentasikan suasana hatinya. Rencananya, hari ini aku tidak akan ikut karena si Ujang tidak mau menggantikan rapat agenda tahunan sekolah tetapi melihat kondisi Jingga yang memutuskan untuk memaksa si Ujang mengga