"Serius kang. Jingga akan balik nama surat tanah ini, atas nama akang. Tapi, Jingga pengen punya anak kang, buat nerusin usaha Jingga. Selain mail dan anak kita, Jingga tidak mau ada orang lain yang menjadi pewaris kekayaan ini, apalagi mamang dan keluarganya. Sudah cukup kang, Jingga gak mau membiarkan mamang dan keluarganya lebih lama menikmati kekayaan yang orang tua kami tinggalkan"Aku mendengus saat ucapan Jingga seminggu yang lalu, terus saja berputar berulang-ulang bak seperti kaset kusut di kepalaku malam ini saat aku tengah asik duduk di ranjang sembari menatap layar laptop yang tengah menampilkan bahan ajar untuk ku praktekan besok pada anak didiku. Jingga dipikir ulang, tawaran Jingga itu menarik. Siapa yang tidak tergoda dengan kekayaan milik istriku itu, harga tanah jaman sekarang itu mahal apalagi luasnya berhektar-hektar tapi rasanya tidak etis jika aku harus mengorbankan keperjakaanku pada gadis yang belum aku cintai bahkan aku masih belum berani menyentuhnya, tubuhn
Kejam, mungkin satu kata itu pantas tersemat pada diriku malam ini. Saat aku ke kamar mandi tadi, terdengar suara isak tangis yang menyayat bak seperti tengah merasakan pesakitan, biar ku tebak orangnya. Jingga, yap istriku sendiri. Saat lima menit berlalu, setelah tak ada lagi suara Jingga yang menggoda. Aku suara tangisannya, entah apa yang membuatnya sedih tapi firasatku mengatakan jika tangisannya akibat ulahku yang menolak permintaannya. Tapi yasudahlah, toh nyatanya emang aku belum siap.Clek. Bersamaan dengan knop pintu kamar mandi yang ku putar, suara tangis pun bak menghilang begitu saja. Kulirik sekilas wanita yang tengah berbaring itu memunggungiku dengan selimut tebalnya yang menutupi seluruh tubuhnya. Aku menghela nafas pendek saat melihat punggung itu bergetar, seolah tengah menangis. Ku putuskan untuk berjalan mendekati, lalu duduk disampingnya."Maaf," lirihku dengan tangan menyentuh bahu yang bergetar itu. "Enggak papa kang, jingga paham kok. Maaf Jingga terkesan
Setelah kesepakatan malam itu, Jingga benar-benar menenuhi permintaanku. Surat tanah yang begitu luasnya atas nama dirinya sendiri kini beralih nama menjadi atas nama diriku, Ahmad. Entah harus senang atau sedih, yang jelas aku bingung saat melihat namaku tercetak di kertas tersebut. "Akang jangan bengong aja, ayo kang tandatangani" ujar Jingga memperingatkan dengan menyinggunkan sikutnya ke tanganku. Sementar Ujang yang ku suruh untuk menamaniku bertemu Jingga di kantor pengacaranya nampak senyam senyum dengan mata yang menggoda. "Ayo Mad, ente udah benar itu. Lo teman gue ini mah asli, nurut banget sih saran gue" bisiknya yang duduk di sebelah kiriku. "Tapi gue gak niat morotin dia, sumpah jang" aku membalas berbisik lirih padanya berusaha agar tidak terdengar oleh Jingga yang tengah duduk di sebelah kananku sembari berbicara pada pengacaranya yang duduk berhadapan dengan kami. "Bodo amad dah gue mah, itu udah benar sih. Toh nanti kalau emang lo gak niat, kagak bakalan di jual
"Jangan tidur dulu atuh kang, kita ngobrol ya"Tanganku terhenti, saat selimut ini hendak ku naikan hingga menutupi dada. Tubuh yang tadinya meronta ingin di rebahkan, kini terpaksa kembali bangun, duduk selonjoran dengan punggu bersandar di sandaran kasur, seperti yang tengah Jingga lakukan saat ini. "Mau ngobrol apa? Kan tiap hari ketemu, kita juga tiap hari ngobrol. Gak bosan apa?" tanyaku menggerutu. Jingga menggeleng, ia berbalik menghadap kearahku. "Apa aja kita obrolin. Pokoknya malam sebelum tidur kita usahain buat ngobrol, kalau kata si Mail mah ya namanya tuh pilow tok."Aku menatapnya bingung. "Deep tok? Apaan itu, saya baru dengar" kekehku sembari memikirkan apa artinya pilow tok. Ada-ada saja. Jingga berdecak, "itu loh kang, percakapan pasangan sebelum tidur" kesalnya.Aku terkekeh hampur ingin menyemburkan tawa saat mendengar penjelasan Jingga, agak bingung sih, tapi juga sedikit geli. "Oh, jadi maksudmu itu 'pillow talk' yang biasa orang-orang bilang? Kalau gitu kena
Pagi harinya, Jingga begitu terlihat sibuk ku lihat. Mulai dari menyapu, cuci piring, cuci baju hingga membantu memerah sapi-sapi miliknya seperti biasa bersama asistennya. Siapa lagi kalau bukan si Yudi, laki-laki kegatalan itu hampir setiap subuh selalu mengetuk pintu rumah panggung ini dengan alasan mengambil ember lah, vitamin lah, air panas lah padahal semua itu sudah selalu tersedia di dalam kandang. Namun, Jingga selalu saja meladeni, dengan senyuman hangat dan sabar, seolah tak pernah lelah. Padahal, aku tahu betul, dia lebih sering terlihat lelah daripada bahagia. Yudi, si laki-laki kegatalan itu tak hanya sibuk dengan alasan-alasan kecil untuk mendekati Jingga, tetapi juga selalu berusaha mencari celah untuk menunjukkan perhatian lebih pada istriku itu. Hey, dulu kemana aja lu saat aku belum menikahinya? Apa sikapnya seperti saat ini, kegatelan? Kalau lu cinta sama si Jingga, kenapa gak lu nikahin dari dulu? Gedeg banget dah, gak gentle man lu. "Neng jingga, udah gak usah
"Mau beli apa lagi sih, ini udah banyak loh?" aku bertanya sembari mendorong troli yang terisi penuh dengan barang belajaan kami, saat kami tengah menelusuri lorong mini market siang ini.Jingga menoleh, "simpan dulu itu trolinya kang, biar Jingga ambil lagi troli baru" ujarnya berjalan mendekat, menyimpan beberapa cemilan kedalam troli yang ku dorong sudah terisi penuh. "Udah ya, kita pulang. Kamu beki barang sebanyak ini emang ada uang? Saya kan cuma ngasih kamu delapan ratus ribu sebulan, mana cukup" pintaku memelas. Ada rasa menyesal terlintas dalam diri, mengapa aku mau menemaninya belanja siang ini? Kalau tau ujungnya begini, aku lebih baik tidak pulang dari sekolah, beristirahat di ruang guru akan terasa menyenangkan barangkali. Jingga hanya terkekeh, senyum nakalnya tampak jelas di wajahnya. "Akang lupa? Jingga ini siapa?""Juragan," gumamku menghembuskan nafas lelah. Senyum nakalnya masih ia sunggingkan, tangannya mengambil alih troli ini dariku. "Nah itu akang tahu, jingga
Kedua manik mata hitam itu berbinar kala aku memasuki mobil pick up nya dengan membawa dua cup es kelapa muda yang di pintanya tadi.Sudah seminggu ini sejak kami memutuskan untuk menjadi teman senyum Jingga bahkan tak pernah luntur, wajahnya berseri bak seperti orang yang tengah jatuh cinta. Beda denganku yang semakin hari malah semakin kusut gak karuan karena memaksakan bersikap untuk lebih perhatian padanya sebagai balas budi."Makasih kang," ujarnya saat aku memberikan satu cup es kelapa muda itu padanya. Aku mengangguk lalu kembali keluar untuk memastikan semua belanjaan sudah berada di mobil tanpa kelewat satu pun. "Oke, aman" gumamku setelah memastikannya dan kembali lagi memasuki kemudi mobil pick up tersebut. "Kang, habis ini kita mampir dulu ya ke tukang bakso langgananku"Aku menghela nafas dalam saat suara Jingga kembali terdengar menyambut kedatanganku. "Dimana?" tanyaku agak ketus. Bukan apa, takutnya cibiran yang keluar dari mulut karyawan mini market tadi kembali t
Huh hah huh hah ...Aku mendelik tajam mendengar suara desahan jingga begitu mengganggu telinga, segera tangan ini terulur untuk mengambil gelas kosong yang berada di tangannya, lalu ku isikan dengan air putih hangat. "Minum dulu, kebiasaan kamu mah ah. So so an paling jago makan pedas," omelku. Jingga segera merebut segelas air hangat di tanganku, lalu meneguknya dengan cepat. "Pelan-pelan, takutnya tersedak. Ini juga sampe keringatan gini," kekehku dengan pelan menyusut keringat di dahinya. Jingga terdiam, ia menatapku begitu lama. Lalu mendengus sebal menepis tanganku dari dahinya. "Gak usah so perhatian deh kang, kalau ujung-ujungnya gak ngasih kepastian" cibirnya kesal. Wajah terlihat memerah bak seperti rebusan tomat. Menggemaskan. "Gak boleh emang, kan sama istri sendiri. Udah jadi teman pula," aku tertawa kecil, berusaha memberikannya perhatian. Obrolan kami di mobil tadi cukup membuatku tersentil, wanita dihadapanku ini hanya ingin merasa di cintai tidak lebih. Ia tak pe
"Jingga!" Aku mengguncang lengan Jingga cukup kuat sampai wanita itu terbangun. Jingga langsung menyibak selimut, menepis sentuhanku dan memperbaiki posisi duduknya. "Sudah sampai," ucapku memberitahunya. Jingga mengangguk, "ini sampai di halaman rumah siapa kang?" tanyanya setengah linglung, matanya tak berhenti melihat kesana kemari, memperhatikan sekitar halaman rumah yang lumayan luas. "Teh ayu, kita mampir dulu sebentar. Emak sudah menunggu disana" jawabku. Raut wajah Jingga seketika berubah masam, "langsung aja ke kontrakan gak sih kang? Takutnya teh Ayu gak mau nerima tamu kaya aku yang bau ini," pintanya dengan mata berkaca-kaca.Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Jingga, hatiku sedikit tergetar. Akhir-akhir ini Jingga memang selalu begitu, terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Aku bisa melihat betapa cemasnya dia. "Jingga," ucapku lembut sambil menepuk bahunya, "gak ada yang salah dengan kamu. Emak, mas abi sama anak-anak sudah menunggu.
Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup
"Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y
Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.
Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca
"pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk
Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan