Namaku Yuda Jatmika. Usia 26 tahun, sedangkan istriku, Nonik Aprilia, usia 25 tahun April mendatang.
Aku perhatikan uang yang ia lemparkan, ternyata asli uang bukan kaleng-kaleng uang palsu. Wajahku mulai memerah bercucuran keringat seraya ingin marah sekaligus bertanya-tanya, uang dari mana barusan?Kami berdua sama-sama terdiam, hening seketika namun terbesit di otakku ini pikiran kotor tentang istriku. Mataku mulai mengedarkan pandangan ke seluruh tubuhnya, tapi tidak ada perubahan sedikit pun yang menohok.Kemudian, aku bangkit dan beranjak ke lemari yang ia hampiri tadi ketika mengambil uang gepokan."Ngapain kamu, Mas? Mau cari apakah aku masih nyimpan uang lagi? Hah!" Nada bicara Nonik masih meninggi, bukan hanya itu, ia pun mendongakkan dagunya seraya ngajak ribut besar terhadapku."Aku hanya ingin cari bukti dari mana kamu dapatkan uang sebanyak itu?" tanyaku padanya yang masih berkacak pinggang di sebelahku."Kenapa tidak tanya saja? Kok malah ngegeratak lemari orang!" tekan Nonik terhadapku."Loh kok lemari orang? Kamu kan istriku, kok sebut ini lemari orang?" tanyaku keheranan."Bukankah kamu menganggap istri itu orang lain, salahkah jika aku bicara seperti itu?" tanya Nonik balik membuatku terkejut. "Awas, minggir!" sambungnya lagi sambil menggeser posisi aku berdiri.Aku terdiam sejenak, meneliti lagi apa yang akan ia lakukan setelah ini. Meskipun aku belum tahu darimana ia mendapatkan uang, tapi setidaknya aku harus lebih mengontrol emosi, sebab istri yang aku sia-siakan ternyata memiliki banyak uang.Keringat yang bercucuran aku usap, lalu duduk memperhatikan Nonik yang berada di depan lemari.Tidak lama kemudian, ia mengeluarkan baju-bajunya, dan memasukkan ke dalam tas."Loh, kamu mau ke mana?" tanyaku heran. Sebab hampir semua baju yang ia bawa dari rumahnya dimasukkan ke dalam tas."Mau minggat, sudah setahun lebih ya aku bertahan, berharap kamu berubah, tapi mana? Tidak ada perubahan dalam diri kamu, malah menginjak-injak seperti sampah!" pungkas Nonik dengan penuh penekanan.Aku menarik pergelangan tangannya. Lalu menyuruh Nonik untuk duduk."Kamu mau ngapain lagi narik-narik?" tanya Nonik sambil menepis tanganku."Aku tanya sekarang pada kamu, apa kamu jadi pela*ur untuk mendapatkan uang banyak? Hah!" sentakku. Ya, curiga tentunya melihat uang gepokan keluar dari lemarinya. Nonik tidak punya kemampuan apa-apa selain gairahnya yang hot di ranjang yang bisa menghasilkan uang.Plak!Aku ditampar olehnya. Baru kali ini Nonik membalas kemarahan dengan tamparan keras dari tangannya langsung."Apa-apaan ini? Kamu ditanya malah nampar! Gila kamu ya!" hardikku padanya.Mata Nonik memerah, ia hanya menyorotiku penuh, sesekali hembusan napasnya terdengar kasar."Kamu bukan nanya tapi nuduh, Mas! Dengar ya, terserah kamu mau nuduh aku apa, yang jelas uang itu uang halal. Satu lagi yang harus kamu dengar, aku akan pergi dari sini!" timpal Nonik."Oh ya, mentang-mentang punya uang tiga puluh juta gitu, lalu mau pergi dengan lelaki lain? Wanita memang seperti itu ya, tidak bisa diajak susah, terus kalau sudah punya segalanya congkak, seakan-akan merendahkan marwah seorang suami," umpatku terhadap istri yang hanya kunafkahi empat ratus ribu itu.Nonik menggelengkan kepalanya, lalu ia bangkit dan membawa tasnya. Sebelum itu, wanita kelahiran tahun 1997 itu mengambil uang yang tadi ia lemparkan ke wajahku.Aku segera merampas uang tiga puluh juta yang dimasukkan ke dalam tasnya. Agar Nonik tidak bisa pergi dari sini."Uang ini sudah kamu berikan padaku tadi, lalu mau diambil lagi? Borok sikutan nanti loh," ledekku disertai alis terangkat."Nggak lucu, Mas. Mau becanda gitu? Kamu anggap pertengkaran ini sebagai lelucon? Sini! Itu uangku," sungut Nonik. Kemudian merampas kembali uang tersebut. Ia tidak mempedulikan ucapanku lagi, semua perkataan aku dibantah olehnya.Nonik meraih ponselnya, lalu mengusap kasar handphone yang aku berikan setahun lalu saat ulang tahunnya.Aku menatap wajah Nonik yang sibuk masuk ke aplikasi ojek online berwarna hijau. Sebaiknya aku redam egoku lebih dulu. Uang tiga puluh juta tidaklah sedikit, aku tidak perlu irit-irit saat jajan di tempat kerja jika punya istri yang pintar cari uang."Emm, baiklah, aku ngalah, Nik, maafin aku ya. Pasti kamu punya kerjaan online ya, makanya duitmu banyak, wah aku bangga sekali punya istri seperti kamu, Nik," rayuku padanya yang masih fokus pada benda pipih yang ia pegang.Sesekali Nonik melirik, namun dengan mimik wajah yang dilipat."Maaf ya, Nonik. Aku nyesel sekali memperlakukan kamu dengan semena-mena," rayuku sekali lagi.Kemudian ia mengecap sambil mengedarkan pandangannya ke arahku. "Aku maafin kamu dengan satu syarat," ucapnya tiba-tiba membuat senyumku semringah."ATM semua aku yang pegang, lalu jatah Mama kamu yang tadi ditransfer, tolong pinta lagi, ada hak aku di situ, apa kamu bersedia?" tanya Nonik sambil melipat kedua tangannya.Aku tidak menjawabnya, hanya terdiam memikirkan jawaban yang harus kulontarkan. Antara mama atau istri yang berpenghasilan."Tapi kamu jawab dulu, uang dari mana tiga puluh juta itu?" cecarku."Aku jadi penulis novel, Mas. Itu gajiku selama enam bulan belakangan, sengaja aku simpan dan baru tanggal 5 kemarin aku ambil ke Bank, soalnya aku benar-benar sudah nggak tahan dengan kamu, Mas," tutur Nonik.Kalau aku tolak tawarannya, itu artinya akan kehilangan sosok wanita yang berpenghasilan, tentu akan sulit mencari wanita seperti Nonik lagi.Kemudian, aku ambil kertas untuk menuliskan pin ATM."Baiklah, aku akan pinta uang itu pada Mama lagi, dan ini ATM ku berikut pin-nya," ucapku sambil menyodorkan ATM dan pin ATM yang sudah kutulis di kertas."Ada satu lagi, Mas. Mulai saat ini, kamu aku jatah lima ratus ribu rupiah untuk masak, dan kamu yang harus masak selama sebulan, kalau sanggup dan cukup dengan uang segitu, kita lanjutkan berumah tangga, tapi kalau tidak, ya sudah, kita sudahi," celetuknya membuatku menelan ludah. Mulut ini terasa tak sanggup menyetujui permintaannya yang satu lagi. Aku harus atur uang lima ratus ribu rupiah selama sebulan, sama persis yang aku lakukan padanya, malah biasanya aku hanya berikan empat ratus ribu rupiah.Apa aku bisa memenuhi syarat yang diberikan Nonik?Bersambung"Emm, syaratnya nggak ada yang lain, Nik? Jangan suruh jadi kamu," tanyaku sambil mencoba tahan kepergiannya."Ya sudah, kalau nggak mau cerai aja, Mas. Gampang kok, aku udah bertahan setahun setengah, dan sekarang ingin lepas jadi wanita sesungguhnya, bukan budak!" timpal Nonik dengan penuh penekanan. Mulutku terasa tertampar dengan kata-kata yang Nonik lontarkan, ada geram ingin mengatakan bahwa tidak pantas seorang wanita bicara dengan suaminya seperti itu. Kelopak matanya berputar menyoroti langit-langit ruangan. Sepertinya akan ada yang diucapkan lagi dari bibirnya yang mulai disunggingkan."Semakin kamu lama membuat keputusan, aku akan tambah syaratnya," sambungnya lagi. Aku menghela napas, akhirnya mengindahkan permintaan yang ia inginkan."Baiklah, kalau itu mau kamu, sebulan ini aku setuju dengan syarat yang tadi diberikan," jawabku dengan lantang. Sebab, kewibawaan seorang laki-laki dinilai dari tindakan yang tegas bukan plin-plan.Kaki Nonik melangkah ke arah meja, ada p
Kalau semua ATM dipegang Nonik, itu artinya masalah yang aku alami saat ini sudah sangat berat. Aku mengembuskan napas berat di hadapan Nonik, lalu menyeretnya ke mobil. Ia membuntuti aku sedari tadi, tapi dengan bodohnya diri ini tidak sadar akan hal itu.Nonik aku suruh duduk di kursi sebelahku, dengan entengnya ia hanya melipat kedua tangannya di atas dada. Senyumnya sengaja ia lontarkan, sesekali matanya diedarkan ke depan mobil yang masih ada orang mengantri tarik tunai.Aku injak gas, lalu membawanya pergi dari tempat keramaian. Sebab tidak mungkin rasanya mengumbar pertengkaran di tengah-tengah orang yang sedang antri.Kemudian, di sebuah jalan yang sepi orang, aku menepikan mobil ini untuk bicara pada wanita yang sudah mulai berani membangkang."Kenapa kamu mulai ngelunjak, Nik?" tanyaku ketika mesin mobil terhenti. Nonik menoleh dengan mata menyipit, pandangannya tak lepas dari kesinisan terhadapku."Tanya kenapa terus, seharusnya introspeksi diri dong, aku buntuti kamu kare
Nonik benar-benar sudah keterlaluan, ia jual mobil secara diam-diam, itu artinya BPKB pun sudah dia intai selama ini. Aku tidak mengetahui perubahan istriku selama enam bulan ke belakang, ternyata Nonik berubah drastis."Nonik, kita obrolin lagi di rumah ya, kamu pulang ke rumah, aku juga pulang sekarang," suruhku, kemudian telepon pun sengaja aku putus.Aku menghela napas di hadapan mama. Ia mengikuti langkahku yang meraih kunci sepeda motor milik adikku yang sedang tidur."Kenapa sih? Nonik jual mobil? Atau gimana?" tanya mama.Aku terhenti sejenak, lalu menjelaskan semuanya pada mama. Dari tabungan dan akhirnya sekarang mobil dijual oleh Nonik. Mama terkejut dengan ulah istriku yang tadinya pendiam dan tidak melawan, kini berubah jadi pembangkang."Apa karena Nonik sudah punya penghasilan, makanya dia songong seperti ini? Tapi kok kamu nggak bilang punya tabungan segitu banyak sama Mama?" tanya mama membuat waktuku semakin sempit. Kulihat jarum jam terus bergulir memutar waktu. Aka
"Saya pengacara, ingin bertemu dengan Bu Nonik, apa ada orangnya?" tanyanya sekali lagi sambil mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling rumah."Untuk apa? Kenapa Nonik memanggil Anda ke sini?" tanyaku menyelidik. Ya, jika benar ia pengacara, sangat kebetulan, aku akan menggugat cerai Nonik saja jika memang ia keberatan atas nafkah yang kuberikan, tentu tabungan yang Nonik kuras pasti dikembalikan. Sebab, aku tidak terima diperlakukan seperti ini olehnya.Namun, belum sempat aku bicara dengan pengacara, Nonik sudah muncul dari kamarnya."Ada apa ini, Mas?" tanya Nonik ketika memunculkan batang hidungnya. Rupanya wanita yang sudah mengetahui semua yang kumiliki pun tidak mengenal lelaki berdasi yang berkunjung.Lelaki itu bangkit, aku belum sempat berkenalan, ia berdiri ketika Nonik datang selayaknya menghormati tuan rumah."Bu Nonik ya?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya.Kemudian Nonik bersalaman dengannya dengan mata terlihat menyipit."Maaf, Anda siapa?" tanya Nonik sama sep
Aku masih diam sambil mencerna ucapan Nonik. Tidur pun tidak nyenyak sebab sekarang hidupku benar-benar terpuruk dalam uang yang sisa empat ratus delapan puluh ribu rupiah. Sedangkan gajian masih menunggu 29 hari lagi.Besok masih libur, jadi aku masak pun masih tidak terlalu capek, bagaimana nanti jika sudah bekerja. Astaga, punya istri kok tega pada suaminya begini.Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, mataku belum juga terkantuk, sedangkan Nonik sudah menganga mulutnya. Aku coba ambil ponsel yang berada di dekatnya. Siapa tahu bisa cari tahu ada rahasia atau tidak yang bisa aku kuliti.Setelah ponsel genggam milik Nonik berada di tangan, aku usap dan coba lihat dari layar jendela depan lebih dulu. Tidak ada pesan masuk, itu artinya aman aku masuk ke chat WhatsApp miliknya. Namun, tiba-tiba saja kulihat ada aplikasi yang sangat asing kulihatnya. Warnanya hijau dan ada gambar pena, apa itu platform menulis tempat Nonik mendapatkan uang?Iseng-iseng jari ini mem
Hatiku mencelos mendengar penuturan Pak Lukman barusan. Setega itukah Nonik terhadapku hingga menguras semua yang aku miliki."Terima kasih banyak, Pak informasinya," ucapku mengakhiri pembicaraan. Telepon pun terputus.Tidak mungkin aku izin dari pekerjaan hanya untuk mengurusi hal seperti ini. Alasan apa untuk keluar dan pulang? Yang ada penilaian kinerja nanti jadi buruk dan mengganggu kenaikan gaji tiap tahunnya.Menghubungi Nonik pun tidak aktif nomor teleponnya. Rasanya ingin marah saja pada wanita yang sudah menguras semuanya.Aku menutup tempat makan catering, lalu menghampiri Leman lagi yang sedang ngobrol bersama Santo."Man, gue mau ngobrol bentar," bisikku tepat di telinganya."Mau ngapain? Minjem duit lo ya?" celetuk Leman sengaja mempermalukan aku."Nggak lah, duit gue banyak. Nggak pernah gue minjem-minjem duit," timpalku agak keras. Leman memang terkenal sombong di pabrik. Mentang-mentang istrinya adalah seorang pengajar di sebuah sekolah dasar swasta. Namun, ia terken
"Maaf, Pak. Kami tidak mau ikut campur. Maaf ya," ucap Pak Lukman sambil merangkul istrinya seraya memberikan kode untuk diam saja. Akhirnya aku kembali ke rumah. Lalu coba menghubungi Nonik kembali. Namun, belum juga mendapatkan jawaban dari Nonik. Akhirnya aku beranikan diri untuk menghubungi mertuaku, Papa Irsyad.Lama dering nada sambung berbunyi. Aku menunggunya sekitar empat kali nada sambung, barulah mertuaku mengangkat teleponnya."Assalamualaikum, Yud. Ada apa?" Mertuaku langsung menanyakan tujuan menghubunginya padahal aku belum menjawab salam darinya."Waalaikumsalam, Pah. Boleh tanya sesuatu nggak?" tanyaku balik."Ya, silakan tapi jangan lama-lama, Papa dan Mama mau berangkat ke Bogor, mau ke rumah neneknya Nonik," ujarnya. Apa Nonik ikut dengannya? "Nonik ikut, Pah?" tanyaku lagi."Emang Nonik mau ikut? Mana sini coba orangnya Papa mau bicara," jawabnya. Berati dugaanku salah. Nonik tidak sedang bersama papanya."Oh nggak, Pah. Aku cuma tanya, Nonik lagi beli gula di w
"Papa, Mama, bukankah mau ke Bogor?" tanyaku sambil mengusap mata, berharap salah penglihatan ini. Namun, harapanku sia-sia ketika mereka berdua menyodorkan tangannya."Ya, tadi kami kepikiran ingin ngajak Nonik ke Bogor, atau barangkali kamu mau ikut juga?" Aku tercengang mendengar ucapan mertua."Emm, anu Pah, Nonik belum pulang," jawabku sambil mengusap leher."Loh, dari tadi belum pulang beli gula?" tanya papa penasaran. Ia masih ingat alasanku ketika ia tadi menghubunginya. "Iya, nih. Aku juga heran, kok tumben Nonik beli gula lama, apa sekalian beli bahan yang lain kali, Pah, Mah. Ayo masuk dulu," ajakku.Kulihat wajah mama mertua sedari tadi tidak bicara sedikit pun. Mukanya seperti tidak sudi menatapku, ada apa dengannya? Namanya Nuri, ia jarang ke rumah, yang sering menyambangi kami di sini memang hanya papa. Dari awal kami menikah, mama kurang sreg padaku. Katanya kami tidak akan cocok, mungkin dari perbedaan suku. Biasanya orang tua zaman dulu mempermasalahkan itu.Seben