"Itu mobil kamu, Mas, aku nggak ngejualnya," terang Nonik membuatku terperangah. Jadi, selama ini ia ambil kartu ATM, lalu menjual semuanya yang kumiliki hanya sandiwara?"Nonik, jujur aku nggak paham dengan semua ini," timpalku.Kemudian, papa mertuaku berdiri. Wajahnya terlihat garang seperti orang kesetanan."Papa rasa kamu sudah paham dan mengerti maksud Nonik. Jadi lebih baik kau pergi dari sini!" tekan papa sambil membentangkan tangannya ke arah luar.Tidak lama kemudian, orang yang membawa mobilku datang bersama Tari, istrinya Leman. Mereka berdua masuk dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman.Tari duduk di sebelah Leman, ia tampak menyunggingkan senyuman di hadapanku. Sedangkan Papa Irsyad kini sudah kembali duduk di antara kami semua.Aku segera bersujud di kaki mertua yang sudah terlanjur kecewa padaku."Pah, aku minta maaf atas semua yang kulakukan, mungkin caraku salah telah menyiksa Nonik dengan jatah yang kuberikan," lirihku membuat semuanya hening. Sorotan mata tertu
"Maaf, Pak, ada apa ya kalau boleh tahu?" tanyaku. Ada perasaan takut dan cemas bercampur aduk."Iya, saya mau mengabarkan bahwa Bu Yuli Karmila mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang ada di Rumah Sakit Grafika," ucapnya membuatku lemas seketika. Lututku bergetar seraya tak kuat menopang kedua kaki untuk berdiri tegak. Seandainya ada Nonik di sampingku, pasti takkan seperti ini. "Bagaimana kronologis nya, Pak?" tanyaku balik."Bu Yuli hendak menyeberang jalan, lalu ada motor melintas, pengendara sudah kami amankan," ucapnya membuatku bertambah linu. Tidak kebayang bagaimana kondisi mama saat ini.Aku tutup teleponnya setelah polisi menceritakan secara detail kronologis nya, dan setelah mengucapkan terima kasih atas informasinya. Kemudian, ambil segelas air putih untuk menenangkan diri sendiri. Setelah itu barulah bergegas ke rumah sakit untuk mengunjungi mama yang sedang membutuhkanku. Di perjalanan, aku terus memikirkan kondisi mama. Sekarang yang di pikiranku hanya mama, masal
Aku dan Rasid mendekat, ada perasaan cemas saat ini. Kalau terjadi sesuatu dengan Mama Yuli, aku tidak bisa memaafkan diri sendiri. Tangan ini mengepal, meremas-remas seraya mengkhawatirkan. Begitu juga dengan Rasid, ia menyandarkan bahunya ke pundakku."Mas, apa karena kita tidak buru-buru operasi Mama?" tanya Rasid."Nggak juga, kita harus tunggu dokter keluar," jawabku menenangkan. Kemudian, salah seorang suster keluar dari ruangan untuk bicara dengan kami."Pak, barusan Bu Yuli kondisinya menurun lagi. Jadi operasi patah tulang ditunda dulu, justru Bu Yuli akan dipindahkan ke ruangan ICU," jelasnya. Itu artinya mama dalam keadaan tidak sadar? Astaga, aku mengelus dada, menahan tangis. Sedangkan Rasid, ia sudah menyeka sudut matanya. "Sus, Mama saya tidak sadarkan diri?" tanyaku sedikit panik."Iya, Pak. Bu Yuli koma," jawabnya. Aku dan Rasid menghela napas panjang. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan."Sus, kami akan urus administrasi untuk ke ruangan ICU. Tolong berikan pel
"Istrimu nggak minta uang lagi, kan?" tanya mama ketika ia menghubungiku melalui sambungan telepon. "Nggak, Mah. Dari aku gajian, uang yang aku berikan sebesar empat ratus ribu belum ada kudengar minta uang lagi," jawabku sambil nyeruput kopi. Weekend ini memang waktunya pencari nafkah istirahat, sedangkan istri tetap bebenah rumah."Oh, baguslah. Jangan banyak-banyak kasih istri jatah, nanti beli skincare terus godain suami orang bisa gawat," celetuk mama Yuli seketika membuatku yang baru saja nyeruput kopi tersedak. "Mana mungkin Nonik beli skincare, Mah, jatahnya cuma empat ratus ribu, kalau beli skincare dia nggak masak dong!" ejekku sambil tertawa."Bagus, ya sudah, kirim ke Mama aja ya duitnya kalau gajian, naik ya bulan ini kan UMR naik," rayu mama menjelang gajian lima hari lagi. Telepon pun terputus setelah mama menyudahi sambungan teleponnya.Kata orang tuaku, jangan terlalu royal pada istri, sebab dia bukan siapa-siapa. Anak orang lain yang akan melahirkan anak-anak nanti
Namaku Yuda Jatmika. Usia 26 tahun, sedangkan istriku, Nonik Aprilia, usia 25 tahun April mendatang.Aku perhatikan uang yang ia lemparkan, ternyata asli uang bukan kaleng-kaleng uang palsu. Wajahku mulai memerah bercucuran keringat seraya ingin marah sekaligus bertanya-tanya, uang dari mana barusan?Kami berdua sama-sama terdiam, hening seketika namun terbesit di otakku ini pikiran kotor tentang istriku. Mataku mulai mengedarkan pandangan ke seluruh tubuhnya, tapi tidak ada perubahan sedikit pun yang menohok. Kemudian, aku bangkit dan beranjak ke lemari yang ia hampiri tadi ketika mengambil uang gepokan."Ngapain kamu, Mas? Mau cari apakah aku masih nyimpan uang lagi? Hah!" Nada bicara Nonik masih meninggi, bukan hanya itu, ia pun mendongakkan dagunya seraya ngajak ribut besar terhadapku."Aku hanya ingin cari bukti dari mana kamu dapatkan uang sebanyak itu?" tanyaku padanya yang masih berkacak pinggang di sebelahku."Kenapa tidak tanya saja? Kok malah ngegeratak lemari orang!" teka
"Emm, syaratnya nggak ada yang lain, Nik? Jangan suruh jadi kamu," tanyaku sambil mencoba tahan kepergiannya."Ya sudah, kalau nggak mau cerai aja, Mas. Gampang kok, aku udah bertahan setahun setengah, dan sekarang ingin lepas jadi wanita sesungguhnya, bukan budak!" timpal Nonik dengan penuh penekanan. Mulutku terasa tertampar dengan kata-kata yang Nonik lontarkan, ada geram ingin mengatakan bahwa tidak pantas seorang wanita bicara dengan suaminya seperti itu. Kelopak matanya berputar menyoroti langit-langit ruangan. Sepertinya akan ada yang diucapkan lagi dari bibirnya yang mulai disunggingkan."Semakin kamu lama membuat keputusan, aku akan tambah syaratnya," sambungnya lagi. Aku menghela napas, akhirnya mengindahkan permintaan yang ia inginkan."Baiklah, kalau itu mau kamu, sebulan ini aku setuju dengan syarat yang tadi diberikan," jawabku dengan lantang. Sebab, kewibawaan seorang laki-laki dinilai dari tindakan yang tegas bukan plin-plan.Kaki Nonik melangkah ke arah meja, ada p
Kalau semua ATM dipegang Nonik, itu artinya masalah yang aku alami saat ini sudah sangat berat. Aku mengembuskan napas berat di hadapan Nonik, lalu menyeretnya ke mobil. Ia membuntuti aku sedari tadi, tapi dengan bodohnya diri ini tidak sadar akan hal itu.Nonik aku suruh duduk di kursi sebelahku, dengan entengnya ia hanya melipat kedua tangannya di atas dada. Senyumnya sengaja ia lontarkan, sesekali matanya diedarkan ke depan mobil yang masih ada orang mengantri tarik tunai.Aku injak gas, lalu membawanya pergi dari tempat keramaian. Sebab tidak mungkin rasanya mengumbar pertengkaran di tengah-tengah orang yang sedang antri.Kemudian, di sebuah jalan yang sepi orang, aku menepikan mobil ini untuk bicara pada wanita yang sudah mulai berani membangkang."Kenapa kamu mulai ngelunjak, Nik?" tanyaku ketika mesin mobil terhenti. Nonik menoleh dengan mata menyipit, pandangannya tak lepas dari kesinisan terhadapku."Tanya kenapa terus, seharusnya introspeksi diri dong, aku buntuti kamu kare
Nonik benar-benar sudah keterlaluan, ia jual mobil secara diam-diam, itu artinya BPKB pun sudah dia intai selama ini. Aku tidak mengetahui perubahan istriku selama enam bulan ke belakang, ternyata Nonik berubah drastis."Nonik, kita obrolin lagi di rumah ya, kamu pulang ke rumah, aku juga pulang sekarang," suruhku, kemudian telepon pun sengaja aku putus.Aku menghela napas di hadapan mama. Ia mengikuti langkahku yang meraih kunci sepeda motor milik adikku yang sedang tidur."Kenapa sih? Nonik jual mobil? Atau gimana?" tanya mama.Aku terhenti sejenak, lalu menjelaskan semuanya pada mama. Dari tabungan dan akhirnya sekarang mobil dijual oleh Nonik. Mama terkejut dengan ulah istriku yang tadinya pendiam dan tidak melawan, kini berubah jadi pembangkang."Apa karena Nonik sudah punya penghasilan, makanya dia songong seperti ini? Tapi kok kamu nggak bilang punya tabungan segitu banyak sama Mama?" tanya mama membuat waktuku semakin sempit. Kulihat jarum jam terus bergulir memutar waktu. Aka